1 November 2020
Penulis —  JohnyEdogawa

Siap, Laksanakan!

continuation…

00.00

Bumi sudah menyelesaikan rotasinya. Sedang aku baru saja mulai membakar rokok terakhirku.

Aku masih tidak percaya, setelah apa yang aku alami selama 2 hari ini. Tanaman tanaman yang ada di taman seakan memandangi ku. Tapi mereka diam. Mereka tidak peduli.

Aku juga tidak peduli. Atau tepatnya tidak mau memusingkan hal itu.

Yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Tiba tiba bayangan Cindy terlintas di benakku.

“Oh iya, ya. Katanya kemarin Cindy mau nelpon. Tapi kok ini gak ada suaranya sama sekali.”

Kubuka handphone dan membuka messanger app. Kulihat memang tidak ada chat dari Cindy. Lalu aku mengecek Instagram Story.

Benar saja. Cindy mengunggah beberapa video. Nampaknya ia sedang melepas rasa rindu dengan keluarganya.

Kulihat wajah Cindy yang selalu memamerkan senyuman manis itu. Dia Nampak bahagia. Tertawa lepas dan tidak memperdulikan apapun. Aku tak sedikitpun kecewa. Lagipula seharian ini aku juga sibuk.

10 menit berlalu, aku masih saja bermain dengan handphone ku. Tidak ada tanda tanda gejala kantuk merasuki tubuhku.

Aku yakin ini karena_caffeine_dari kopiku tadi. Tapi tak mengapa, hari ini masih libur, besok juga.

Satu hal yang mengusirku dari taman itu adalah rasa dingin yang ditiupkan malam. Kubereskan semua barangku. Aku melangkah pergi.

Setelah yakin semua pintu sudah terkunci dan semua lampu sudah mati, aku lalu berjalan ke kamar.

Mumpung sedang bebas, aku mau nge_game_saja. Sudah beberapa hari ini aku tak menyentuh game ku.

Vania masih tertidur, dan masih tanpa busana. Sejenak aku diam terkesima. Wajah cantik tanpa make up itu membuat darahku berdesir.

Puting pink yang tegak karna dingin itu membuat adikku segera terbangun.

Fuck it. I’m gonna play something different” Pikiranku teralihkan. Komputer yang hendak aku nyalakan itu langsung aku lupakan.

Aku mendekatinya. Vania sudah berada di dunia yang sepenuhnya miliknya sendiri. Sekarang mungkin dia sedang berenang di lautan terdalam atau melayang di langit tertinggi.

Pipi mulus itu kukecup sambil aku mengelus rambutnya.

Sorry, Van.”

Aku naik ke kasur, lalu beranjak ke area pangkal paha Vania.

“Kemarin kamu nyiksa adikku pas aku masih tidur. Sekarang gantian aku yang nyiksa meki mu pas kamu tidur.”

Benda jahanam itu kuelus pelan. Vania menggelinjang pelan.

Aliran darahku langsung berenang menuju adikku. Tak lama adikku sudah tegak berdiri.

Jariku bermain main dengan vagina Vania. Mengelus elus dengan penuh perasaan. Lalu memasukkan jariku ke dalamnya.

Kulihat Vania mulai bergerak pelan. Mungkin dia sedang bermimpi sedang “main”.

Vaginanya sudah mulai basah. Kini giliran mulutku yang bertugas.

Kukecup pelan benda kecil itu. Tak butuh waktu lama mulutku langsung beringas. G-spot nya kutekan tekan dengan lidahku. Vania makin menggelinjang.

Cukup lama aku bermain main dengan sisi bawah Vania. Dan kini vaginanya makin basah karena air liurku dan cairannya sendiri.

Kumasukkan lagi jariku, namun kini sudah bertambah menjadi 2 jari yang memuaskannya.

Vania menggelinjang lagi. Suara erangan halus keluar.

“Nghhhhhhh”

Gerakkan jariku makin cepat. Vania menggelinjang parah

Serangan aku tambah dengan menciumi perutnya yang rata. Kini Vania sudah meluapkan segala suara kenikmatan.

“Ahhh. Aaaaaah. Hnggghhhhh. Dhito, kamu ngapain? Ahnggggg”

Mata Vania masih tertutup. Tapi pintu kenikmatan sudah terbuka lebar.

“Gantian, Van. Bentar aja kok”

Kepala Vania bergerak kiri dan kanan tak karuan. Tangannya meremas remas rambutku.

Aku tak tahan liat kepala Vania yang bergerak tak beraturan. Mulutku seketika menyambar mulutnya. Membuatnya tidak bisa menggerakkan kepalanya lagi.

Setelah kurasa vagina Vania sudah basah, kini giliran adikku untuk beraksi.

“Hngggg. Dhit.” Vania menatapku. Wajahnya sayu. Seakan tak mau menunggu

“Aku keluar di dalam ya, Van?”

Aku bercanda saja. Tidak mungkin saja aku menghamili sepupuku.

“Aaah. Terseraaaah. Hnggg.”

Mulutnya langsung kusumpal. Adikku bersiap.

*blesss*

Mata Vania terbelalak. Mulutnya membentuk huruf O.

“Aaaaaaah. Dhit, kamu kok ganggu orang tidur. Enghhh. Hngggg” Erangan halus Vania membuatku lebih bersemangat.

Kubiarkan adikku bermain main di dalam tubuh Vania. Membiarkan dia memberi kenikamatan pada Vania, serta pada dirinya sendiri.

Tanganku yang menganggur bergerak ke arah gumpalan favoritku.

Mereka memijat mijat payudara Vania. Lalu memilin putingnya.

Vania menahan nahan kenikmatan yang sedang ia peroleh. Dia memejamkan matanya. Tangannya masih saja meremas remas rambutku.

Kiranya dia ingin menjambakku karena sudah mengganggu tidurnya. Alih alih terganggu, kini ia seakan membiarkan aku mengganggunya terus.

“Hngggg. Dhit. Hnggggghghhhhhhh. Ciuuuuum.” Vania menjadi manja. Dia menyodorkan bibirku.

“Huum.” Tidak perlu diingatkan, bibirku sudah mendarat di bibirnya.

“Hnggghh. Emmhmhhhh.” Erangan Vania tertahan oleh bibirku.

Dia melampiaskan erangannya menggunakan tangannya.

Tangannya yang sedari tadi meremas rambutku kini sudah tak tentu lagi arahnya.

Mulai dari mengelus punggungku, mencubit cubit perutku yang sedikit buncit, dan juga meremas remas pantatku.

Vania nampaknya bosan dengan ciumanku. Dia melepasnya. Dia ingin berteriak.

Kini erangannya sudah ia lepaskan sepenuhnya.

“AAAAH. HMMMMMMM. HNGGGGG” Dia menggigit bibirnya. Menahan rasa sakit yang dicampur kenikmatan. “AHNGGGG. DHIT. DHIT.”

Kupandangi wajah cantik wanita ini. Kuhilangkan status “sepupu” yang tersemat di antara kami. Saat ini kuanggap dia sebagai fuck buddy saja.

*slurp*

Payudara yang bebas itu kulahap. Kuciumi karena gemas. Dan membuat sebuah tanda berwarna merah di payudara sebelah kanan. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa kami pernah bersama sama berjuang meraih orgasme.

Vania makin mengerang.

Bibirku menanjak naik. Aku menciumi sisi atas Vania. Bergerak naik dari payudara, leher, hingga kembali lagi ke bibirnya.

“HNGGG. EMHHHHH.”

Akhirnya eranganku beranjak keluar. “Hnggg. Emhhhh”

Aku membuang kaosku. Melemparnya sekenanya.

Adikku kusuruh memperlambat gerakannya. Aku ingin membuat suasana romantis.

Kini gerakan pinggulku sudah melambat. Lebih halus dari pertama tadi.

Kegiatan kami sudah beralih dari seksual, menjadi keromantisan.

Bibir kami masih beradu. Lengan Vania melingkar di leherku, memeluknya erat, seakan tak mau kehilangan aku.

“Hngggg. Ehmmm.” Erangan Vania berubah menjadi halus lagi.

Suara suara indah nan lembut itu membuatku melayang. Ciuman ini seketika menjadi ciuman terindah yang pernah ku alami.

Namun sayangnya ciuman terindah ini harus kulakukan dengan sepupuku. Sebuah kegiatan yang sedikit kemungkinannya akan terjadi lagi.

“Aaahh.” Vania melepaskan bibirnya. “Dhit. Ini kok cuman satu aja yang dikasih tanda? Satunya enggak?”

“Siap, laksanakan!”

Mulutku beralih ke payudara sebelah kiri. Kulahap dan kubasahi benda itu.

Tak lupa kugigit pelan putingnya, serta menghisapnya. Persis seperti bayi yang sedang nenen.

Tanda merah lain lahir di payudara indah itu.

Aku tak tahan lagi. Adikku kupercepat. Makin lama makin cepat.

“AAAAAGHHHHH. HNGGGGG. ADUH. AHHHHMMMMM.” Vania makin tak tahan.

“Ahh. Hnnggg. Ahgg. Van. Ehmmm.” Cengkraman benda jahanam di bawah itu membuatku merem melek.

Adikku sudah bergerak dengan tempo maksimal.

“HNGGHH. UDAH. DHIT. AYO. GAK. HNGGGHH. EMHHH.” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutnya digigit sendiri. “ARGHHH. DHIT. KELUAR. KEL. HNGG. BARENG. AAAH. AAAH”

Nafas Vania sudah tersengal sengal. Bibirnya kulahap lagi.

*crot*

“Hnggghh. Emhhhh. Hihihihi” Vania mengakhiri erangan manjanya dengan tawa kecil.

Spermaku bercampur dengan cairan Vania. Kehangatan itu membuat adikku lemas. Dia beranjak tidur.

Kubiarkan untuk sementara dia tidur di taman bermain barunya.

Aku ambruk ke badan Vania. Keringat kami bertemu.

Vania memelukku sambil menciumi pipiku.

“Hngghh. Dhit, Dhito.” Elusannya memelan. Lalu membisikkan sesuatu “Kamu kok beneran keluar di dalem?”

Aku yang masih mengatur nafas serasa dihantam batu besar. Aku merinding dicampur panik.

“Asu, Van. Bangsaaaaaaaat.” Dalam pelukan Vania aku memaki diriku sendiri.

“Hihihih. Yaudah gapapa. Enak, kan?” Wanita ini malah tertawa.

Adikku aku keluarkan dari dalam tubuh Vania. Aku sedikit bangun dan menatap keheranan ke arah Vania.

Dia tersenyum. Dia tau aku panik.

“Van, kok kamu malah tenang? Bisa bisa kita nanti dihantam sama pakde, bude, pak lek, bulek, dan yang lain”

“Dhito. Tenang. Gapapa” Vania masih tenang.

“Van, kalo kamu hamil gim-“Aku tidak bisa menyembunyikan panikku.

“DHITO. AKU BILANG GAPAPA! TENANG! JANGAN PANIK!” Aparat ini menyemprotku lagi. Dia meyakinkanku.

“Van…”

“Dhit. Beneran gapapa. Tenang. Nanti aku ceritain. Sekarang kita tidur, ya?” Senyuman itu sedikit membuat aku tenang.

Aku menatapnya dalam dalam. Tangannya melingkar lagi ke leherku.

Bibir kami bertemu lagi. Mengakhiri pertempuran malam ini.

Hangat sekali.

Posisiku kini sudah berubah. Aku merebahkan diriku di samping Vania.

Vania memiringkan tubuhnya lalu memelukku. Kepalanya disandarkan ke dadaku.

Goodnight, Dhit.” Kecupan bibirnya mendarat di pipiku.

Kubalas dengan remasan halus di pantat bulatnya.

“BERHENTI, GAK?!” Vania membuka matanya dan menatap tajam.

“Hehehehehe.”

Badan lelah kami memaksa kami untuk segera tidur.

Tak butuh waktu lama untuk membuat kami berangkat ke alam mimpi.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu