1 November 2020
Penulis —  JohnyEdogawa

Siap, Laksanakan!

continuation…

06.00

Sinar matahari mengetuk jendela kamarku. Cahaya terang itu membuka paksa mataku.

Vania masih terlelap. Dia menghadap tembok dan membelakangiku. Gulingku saat ini masih menjadi miliknya.

Kulit kami masih terbebas dari belenggu kain. Sentuhan sentuhan dan pertemuan kulit kami sedari malam tadi menjaga kami dari rasa dingin.

“Van. Bangun, Van.” Aku menggoyang goyangkan badan Vania.

“Hngggg.” Dia menggumam kesal. Alih alih beranjak bangun, kini gulingnya makin erat dipeluknya.

Aku yang masih mengantuk tak peduli. Lalu aku mencoba memeluk Vania.

Lenganku masuk ke dalam ruang sempit antara perut dan guling itu. Seketika rasa hangat menyelimuti.

Perutnya yang mulus itu kuelus elus. Sesekali mencubit pelan.

Vania tidak merespon dengan suara, tapi dengan gerakan. Dia akan bergerak jika dua jariku mencubit perutnya.

Gerakan gerakan kecilnya itu menggeser lenganku semakin naik. Hingga akhirnya menyentuh payudaranya.

Keisenganku muncul. Serangan tangan yang awalnya kulakukan di perut, kini sudah berpindah.

Harta berharga Vania sekarang mendapat sentuhan hangat dari tanganku.

Aku mengelus pelan, menciptakan sebuah rasa hangat. Sesekali meremas lembut.

Hampir lama aku bermain main dengan Payudaranya. Hingga akhirnya aku menyerang putingnya juga.

Masih sama gerakanku, namun kali ini ditambah dengan gesekan gesekan di area puting dan sekitarnya.

Tiba tiba Vania mengerang. Halus dan lembut sekali suara yang muncul.

“Enghhh.” Erangannya membangunkan adikku. “Hnggh. Kamu ngapain. Emhhh”

Aku menambah serangan dengan menciumi lehernya, lalu turun ke punggung tanpa noda itu.

Kini yang memberi jarak antara pangkal pahaku dan pantat Vania adalah adikku.

Kuselipkan adikku ke belahan pantatnya. Memberikan kehatangan pada adikku dan pantat Vania.

Vania mengerang lagi. Suaranya masih halus, dan sekarang ditambah dengan perasaan manja.

“Ehmmmm. Kamu ganggu orang tidur terus ih. Hnggggh.” Suaranya masih manja.

Vania brengsek. Dia membuatku tak perlu bergerak.

Dia berinisiatif untuk memaju mundurkan pantatnya. Dengan senang hati dia mengocok adikku dengan pantatnya.

Hangat dan geli sekali, meskipun hanya di belahannya saja, tidak sampai masuk.

Selagi dia yang beraksi, aku masih melancarkan aksiku di payudara dan lehernya.

Setiap jengkal kulit putihnya itu tak luput dari perhatianku. Jikalau bisa, aku akan menciuminya dari atas sampai akhir.

“Hngghhhh. Aaaaah. Dhito gabisa berhenti nih aku. Ahhmmmm. Hnghhhhh.” Vania meracau.

“Gapapa, Van. Gausah berhenti kalo perlu.”

“Dhit, pagi pagi kok udah tegang sih. Kamu an- Aaaahhhhhng.”

Vania tak bisa melanjutkan racaunnya. Tanganku yang menggesek putingnya membuat dia tersentak.

“Ehmmmmm. Dhittttttt.”

Gerakkan pantat Vania makin cepat. Aku tak mau kalah.

Bibir dan tanganku makin meliar.

*crot*

Adikku muntah. Aku lemas.

Untuk beberapa saat, belahan pantat Vania menjadi tempat penitipan anak anak yang gagal berkembang.

“Aaaaaaaaah.” Aku mengerang puas. Tapi tanganku masih mengelus elus puting Vania yang sudah keras.

Sebuah senyuman muncul di wajahku. Aku tersengal sengal, tapi puas.

Di saat indah itu, Vania berbalik. Dia menatapku tajam. Mukanya marah.

Aku panik. Lalu dia bangun sedikit mengambil bantal yang ia gunakan untuk sandaran kepala.

“Masih pagi, ******!” Vania marah. Bantal yang awalnya berada di bawah kepalanya kini sudah ia gunakan untuk menutupi mukaku.

Mirip orang yang sedang mencoba membuat orang pingsan.

“AAAH. IYA IYA. MAAF. AGHHH. VAN. AMPUN. AAAAGHHHHH”

Permohonanku hanya dibalas dengan tatapan yang makin tajam.

Aku diam tak bergerak. Aku dimarahi lagi oleh seorang aparat.

Dia tak peduli, lalu beranjak turun dari kasur. Setelah itu dia memandangiku. Yang bisa kulakukan hanyalah memandanginya dengan wajah kebingungan.

Lagi lagi dia menyemprotku.

“Sekarang, bangun!”

“Eh, iya. Bent-“ “BANGUN!”

Aku turun dari kasur. Badanku lemas. Aku lalu merunduk malu.

Persis seorang junior yang sedang diplonco oleh seniornya.

“MANDI!”

“Eng. I.. Iya…”

“Main doang semangat. Bangung pagi enggak. Mandi!” Teriakannya diiringi dengan tatapan tajam, setajam

silet.

Teriakan itu membangunkanku. Serta membuat aku melangkah ke kamar mandi.

Untuk pertama kalinya aku bangun pagi karena sebuah bentakan. Tapi aku tak mau repot repot memikirkan itu.

Aku menyalakan shower. Kuatur agar suhunya pas. Tidak terlalu dingin, serta tidak terlalu panas.

Tidak pernah aku langsung membasahi tubuhku. Entah kenapa aku akan selalu bernyanyi dulu.

Setelah cukup puas bernyanyi, aku akan melangkah masuk ke bawah pancuran air.

Aku berdiam diri. Membiarkan bulir bulir air membersihkan tubuhku. Segar sekali rasanya.

Setelah cukup basah, aku mundur sedikit. Mengambil sabun dan bersiap untuk menyabuni diriku sendiri.

*beg*

“Dhitoooooo. Hehehehehe. Kok kamar mandinya gak dikunci?” Setan cantik ini tiba tiba masuk ke kamar mandi dan memelukku dari belakang. Payudara yang kenyal itu menempel di punggungku.

“Apa?” Jawabku ketus

“Kaget yaaa dimarahin pagi pagi? Udah cocok belum jadi aparat?”

“Gak peduli.”

“Hihihihihi kok gitu?” Vania tertawa manja menggodaku. Lengannya makin erat memelukku. Serta mencubit cubit perutku. “Tadi masa gitu doang, Dhit? Lega emang?”

“HHHHHHHH.” Aku hanya bergumam kesal

“Ih, Dhito. Jahat bangeeeet. Adikmu kasian, lho. Masa tadi cuman nyelip doang? Dia pasti pengen ke dalem.” Vania makin memanja. Tangannya mulai bergerak ke pangkal pahaku.

Aku tak menjawab. Lebih tepatnya tidak bisa menjawab. Tangan halus Vania mulai menggenggam adikku. Perlahan lahan mengocoknya dan membuat dia bangun.

“Kan. Tadi dia belum lega, Dhit.” Pelukkannya dilepas. Kini dia sudah berjongkok di depanku. Masih menggenggam adikku dan sekarang seolah berbicara kepadanya. “Uluh uluh belum lega, ya, dek? Yaudah sini sama tante.”

Kepala adikku kini sudah berada di bibir manisnya. Sebentar saja adikku langsung dilahap.

Dia yang sedari tadi basah karena air, kini makin basah karena air liur Vania. Dia mengulumnya dengan teratur.

Menghisapnya pelan, lalu berdiam sebentar dan bermain main dengan lidahnya, lalu bergerak maju mundur lagi. Perlahan, tapi pasti. Dan membuatku merem melek lagi.

Shower aku matikan. Ruangan basah ini seketika hanya diisi dengan suara manja Vania.

“Hmmmm. Hmmmm. Enghhh. Aaaaah.” Dia mengeluarkan adikku, memainkannya dengan tangannya, sambil menatapku dengan binal.

Aku meremas payudaranya yang bebas, lalu setengah berteriak. “TERUSIN. JANGAN BERHENTI!”

“Hihihihihi. Siap, laksanakan!”

Vania melanjutkan kegiatannya. Gerakannya masih sama. Bergerak perlahan, lalu sebentar sebentar mendiamkan mulutnya dan menyuruh lidahnya yang bekerja.

Setelah puas menyuruh mulutnya, kini dia berdiri lalu menghadap tembok. Dia membungkukkan badannya. Kakinya yang jenjang terbuka. Memperlihatkan harta karun yang lainnya.

Aku bergerak maju. Kuciumi lehernya.

Kini jari jariku sudah menari indah di vaginanya. Mengelus elus dan sedikit memasukkan jariku, yang langsung membuat Vania tersentak dan mengerang pelan.

“Aaaaah. Hnggggh.” Vania mendongakkan kepalanya. Mengeluarkan erangannya, seakan serigala yang sedang meraung di bawah sinar bulan purnama.

Adikku siap untuk bertempur lagi. Aku meremas manja payudara Vania. Membuatnya mengerang lagi.

Untuk sementara, aku akan menggodanya. Adikku tidak langsung masuk, aku biarkan dia menggesek gesek vagina Vania. Lagipula, aku mencoba untuk membuat Vania basah terlebih dahulu.

Vania tidak tahan dengan gesekkan itu, tapi adikku tidak peduli.

“Dhit, enghhh.”

“Iya, sayang?” Aku masih saja menggesek gesek vaginanya.

“Hnggh. Dhit. MASUKKIN SEKARANG!” Vania menggertak. Aku tak bergeming. Adikku masih bergerak menggodannya. “Hnggg. Aaah. Dhito. CEPETAN. MASU- AAAAaaaaaah. Hnggggghhhh“

*bles*

Vagina Vania kini sudah terisi. Cairannya memudahkan adikku untuk bergerak. Setiap gerakkan membuat ia tersentak. Kakinya makin melebar. Badanku yang mulanya basah karena air kini basa karena keringat.

Aku menggarap Vania tanpa ampun. Tidak memberikan gerakkan yang teratur, membuatnya makin meraung.

“AHHNNGGGGG. ENGHHHH. AAAAH AH. AH. AH. HNGGGG.” Vania meringis menahan nikmat.

“Van. Ehngg. Aaaah. Hmmm. Sampe kapan. Ah. Hnghh. Kita gini terus?” Tanyaku sambil meremas remas payudaranya.

“AHNNGGG. GAK. TAU. DHIT. AHHH. EMHHH. EHHHH.”

Sebentar saja Vania sudah “kencing” lagi. Cairannya membuatku makin mudah menggarapnya.

Dia mendongakkan kepalanya dan menghadapku.

“DHIT. KELUAR. AKU. UDAH. HNGGHHH. AKU UDAH. AAH. AH. AH. KELUAR. AHHNGGGGHH.”

Erangan Vania hanya kubalas dengan mencium bibirnya. Kini erangannya sedikit teredam.

Tangannya bergerak tak beraturan. Kadang terkepal, kadang mengelus elus tembok, kadang meremas payudaranya sendiri.

Aku memperlambat tempoku. Membiarkan dia bernafas sebentar. Dia masih tersengal sengal.

Tanpa aba aba, aku mempercepat kembali gerakanku. Aku sudah bosan dengan payudaranya, kini aku bermain main dengan pantatnya.

“DHITO. AHHHHH. KIRA- AHHNGGGGG. EHMMMMMMM. KIRAIN SELESAI. AH. AH. AH. AHHNGGG.”

Badannya bergoyang hebat. Payudaranya bergerak naik turun tak beraturan. Serta erangan halusnya memekakkan telingaku.

Hampir lama aku mengerjai Vania. Adikku sudah lelah. Kali ini dia tidak bisa bertahan lama. Ketika kurasa sudah diujung tanduk, langsung kucabut adikku dan mengotori punggungnya.

“Enghhhh. Vaan. Aahhh.”

“Aaah. Dhit. Lemes. Hnghhh.”

Aku memeluk Vania. Adikku masih terselip di pahanya. Punggungnya menjadi sasaran bibirku. Payudaranya yang bebas kembali aku elus dan remas remas.

Vania masih tersengal sengal. Mencoba untuk mengatur nafasnya.

“Kamu gila, Dhit.”

“Kok aku? Yang tiba tiba masuk siapa?” Aku mencubit perutnya sangat keras.

“Aaaah. Aduh, aduh. Iya iya. Udah mandi sanaaa!”

Shower aku nyalakan kembali. Kini kami bermain main di bawah kehangatan air.

Saling menyabuni satu sama lain. Beberapa kali menggoda satu sama lain. Persis seperti waktu kami masih kecil.

08.00

Kini kami sudah berpakaian lagi. Tapi aku hanya memakai boxer tanpa CD dan kaos, sedang vania hanya memakai CD dan tanktop saja. Vania juga sudah memasak makanan untuk kami sarapan.

Kami duduk di sofa dan memanjakan perut. Diiringi dengan obrolan obrolan ringan. Setelah habis, kami hanya menaruh piring piring itu di meja tengah.

Obrolan kami awalnya hanya sebatas keluarga, masa kecil kami, sekolah, pekerjaan, dan sampai di mana kami bertukar cerita tentang kehidupan “gelap” kami.

Aku bercerita tentang Cindy. Dan Vania menganggap aku gila karena berani melakukan kegiatan seksual di tempat umum, terlebih lagi di tempat kerja.

Lalu sampai giliran Vania bercerita.

Dia menatap keluar. Tatapannya kosong. Dia menarik nafas panjang.

Berawal dari 2 tahun lalu. Saat itu dia didekati oleh Aparat pria berpangkat tinggi yang sudah menduda. Seorang duda yang selama hidupnya tidak mempunyai anak karena takdir harus merenggut istrinya dari dunia, sebelum mereka dikaruniai seorang anak. Menurutnya, pria itu ganteng dan berwibawa. Vania terpikat.

Dia bercerita bahwa kali itu dia benar benar merasakan sosok Ayah yang sebenarnya. Ayah yang mengayomi, yang selalu ada di sampingnya, sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari Ayah kandungnya sendiri.

Kini dia merebahkan diri di sofa. Dengan menggunakan pahaku sebagai bantalnya. Dengan lembut aku mengelus elus rambutnya. Lalu dia melanjutkan ceritanya.

Long story short, mereka berkencan. Mereka backstreet. Tidak membiarkan seorang pun tahu. Niatnya, mereka akan mengejutkan rekan rekannya dengan langsung menggelar acara lamaran.

Pada suatu malam, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah hotel. Niat awalnya hanya cuddling. Namun apadaya. Nafsu mereka liar, tidak bisa dikontrol. Vania nurut saja. Pikirnya ketika itu, dia akan dinikahi oleh seniornya ini.

Malam itu, Vania melepas keperawanannya.

Vania bercerita, malam itu tidak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Yang ada hanya rasa nikmat, puas, dan makin mendalam perasaannya ke duda itu. Pada ronde pertama, mereka tidak melakukannya lama. Karena itu pertama kali untuk Vania, dia masih merasa kesakitan. Ketika sudah mereda, mereka melanjutkan kegiatannya lagi.

Awalnya Vania takut. Tapi karena tahu mereka akan menikah, rasa kaget dan takut itu menghilang. Setelah itu, Vania hanya menunggu gejala gejala kehamilan. Karena ketika dia sudah ada gejala hamil, maka dia akan minta segera dilamar.

Sehari, dua hari, seminggu, hingga akhirnya satu bulan. Tidak ada gejala gejala yang nampak. Vania keheranan. Tak menunggu lama, dia bercerita pada pria itu. Vania yang awam, serta pria yang tidak pernah mempunyai anak itu tidak menemukan jawaban. Hingga akhirnya mereka pergi ke dokter kandungan. Menutupi titel aparat yang tersemat, mereka mengaku bahwa mereka adalah ayah dan anak.

Setelah dokter selesai memeriksa, mereka akhirnya mendapat jawaban yang pasti.

Namun, hidup mereka tidak akan sama lagi.

Vania dinyatakan mandul.

Mereka lemas. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Vania hancur. Dia menangis sejadi jadinya. Kemungkinan kuat kegiatan fisik yang dilakukannya di markas menjadi alasan dibalik semua itu.

Pria itu berusaha menguatkan Vania. Meskipun dalam hatinya dia menangis. Mereka tetap bertekad untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Sebuah kabar buruk datang lagi bagi pasangan ini. Secara mendadak, pria ini ditugaskan ke luar pulau selama satu bulan. Pada perpisahan malam itu, Vania diberikan kenang kenangan. Sebuah cincin yang sangat indah. Dia berpesan untuk menjaga cincin itu. Cukup disimpan dan dijaga, tidak untuk dipakai terlebih dulu.

Tepat seminggu setelah kepergian calon suaminya, markas Vania berkabung. Rombongan yang membawa pria itu mengalami kecelakaan parah. Aparat senior itu harus menyusul mantan istrinya di surga.

Vania makin kalut. Dia berusaha kuat. Dalam acara berkabung itu, dia hanya bersedih sekenanya. Menunjukkan bahwa dia hanya kehilangan kolega, tidak seseorang yang namanya sudah tertanam rapi di hatinya.

Cincin itu, cincin yang tidak pernah mempunyai jari untuk menempatkan dirinya, masih tersimpan rapi di dalam kotaknya. Selalu dibawa kemanapun Vania pergi.

“Ya gitu, Dhit. Jadi ya malem itu pertama kali dan terakhir aku main.” Suara Vania memberat

“2 tahun ya, Van. Emang selama itu kamu gak pernah deket sama yang lain?”

“Dhit, pilihanku sekarang cuman ada dua. Yang lebih tua dan yang bisa mengayomi. Sering, Dhit. Sering. Berapa kali aku deket sama cowok lain, tapi aku gak pernah dapet yang punya keduanya.”

“Hidup itu memang selalu ada pilihan ya, Van. Ada pilihan untuk move on, tapi kamu lebih milih sebaliknya. Jangan gitu, dong. Kamu harus bisa keluar dari lubang hitam itu.” Tanganku mengelus halus rambutnya.

“Kamu kenapa jadi puitis gitu?”

“Enggh. Eh? Haha.”

“Kamu tau gak sih, Dhit. Aku udah mulai lupain dia. Tapi malem itu, pertama kalinya kita tidur bareng lagi, aku langsung inget dia.” Pernyataan Vania mengagetkanku. “Pertama kali aku lihat dia, aku inget kamu, Dhit. Dia mirip banget sama kamu.”

“Lah perasaan setiap lebaran kita ketemu tapi kok kamu baru ingetnya sekarang?”

“Karena pas itu aku hanya liat kalian mirip di tampilan dan wajah aja. Pas itu aku belum ngerasain ‘sentuhan’ mu. Terus malem itu, kamu berusaha ngerebut gulingku. Sedikit banyak tanganmu nyentuh nyentuh badanku. Tau kenapa aku langsung narik tanganmu buat meluk? Itu karna. Karn-“

Tangis Vania meledak. Dia menangis di pahaku. Anak ini membuatku kebingungan lagi. Lagi lagi aku harus menenangkannya.

“Pas itu aku langsung inget dia, Dhit. Kejadiannya sama. Pertama kali aku main sama dia kondisinya sama kayak gitu. Tapi pas itu dia yang mulai.” Tangisnya makin menderu. Mukanya dibekapkan ke perutku.

Aku melamun. Pandangan kosongku mengarah ke luar taman. Sesaat aku bisa merasakan rasa rindu itu. Rindu yang teramat dalam membuatnya hampir kehilangan arah.

“Van, udah dong. Dia udah di surga. Kamu mau nangis sambil kayang ya dia gak bakal bisa balik. Udah ya, jangan nangis.” Pelukanku ke kepalanya makin erat. Dia hanya menangis sambil memeluk pinggangku.

Berbagai cara tak bisa menghentikan tangis sepupuku ini. Aku pasrah. Berdiam diri sambil mengelus elus rambutnya. Berharap hujan di sudut gelap matanya berhenti.

“_You know I’ve seen a lot of what the world can do

And it’s breaking my heart in two

‘Cause I never want to see you sad girl

Don’t be a bad girl_”

Sepenggal lirik lagu_Wild World_keluar dari mulutku. Sekarang tangis Vania sudah berhenti, tapi dia masih sesenggukan.

Dia menatapku. Matanya sayu. Terlihat kenangan kenangan indah bersama pria itu di ke dua matanya.

Sejenak bibir kami bertemu. Kami berciuman sebentar. Meskipun masih menunjukkan wajah sedih, kini Vania sudah tersenyum. Dan aku masih saja mengelus rambutnya.

Hingga akhirnya dia terlelap tidur. Kurasa ceritanya tadi menguras tenaganya. Kenangan indah dan pahit itu menyuruh dia untuk memejamkan matanya untuk beberapa saat.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu