31 Oktober 2020
Penulis —  perjoko

Dari liburan sampai ke ranjang

Sesampai di rumah neneknya aldi disambut oleh nenek, kak dewi dan kak santi. Kak sinta mendekatiku dan berbisik “huh betah bgt kamu disana, kakak gak tahan nih, tinggal hari dan besuk nih kita”. Dalam hati aku senang dan semangat lagi walau tidak ada bibiku aku masih bisa ngentot kak sinta, masih muda, seger lagi.

Akahirnya aku sampai juga dirumah. Ibu senang sekali bertemu anak semata wayang kesayangannya ini. Tapi Aku nampak lesu. Menjawab seadanya. Bahkan saat ibunya menjelaskan kalau project kantor ayahnya sukses dan klientnya sangat puas sehingga menginginkan perusahaan ayahnya mengurus project baru di daerah secepatnya.

Ayahnya terpaksa harus menetap sementara di daerah itu selama sebulan ke depan. Baru tadi pagi ayahnya berangkat, menyesal tak bisa bertemu Aku. Namun Aku tak terlalu antusias. Aku cuma bilang ia capek habis menempuh perjalanan, mau tidur dulu, meninggalkan ibunya yang rada bingung. Aku masuk ke dalam kamarnya.

“Bu… Aku, mau ngomong sebentar.. penting.”

“Iya.. ngomong saja, kamu kayak pejabat saja gayanya. Ayo bicaralah, ibu dengarkan.”

“Eh.. be… besok Aku tak mau masuk sekolah lagi.”

“HAH…? Kenapa, kamu ada masalah di sekolah sebelum kenaikan dulu yang ibu tak tahu…?”

“Ti… tidak, bukan itu bu. Maksud Aku, Aku tak mau masuk sekolah lagi. Aku mau sekolah di kampung.”

“Lho… lho ada apa ini, bukannya biasanya kamu tak terlalu suka kehidupan di kampung ibu. Ada apa sih, ibu tak paham.”

Dan memang Santi bingung sama perubahan sikap anaknya yang mendadak ini. Ia menunggu jawaban Aku.

“Begini bu… Aku jenuh di Jakarta. Liburan yang lama di kampung kemarin telah membuka mata Aku. Di sana ternyata menyenangkan. Lingkungannya asik, orangnya ramah dan bersahabat. Juga Aku sempat melihat sekolah di sana, sepertinya bagus. Lagian memang Aku sangat kerasan dan menyukai kehidupan di sana.

“Wah.. wah… nggak bisa semudah itu nak. Ibu harus berdiskusi sama ayahmu. Tak bisa mendadak. Lagipula ibu sendiri keberatan. Sudh kamu pikirkan dulu, mungkin in hanya perasaan sesat karena kamu baru saja menghabiskan waktu di sana.”

“Nggak. Pokoknya harus. Kalau tak mau… Aku tak mau sekolah lagi.”

Aku nyelonong pergi, memanting pintu kamarnya. Santi membiarkan sudah hafal tabiat anak semata wayangnya ini kalau lagi ngambek. Bingung dia memikirkan hal ini, mana suaminya lagi dinas keluar. Santi paham adat Aku, kalau dia sudah bilang tak akan sekolah, maka itu betul-betul akan dilaksanakannya.

Santi bingung, kenapa anaknya mendadak kepingin sekali sekolah di kampung. Santi lalu mengambil HP-nya menelepon suaminya, menceritakan permasalahan, setelah berunding, mereka sepakat untuk membujuk Dni mengatakan alasan yang sebenarnya, pemikirn mereka, pasti Aku ada masalah di sekolahnya yang tak mereka ketahui.

Senin ini Santi menelepon kantornya, alasan sakit. Ia sengaja tak masuk kerja, bertekad membujuk Aku. Dan memang Aku keras dengan niatnya, ia benar-benar tak masuk sekolah. Aku tak mengurung diri dalam kamar, tapi dibujuk dan dirayu bagaimanapun jawaban anak itu sama, nggak mau sekolah di Jakarta, pindah sekolah titik.

Santi bukannya tak mau anaknya sekolah di kampung, tapi jujur saja, Aku anak satu-satunya. Kalaupun memang dalam menempuh pendidikannya Aku harus pisah darinya, boleh, tapi nanti semasa Aku masuk bangku kuliah. Tidak di masa SMP. Santi sangat tidak mau berpisah dengan anaknya. Lagian alasan anaknya mengenai sekolah di kampung tak masuk akal, nggak, itu bukan alasan sebenarnya.

Besoknya Santi masuk kerja. Membiarkan anaknya, biar saja dulu. Dikantor Santi mengurus ijin selama 3 hari, Rabu sampai Jumat. Senin baru ia masuk kerja. Malamnya ia memanggil Aku, Santi bilang sebenarnya ia tak enak meninggalkan Aku sendirian, tapi ibu ada tugas kantor penting selma 3 hari, keluar kota.

Aku bilang tak masalah. Santi meninggalkan sejumlah uang untuk jajan dan makan Aku. Di kulkas juga banyak bahan makanan kok. Sama sekali ibunya tak menyinggung soal sekolahnya, membuat Aku rada BeTe. Ibunya pura-pura cuek, memilih masuk kamar, tidur. Dan paginya Santi sudah berada di bis yang akan membawanya ke kampungnya.

Aku berbaring di kamarnya, ia rindu sama bibi Ratmi dan bi Lastri, terutama bi Ratmi, mengenang moment-moment panas mereka. Memang dulu ia suka membayangkan ibunya, tapi setelah melewatkan masa indah bersama bi Ratmi, kini bi Ratmi adalah segalanya buat Aku. Harus… pokoknya aku harus bisa pindah sekolah di sana.

Biar bisa dekat kembali dengan bibinya. Aku lalu tidur ditemani mimpi indahnya tentang bi Ratmi. Selama 3 hari ditinggal pergi, Aku hanya di rumah saja tak keluyuran seperti biasa. Teman sekolahnya memang menelepon HP-nya, menanyakan kabarnya yang tak masuk sekolah, juga diminta tolong sama wali kelasnya untuk mengecek, Aku bohong saja, bilang sedang sakit, waktu sohibnya bialng mau datang jenguk, Aku bohong, saat ini ia di kampung ibunya.

Jumat siang, Santi sudah berada di bis yang membawanya ke Jakarta. Lelah dan tertekan. Santi memejamkan mata, memikirkan apa yang ia dapat 3 hari ke belakng. Jawaban yang ia dapatkan sangatlah mengejutkannya. Awal ia datang, tentu teteh dan adiknya menyambut gembira, tak ada hal yang aneh dengan kedatangannya.

Ia memutuskan menginap di rumah adiknya Ratmi. Waktu ia menceritakan perihal Aku yang aneh tak mau sekolah lagi di Jakarta, lalu mau pindah sekolah di sini, juga menanyakan apa mereka tahu apa yang terjadi selama liburan, teteh dan adiknya nampak aneh. Sepintas wajar saja saat mereka bilang tak ada masalah.

Tapi ia amat mengenal kedua saudarinya ini, juga nalurinya mengatakan ada yang aneh di sini. Cara keduanya menjawab sangat dibuat-buat. Ia bertekad berusaha sekuat tenaga mencari tahu jawabannya. Cari teh Lastri sulit, ia juga tak mungkin mendesak tetehnya, sangat sulit. Paling mungkin adiknya Ratmi, hubungan mereka sangat dekat.

2 hari pertama Ratmi masih menjawab dengan jawaban yang sama, ditanya macam apapun tetap sama jawabannya. Mungkin memang Aku sendiri yang tahu jawabannya, ya sudahlah nanti ia akan coba membujuk Aku untuk berterus terang. Akhirnya malam harinya, seperti biasa kalau lagi ada kesempatan ia mengajak bicara adiknya, bukan membahas soal Aku, membahas urusan si Ratmi, biar bagaimanapun Santi itu kakaknya, berkewajiban mengetahui rencana masa depan adiknya.

“Rat.. gimana, belum mau berumah tangga lagi…?”

“Alah si teteh, ada-ada saja nanyanya. Itu melulu yang ditanyakan”

“Ya nggaklah, kan kamu juga harus mikirin si Ucil.”

“Maksud teteh apa…?”

“Iyalah.. si Ucil kan butuh sosok ayah.”

“Ah itu mah nggak harus selalu begitu, toh Ratmi menyayanginya sepenuh hati. Soal biaya juga nggak masalah, kan teteh juga sudah tahu.”

Santi diam, membenarkan tidak, membantahpun tidak.

“Ya sudah, kalau buat Ucil tak masalah, gimana sama kamu…?”

“Maksudnya…”

“Alah kamu suka begitu Rat. Memangnya kamu sudah nggak butuh gituan, ayo deh sama teteh jujur saja, ngomongnya vulgar juga nggak kenapa… nggak ada orang ini, bebas ngomong yang jorok hehehe.”

“Ah, jadi malu deh… ya jujurnya sih umurnya Ratmi masih doyan ngewek, tapi itu kan caranya nggak melulu mesti dengan kawin. Memuaskan diri banyak caranya”

Santi agak mengernyitkan keningnya, jawaban adiknya tak bisa ia benarkan, mana mungkin ia mau membiarkan adiknya menyalurkan hasratnya sembarangan.

“Ya ampun Ratmi, kalau maksud kamu dengan kumpul kebo ya teteh Santi nggak bakalan setuju.”

“Bukan itu teh.. maksud Ratmi. Kan kita bisa eh… memuaskan sendiri, biar tak maksimal, lumayan bisa nurunin tegangan hehehe.”

“Bisa saja kamu. Ya, teteh sih masih berharap kamu mau berumah tangga, tapi pilihlah calon yang baik dan sesuai, jangan kayak si Wawan geblek itu.”

“Ya pastilah teh. Asli itu mah pengalaman pahit. Geblek banget tuh lelaki, orangtuanya mampu, bisa menyekolahkan dia, bisa memberikan pekerjaan malah disia-siakan. Sudah foya-foya melulu, doyan ngewek sembarangan, mending kalau becus, nafsu doang gede… huh paling sebel kalau sudah ngebahas dia.

Santi nyengir, memang adiknya ini selalu marah kalau membahas si Wawan. Perkataan Ratmi terakhir tadi membuatnya sedikit teringat masalah Aku. Ia pun kembali berucap, serius juga sedikit guyon biar adiknya nggak marah terus. Ratmi masih emosi

“Itulah… makanya teteh sedih banget si Aldi nggak mau sekolah, berkeras mau pindah. Teteh keberatan, lain halnya kalau si Aldi sudah kuliah. Kalau masih SMP di Jakarta saja. Tapi sekarang tuh anak tak mau sekolah. Teteh nggak mau tuh anak kayak si Wawan, orangtuanya mau menyekolahkan tapi si Aldi menyia-nyiakan.

“Nggaklah teh. Mana bisa si Aldi disamain sama si Wawan. Si Aldi mah anak baik, sekolahnya pinter nggak bego kayak si Wawan. Lagian si Aldi ngeweknya juga lebih pintar dari…”

Ratmi tak menyelesaikan ucapannya. Dia memang emosi banget tiap membahas si Wawan, lagianngapain juga tetehnya nyamain si Aldi sama si Wawan. Ratmi yang sayang sama keponakannya tentu membelanya dengan penuh semangat dan emosi. Saking semangatnya sampai kebablasan. Ekspresi muka Ratmi kini seperti orang salah tingkah.

“Rat… teteh dengar kata-katamu yang terakhir walau tak kamu selesaikan. Kamu nggak usah bohong, teteh sudah tahu kalau sekarang gayamu seperti ini maka ada suatu rahasia yang kamu sembunyikan. Gimana kamu bisa ngomong dan bisa menilai kalau si Aldi ngeweknya lebih pintar, jelas ada sesuatu yang tak teteh ketahui…

Dan meski adiknya Ratmi mencoba berkelit, akhirnya mengalir juga penjelasannya dari awal, sungguh membuat Santi sangat terkejut, sangat tak menyangka. Ratmi hanya diam saja setalah memberikan penjelasan. Sementara Santi juga diam, selain terkejut, otaknya juga mulai bisa merangkai serpihan-serpihan jawaban yang tadinya terpencar, mulai bisa memahami alasan Aku.

Mau marah juga sulit, di satu sisi Aldi anaknya, di sisi lain ada Ratmi, adiknya. Ratmi memang telah berterus terang, tapi Ratmi tidak jujur sepenuhnya, Ratmi memilih untuk tidak melibatkan atau membawa nama teh Lastri, bisa tambah runyam urusannya. Agak lama berdiam diri, Ratmi memulai kembali percakapan.

“Teh, jadi begitulah ceritanya. Eh.. ma.. maafin Ratmi yah teh.”

“Untuk apa…? Ini bukan masalah dimaafkan atau tidak, semuanya telah terjadi. Kenapa Rat…? Kenapa..? Den… Aku itu kan keponakanmua sendiri… apa tidak ada lelaki lain…?”

“Teh… sungguh… awalnya Ratmi juga menolak. Terserah teteh mau percaya atau tidak, tapi itu benar. Tapi yang namanya laki dan perempuan dalam satu rumah… akhirnya apapun bisa terjadi. Be.. benar Ratmi ini bibinya, tapi kalau digoda dan juga dari Ratmi sendiri memang ada kebutuhan… ya.. eh… itu akhirnya terjadi.

“Tidak harus terjadi kalau kau bisa menahan diri dan menolak secara sungguh-sungguh.”

Santi memandang adiknya tersebut. Hatinya marah, namun juga menyadari, sesalah apapun Ratmi, tetap saja ia harus bisa objectif, Santi juga memikirkan kemungkinan lainnya, ya anaknya sendiri Aku, biar bagaimanapun sedang dalam usia yang sedang puncak-puncaknya penasaran mengenai Alita dan seks.

“Teh… Ratmi tak akan atau tak bisa bilang kalau Ratmi menyesalinya.. nggak.. nggak bisa. Biar bagaimanapun sebagai Alita, Ratmi mengakui kalau Ratmi menikmatinya. Diri Ratmi mendapatkan rasa nyaman. Teteh boleh bilang ini edan, tapi jelas dengan eh Aku, Ratmi menemukan sesuatu yang telah lama hilang.

“Cukup Rat. Cukup… jangan kau teruskan perkataanmu. Teteh memang memikirkan keadaanmu yang terluka dan terpuruk akibat rumah tangga yang berantakan karena ulah suamimu yang tak bertanggung jawab itu. Berharap kau bisa bangkit lagi, tetapi jelas bukan sama anakku.”

“Iya teh. Ratmi sadar itu tak mungkin. Ratmi hanya mengungkapkan kalau saat itu Ratmi bahagia. Bagi Ratmi walau hanya sebentar, tapi saat itu telah membahagiakan Ratmi. Mungkin setelah ini teteh akan benci sama Ratmi, tak mau ketemu lagi, Ratmi bisa menerimanya, tapi tolong jangan salahkan Aku. Ini bukan salahnya sepenuhnya, Ratmilah yang pantas disalahkan.

Santi hanya diam saja, adiknya nampak bersungguh-sungguh dengan perkataannya yang terakhir. Bahkan kini Ratmi nampak menahan air matanya. Berat buat Santi untuk memutuskan atau memikirkan apa yang mau ia lakukan atau katakan selanjutnya. Ia berdiri, menuju dapur, membuat 2 cangkir teh. Dirinya perlu menyegarkan diri.

Ia membuat teh. Setelah selesai ia membawanya ke sofa, ditaruhnya di meja. Satu untuknya satu untuk Ratmi. Ia meminumnya, hanya mengangguk memberi tanda pada adiknya juga untuk minum. Setelah minum teh, Santi merasa lebih segar dan mulai bisa berpikir lebih jernih. Ia diam sebentar untuk berpikir. Ratmi hanya diam sambil memegang cangkir tehnya.

“Rat, seperti yang tadi teteh bilang, semua sudah terjadi. Jelas teteh kecewa. Sangat. Tapi juga sadar, anak teteh pasti juga punya andil dalam kesalahan ini. Pasti, teteh yakin mengingat usianya yang puber. Biar bagaimanapun kamu adik teteh, selain kamu hanya ada teh Lastri yang tersisa, tak mungkin teteh memutuskan hubungan.

“I.. iya teh.”

“Tapi kini masalahnya adalah si Aldi.”

“Al.. Aldi teh..? Maksudnya..?”

“Selain masalah sekolahnya, ada hal lain yang teteh harus pikirkan setelah mendengar pengakuanmu. Kamu dan teteh sama-sama tahu, kalau kita sudah merasakan dan menikmati enaknya ngewek, pasti akan mau lagi dan lagi. Ibarat orang yang sudah terbiasa merokok atau ngopi, kalau tak ketemu rokok atau kopi, pasti rasanya tak enak.

“I.. iya teh.”

Ratmi meminum kembali tehya, kembali berbicara.

“Dan Aku telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum waktunya ia lakukan. Jelas sudah membuatnya terbiasa. Alasannya mau pindah sekolah pasti karena itu. Kini sulit untuk teteh. Kalaupun ada sisi baiknya dalam hal ini, paling tidak Si Aldi itu mengenal hubungan seks bukan dari pelacur dan sejenisnya.

“Teh… benar juga kata teteh…”

“Ya… ini masalah yang harus dipikirkan. Soal sekolahnya, teteh akan berusaha membujuknya. Oh ya, Rat, tolong ceritakan lagi… jangan malu, ini penting. Kalau teteh mau bicara sama Aku, teteh perlu pahami dan mengerti jelas situasinya. Nah, kamu bilang tadi si Aldi ngeweknya lebih pintar… eh, mana bisa si Rat. Dia itu anak baru gede…?”

Ratmi wajahnya bersemu merah, malu juga dia menceritakan hal ini, tapi tetehnya benar, tetehnya perlu kejelasan. Kalau tetehnya mau membujuk keponakannya buat kembali bersekolah dan juga agar tidak melakukan hal yang beresiko, maka tetehnya perlu segala informasi.

“Eh… gimana ya teh… aduh… anu…”

“Sudah jangan gugup begitu, ceritakan saja…”

“Ba.. baik… eh begini teh, memang sih awalnya si Aldi itu masih hijau, tapi karena eh… giat belajarnya jadi pintar. Bakat juga sih…”

“Iya, gurunya kamu sih. Terus ada lagi..?”

“Eh se.. selain itu, teteh mungkin tak akan paham, tapi eh kont01nya itu sangat eh mengesankan. Sulit menolaknya, makanya Ratmi juga sampai melakukan hal ini.”

“Ah… itu sih kamu terlalu berlebihan. Mungkin kamu saja yang sudah lama nggak ngewek, makanya pas ketemu pelampiasannya jadi berlebihan menilainya. Sudah… sudah, soal itunya si Aldi, nggak perlu dibahas.”

Ratmi menghela nafs, lelah, banyak yang masih harus ia pikirkan. Ia butuh istirahat.

“Rat, teteh nggak bisa ngomong banyak lagi, semua sudah terjadi. Tapi tolong… tolong untuk ke depannya, tahan dirimu, jangan kamu lakukan lagi sama anakku. Teteh anggap ini hanyalah gairah sesaat saja… seiring waktu baik kamu atau Aku akan melupakannya, akan menemukan lagi jalannya yang baru. Paham…?

“Pa.. paham teh.”

“Satu hal lagi, setelah ini, jangan kamu hubungi Aku. Biar saja, dia tahunya teteh sedang dinas kantor. Bukan ke kampung. Jangan kau bocorkan kalau teteh sudah tahu hal ini. Awas kalau kamu telepon dia. Urusan ini biar teteh yang selesaikan. Sudah, besok pagi teteh pulang. Sekarang mau tidur dulu.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu