1 November 2020
Penulis —  JohnyEdogawa

Siap, Laksanakan!

continuation…

Vania berjalan mendekatiku. Tanpa aba aba dia langsung meremas adikku. Kulitnya yang lembut langsung membuat darahku berdesir.

Aku tersentak. Proses pembuatan lagu ini tidak bisa berhenti begitu saja. Hakim masih meneruskan ide idenya.

Vania tersenyum binal ke arahku.

Dia memaksa membuka boxerku dari pinggir kursi. Aku pasrah. Adikku langsung terpampang jelas, dan masih tidur.

Sentuhan halus tangan Vania perlahan membangunkannya.

Aku berusaha tenang. Tapi tetap saja, akan selalu sulit.

Adikku sudah terbangun. Kini dia sudah berdiri tegak.

“Hihi” Tawa kecil Vania diikuti dengan kocokan halus ke adikku.

Dia begitu menikmati mainan barunya. Dimaju mundurkan tangannya. Terkadang aku tersentak maju ketika dia mempercepat.

Setelah cukup puas bermain dengan tangannya, Vania langsung berjongkok.

Adikku langsung dilahap olehnya.

“ENGH!” Gerakkan tiba tiba itu mengagetkanku.

Hakim juga kaget “Kenapa, Dhit?”

“Eh, ennghh. Enggak, Kim. Aggh. Kakiku kepentok meja” Mulut Vania yang bermain main membuat aku lupa diri, hingga tidak sempat membuat kebohongan yang rasional.

Hakim nampaknya tidak peduli. Dia masih melanjutkan teori teori gilanya.

Vania makin liar. Tempo gerakan kepalanya makin cepat. Naik turun tidak karuan. Terkadang dia berhenti untuk mengocoknya.

Dibantu dengan air liurnya, tangan Vania makin mudah bermain main dengan adikku.

Dia tertawa puas karena berhasil menggodaku. Sedang aku merem melek menahan kegilaan anak ini.

Aku tak bisa konsentrasi. Jari jariku seakan lupa bagaimana cara bermain keyboard. Ocehan Hakim tidak aku dengar.

Hanya “Oh, iya” “Oh, oke” “Keren” saja yang bisa keluar dari mulutku.

Surprise, Dhit”

Aku langsung menatap Vania yang sudah berdiri.

Dia diam. Lalu tangannya membuka CD nya.

Sekarang dia hanya memakai tanktop saja.

“Aduh, Van. Kenapa sekarang” Gumamku dalam hati.

Sedikit sedikit aku masih merespon omongan Hakim. Aku sudah tak peduli dia berbicara apa. Yang kupikirkan saat ini hanyalah kenapa anak ini jadi gila seperti ini.

Vania memundurkan kursiku. Menjauhkanku dari keyboardku.

Untung saja headsetku agak panjang. Meskipun dalam kondisi seperti ini, aku masih bisa berkomunikasi dengan Hakim.

“Enghhh, berat, Van” Aku berbisik pelan

Anak gila. Sekarang dia duduk di pahaku. Dia paham jika kursiku agak lebar. Kondisi tersebut masih bisa memberi ruang untuk kakinya bertumpu.

Kini kelamin kami bertemu. Dia tertawa menggoda. Leherku diserang menggunakan bibirnya.

Digesek gesekkan vaginanya ke adikku. Membuat adikku terhimpit dalam kondisi geli.

Masih saja dia begitu. Alih alih berhenti, sekarang dia melumat bibirku.

“Gimana menurutmu, Dhit?”

“Engghh. He em” Aku bisu sesaat karena ulah Vania.

“Berarti oke, ya?”

“He em. Aaahhhh” Aku mengerang pelan

“Ngapain, Dhit?”

Segera kulepas ciuman Vania, “Anu, abis ngulet”

Kudengar dia sekarang memainkan gitarnya. Jari jari berbakatnya menari indah di fretboard gitar mahalnya.

Vania mengangkat tubuhnya. Adikku diarahkan masuk ke vaginannya.

“ENGGGG!”. Aku menunjukkan muka panik.

Aku menunjuk hardcase keyboardku, lalu berbisik pelan “Buka itu”

Vania turun dari pangkuanku, berjalan ke arah_hardcase_dan membukanya.

Sesaat dia langsung menoleh ke arahku dan tersenyum.

Diambilnya simpanan kondomku dan langsung dibuka.

Aku sadar, memakai kondom adalah hal yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, akan repot jika ketika klimaks aku harus turun dari kursi. Sedangkan aku masih ada urusan lain dengan Hakim. Jadi nanti ketika klimaks, aku akan langsung menyemprotkan spermaku ke dalam vagina Vania, tanpa takut dia akan hamil.

Vania beraksi lagi. Adikku dibasahinya sebentar. Lalu memakaikan dia “baju”.

Setelah siap, Vania langsung duduk di pangkuanku lagi. Perlahan menggesekkan kelamin kami. Lalu dia mengangkat pantatnya.

*bles*

“Anghhh” Aparat cantik ini mengerang pelan. Sedang aku masih berusaha menahan konsentrasi.

Untung saja Hakim masih sibuk dengan gitarnya. Kurasa dia tidak mendengar erangan Vania.

Adikku sudah masuk ke dalam tubuh Vania. Rasanya hangat sekali.

Tanktop yang sedari awal membelenggu harta karun itu langsung aku singkap ke atas.

Kini terpampang nyata dua bulatan sempurta itu.

Mulutku tak tinggal diam. Puting Vania menjadi sasaranku.

Kini bulatan kecil itu basah karna liurku. Vania mengerang lagi.

“Hnggggg”

Gerakannya makin cepat. Lumatanku bertambah liar.

“HNGGGGG, DHIT”

Kami sama sama menikmati posisi ini.

Remasan remasan halus tidak lupa aku berikan ke payudara Vania.

Kini bibirku beralih ke bibirnya.

Kucium pelan bibir manis itu. Nampaknya dia menyukainya

Tanganku meraih keyboardku. Aku bermain mengikuti permainan Hakim. Sedikit banyak agar Hakim tidak curiga dan akan berfikir kalau aku masih mengikuti latihan kami ini.

Kebetulan sekali aku dan Hakim bermain lagu yang temponya sangat pelan. Dengan nuansa relaxing.

Sangat tepat untuk mengiringi dua insan yang mengadu nafsu.

Bibirku masih menyerang bibir Vania. Kini dia memperlambat tempo geraknya. Sangat pelan. Kami terbawa suasana.

Romantis sekali.

“Mhhhh. Hnggg” Erangan lembut Vania menambah gairah malam ini.

Kami masih dengan posisi yang sama, dengan tempo gerakan yang sama.

Kudengar Hakim sudah berhenti bermain. Aku dengan sigap melepaskan bibirku.

“Mantap, Dhit. Enak, ya, lagunya”

“Eghh. Iya enak bro”

“Kayaknya minggu depan aku pulang. Nanti kita langsung take aja”

Aku tidak sempat menjawab. Vania tertawa kecil.

Lalu mempercepat gerakan pinggulnya.

“Hnggggg, aah. Eh, iya, Kim. Langsung. Take. Aja. Aaaghhh”

“Kamu gapapa, Dhit?” Hakim kebingungan mendengar aku yang mengerang pelan dan terbata bata.

“Iya. Iya. Bro. Ngulet lagi”

Aku dan Hakim masih melanjutkan obrolan kami, tetap dengan jawaban jawaban singkat dariku.

Vania makin liar. Dia mempercepat gerakannya. Payudaranya langsung aku lahap

“Engh” Aku tersentak karena gerakan refleksnya

“Engggh, enghhh, nghhhhh, aaah, aaah” Vania lalu mengerang lembut, tapi aku yakin Hakim bisa mendengarnya.

Hakim setengah berteriak “Dhit, asu. Suara apa itu?”

Kini payudara Vania aku biarkan bergerak bebas untuk sementara.

“Hah? Ah. Ah. Apa. Kim?”

“Kok ada suara cewek desah?”

“Oh. Engghh ah. Itu. Sepupuku. Lagi liat Anime” Aku menjawab sekenanya.

“Terus kamu ngapain ngos ngosan?”

Memang tidak mungkin Hakim tidak mendengar erangan Vania.

Alih alih memelankan gerakannya agar aku fokus berbicara dengan Hakim, dia malah mempercepat lagi gerakannya. Tanpa ampun, hingga membuat aku kewalahan

“Enggak. Kim. Ini. Apa. Nghh. Ah. Kamarku panas. Banget”

“Gak jelas anak ini”

Vania masih melanjutkan gerakannya. Kini semakin cepat. Ngebut tanpa ampun.

Tanganku memegangi pantatnya. Sesekali meremas lembut pantat tersebut.

“Kim. Ini. Udah selesai. Kan? Ahh”

“Udah, kok.”

“Lanjut besok lagi, ya? Ahhh. Aku ngantuk. Banget”

“Iya, deh. Kamu inget, kan?”

“Inget banget kok, Kim” Padahal sebenarnya tidak. Bukan hanya tidak ingat “Yaudah, ya. Lanjut besok”

*tuuut*

Telephone kumatikan. Headset kulepas.

Kini aku berfokus ke wanita gila ini.

“Udah teriak aja kalo mau” Aku berbisik pelan ke Vania. Tapi dia tidak menggubris. Dia terlalu fokus pada gerakannya.

“Hngg. Hnggg. Ah aaah” Erangan manjanya keluar.

Payudara indah itu masih bergerak bebas. Aku merasa kasihan. Mereka pasti lelah.

Aku tangkap sebelah kiri menggunakan mulutku. Yang sebelah kanan aku tahan menggunakan tanganku.

Kugigit lembut putingnya. Vania mengeraskan erangannya.

“AAAAAAAAAH. NGHHHHHHH” Kecepatan Vania sudah maksimal.

*kriit* *kriit* *kriit*

Suara rintihan kursiku mulai terdengar. Kurasa kursiku juga sudah tidak sanggup menahan beratnya dua insan yang sedang mengadu kelamin.

Aku merasakan kedutan di dalam vaginanya. Adikku juga bersiap untuk muntah.

“Van. Ah. Nghh. Keluarin ya”

“HNGGG. NGHHH. HE EH”

Seketika kurasakan pahaku basah. Sepupuku kesayanganku ini diam lemas. Badannya langsung ambruk ke pelukanku.

Adikku sudah lemas. Tapi masih terperangkap dalam tubuh Vania. Kini sekujur tubuhnya basah oleh muntahannya sendiri.

“Dhitooo. Ahhhhhhhh.” Vania mengerang puas.

Aku memeluknya agak lama. Menciumi rambut pendeknya. Sesaat kubiarkan dia tertidur.

Setelah kupastikan dia tertidur, aku menggendongnya dan merebahkan badannya di kasur.

Vania tergolek lemas. Lalu muncul senyum di wajahnya.

Kupandangi sebentar wanita ini.

Wajahnya yang cantik, serta tubuhnya yang pas.

Goodnight, Van.” Kucium lembut pipinya. Setelahnya dia langsung memeluk guling, membalikkan posisi tubuhnya, dan sekarang sudah memunggungiku.

Lampu kumatikan, lalu aku berjalan keluar kamar. Tidak lupa botol minum, rokok, korek, dan kopi yang sudah dingin aku angkut. Kulihat jam di handphone menunjukkan pukul setengah 1 pagi.

Aku berjalan ke arah taman.

Langit malam itu mendapatkan penonton baru. Seorang pria yang sedang kebingungan akan apa yang sedang dia alami.

Pria itu menjatuhkan tubuhnya di kursi taman, menyalakan rokoknya, dan membiarkan asapnya berbaur dengan langit malam.

Dia bergumam, “No, this can’t be happening.This isn’t real

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu