2 November 2020
Penulis — toketmania
Aku tidak tahu bagaimana perasaan ibu, yang aku tangkap hanya kuduknya yang merinding, lalu tubuhnya yang agak gemetar dan deru nafasnya yang mulai tak beraturan. Aku hanya bertindak mengikuti naluri… naluri seorang pria yang sekian lama tak merasakan kehangatan tubuh wanita. Ibu memegang kedua pergelangan tanganku, ada sedikit upaya menarik tanganku dari permukaan dadanya, namun aku sudah kehilangan kendali…
handuk basah itu jatuh di pangkuannya, dan kini telapak dan jari jemariku mulai meremas-remas gundukan daging kenyal itu dan memilin-milin putingnya. Mulutku mengecup belakang leher dan pundak ibu. “Den… jangan,” ujarnya lirih… ketika satu tanganku mencoba masuk menyelusup celana dalamnya, ia memegang pergelangan tanganku yang sayangnya sudah berada di atas gundukan bulu-bulu hitam lebat di bawah pusarnya.
Dan pertahanan moralku pun roboh, ku rebahkan tubuh ibu dan mulai menindihnya, ia melawannya dengan mencoba mendorong tubuhku, namun tentu saja apalah arti tenaga wanita separuh baya dibanding pemuda yang tengah terbakar nafsu. “Den… jangan, aku ini ibu mu… ibu mertua mu.. mmmff”.. ucapannya terhenti ketika kusumpal paksa mulutnya dengan mulutku…
“mmmf… Den.. mmmhh”, tangannya terus meronta namun kutangkap dan kurentangkan ke atas… membuatku tergoda untuk menciumi ketiaknya…” Den… apa kata orang nanti… ini gak bener.. Den… ouhhf”, kembali kulumat bibirnya dan pergelangan tangannya ku tahan dengan satu tangan karena sebelah tanganku sibuk berupaya melepaskan celana yang kupakai.
Ibu mulai menangis terisak, dan tubuhnya menggeliat-geliat melakukan perlawanan namun justeru menciptakan pemandangan sensual yang kian menggoda. Dan matanya membelalak dan kian panik ketika dengan paksa kurenggut celana dalamnya.. “preekkk,” dan ia melakukan perlawanan terakhir dengan merapatkan kakinya, tetapi terlambat…
satu lututku telah berada di antaranya, dengan paksa kulebarkan kakinya… batang kontolku sudah berada di antara dua pahanya.. mencari-cari sebentar dan.. kurasakan tumpukan bulu-bulu di ujung kepala jamur kelaminku itu… dan akhirnya menemukan sasarannya… celah di antara perbukitan rumput hitam itu, yang ternyata…
telah basah. Sehingga dengan sedikit mudah benda tumpul itu mulai mendesak masuk… dan rasanya bahkan lebih sempit dari rongga vagina isteriku… apakah karena ibu juga jarang disentuh bapak mertua? Wajah ibu hanya meringis pasrah, air matanya mengalir menemani isakan dari mulutnya. “maafkan aku, bu…
aku sayang ibu, aku butuh ibu, ibu juga kan? ”, ujarku dengan mesra di depan wajah ibu sambil berusaha mengayun-ayunkan pinggulku. Ibu hanya terisak dan menggigit jarinya, dengan liar aku mulai memompa tubuhnya… oh luar biasa nikmatnya. Mula-mula perlahan sampai makin cepat dan ganas menyebabkan tubuh ibu dan payudaranya berguncang-guncang, sangat sayang jika disia-siakan, maka segera kutangkap gunung kembar yang tengah diguncang gempa itu, dan kugigit ringan dua pucuknya bergantian, membuat ibu kian merintih.
Pagi itu suasana sejuk berubah menjadi panas, tubuhku dan tubuh ibu mulai dibanjiri keringat. Kamar dengan cat mengelupas di sana sini itu seolah-olah berubah menjadi kamar pengantin yang indah, diiringi deritan ranjang tua yang bergerak dan suara kecipak dua kelamin beradu. Ku tarik tangan ibu dari mulutnya, ku lumat bibirnya yang memerah itu..
“ouuhh.. Den.. mmmmf”, lenguhnya membuat aku kian brutal mengobrak-abrik liang senggamanya, liang yang telah menghadirkan istriku 25 tahun lalu itu. Ibu setengah menjerit ketika tiba-tiba dua kakinya dirangkulkan erat-erat di atas pinggangku dan kedua tangannya memeluk ketat diriku… ia telah mengalami orgasme, menyadari hal itu menimbulkan sensasi tersendiri hingga tak menunggu lama aku tak bisa lagi menahan ejakulasi ku, semprotan demi semprotan benih terlarang bagai air bah menerjang setiap sudut gua kenikmatan ibu mertuaku itu.
Aku rebah di atas tubuh telanjang ibu, mencoba mengatur nafas, dan ibu mengusap-usap punggungku dan mengeramasi rambutku. Sampai akhirnya aku bangkit meninggalkan tubuh ibu dan mencabut kelaminku dari jepitan vaginanya. Dengan segera cairan putih kental mengalir keluar dari celah bibir kemaluannya, menciptakan danau kecil di atas sprei lusuh.
Mata ibu menerawang ke langit-langit kamar tanpa plafon itu. Aku menatap wajahnya yang masih basah bekas sisa keringat dan air mata. Dadanya naik turun membawa serta dua gunung indah di atasnya, membuatku tergoda untuk menjamahnya. Ibu tidak protes… “Den… kenapa kamu lakukan itu, ini gak bener Den, ini dosa, apa kata tetangga nanti?
Apa kata bapakmu? Apa kata Asih? Ujarnya lirih. “Ma’afkan saya bu… saya khilaf, saya lelaki normal bu, berpisah setahun dari Asih itu sangat berat buat saya bu.. tapi mau bagaimana lagi? Saya pasrah… seandainya ibu mau mengusir saya silahkan, saya titip Ari aja bu,” jawabku. Ibu kembali menangis dan berujar..
“ibu gak akan ngusir kamu Den… kamu telah baik selama ini membantu ibu, ini salah ibu juga, ibu minta ini jadi rahasia kita berdua Den”, “saya akan jaga rahasia ini Bu,” jawabku pelan sambil berupaya memeluknya, kali ini ibu dengan pasrah meringkuk dipelukanku dan menumpahkan tangisan di dadaku sampai akhirnya mereda, dan entah siapa yang mendahului kembali bibir kami saling berpagutan.
Tanganku mulai meremas-remas payudara montok milik ibu, sementara ibu dengan malu-malu mengusap-usap batang penisku yang kembali siap tempur. Pertarungan ronde kedua kembali dimulai. Menyadari ternyata ibu juga memendam hasrat, kali ini setiap adegan film-film porno yang biasa aku lihat bersama tetangga, kupraktekan.
Aku bangkit mengangkangi dada ibu, kuarahkan batang penisku ke mulutnya, mula-mula ia jengah menolak, namun terus kupaksa, sampai akhirnya agak terbatuk-batuk ia telan nyaris seluruh batang kontolku. Aku tak begitu bertindak memaksa khawatir ia akan muntah-muntah lagi. Yang penting sensasi bahwa aku menguasai dirinya menjadi kepuasan tersendiri.
Ku putar tubuhnya hingga membelakangiku, ku susun dua tumpuk bantal di bawah perutnya, sebelum kusetubuhi dari belakang aku melakukan ritual menjilati setiap mili memeknya, membuat ibu kembali merinding dan merintih-rintih. Lalu… ,”jlebb”… kembali batang kontolku tenggelam dalam liang senggama ibunda isteriku itu.
Kali ini ibu tak malu-malu mengeluarkan suara rintihan nikmat. Pantat molek itu mulai berguncang-guncang akibat hentakanku. Tanganku segera meraih gunung kembar yang kini bergantung terayun-ayun. “ouuh… Den… oohhh,” rintih ibu menemani geramanku… tubuh kami kembali berkilauan basah oleh keringat.
Ronde kedua ini lebih lama berlangsung… ibu menghujamkan wajahnya di bantal untuk meredam suara pekikan ketika orgasmenya tiba.. bagaimana munkin wanita sehangat ini bisa ditinggal ayah mertua, pikirku. Capek melakukan doggi style, kembali ku telentangkan tubuh bugil ibu mertuaku itu, pantatnya kembali kuganjal bantal sehingga pinggulnya mendongak, ku pentangkan lebar-lebar selangkangan ibu, dan kulipat lututnya hingga nyaris menyentuh pundaknya…
lalu satu tusukan teramat dalam kembali dialami lubang kemaluan ibu. Ibu kembali mendesah-desah menerima setiap hentakan demi hentakan senjata biologis milikku… dan sekali lagi ia mengalami orgasme dahsyat yang tak dirasakannya bertahun-tahun, mengundang datangnya orgasmeku pula yang sekali lagi menyirami mulut rahimnya dengan cairan benih potensial.
Pagi itu hubungan menantu-mertua telah melanggar batas menjadi hubungan terlarang sepasang kekasih yang masing-masing masih terikat perkawinan. Dan persetubuhan itu kembali terjadi hingga aku mengalami 5 kali orgasme… ibu mertua? Tak terhitung malah. Menjelang siang aku segera beranjak keluar kamar yang kini beraroma seks itu.