1 November 2020
Penulis —  Mariodomo

Terjerat Hasrat Syahwat true story

T I G A

Ada sesuatu yang tidak kuceritakan kepada bibiku. Bahwa di Bandung aku sudah bekerja paroh waktu di sebuah restoran besar.

Kuliahku selalu pagi sampai siang. Sehingga sorenya bisa kumanfaatkan untuk belajar nyari duit. Kebetulan teman kuliahku punya famili yang memiliki sebuah restoran besar. Berkat dia pula aku diterima bekerja di restoran itu, mulai jam 4 sore sampai jam 10 malam.

Sebenarnya aku tidak kekurangan duit, karena tiap bulan Bi Yayuk selalu mengirim uang dalam jumlah yang mencukupi untuk biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hariku. Tapi aku ingin belajar nyari duit sendiri, sekaligus ingin memanfaatkan waktu luangku.

Tante Sin, pemilik restoran itu, sangat baik padaku. Ia bahkan menjanjikan, jika aku sudah selesai kuliah nanti, aku akan ditempatkannya sebagai pegawai tetap di restorannya yang selalu ramai dikunjungi konsumen itu.

Yang diam-diam mencuri perhatianku adalah Mbak Elsa. Dia adalah kasir yang sudah lama bekerja di restoran milik Tante Sin itu. Yang membuatku sering memperhatikannya secara diam-diam, bukan karena kecantikannya. Dia tidak cantik. Bentuk tubuhnya pun biasa-biasa saja. Yang menarik perhatianku, adalah statusnya yang belum pernah menikah.

Meski tidak cantik, Mbak Elsa tidak bisa disebut jelek juga, Kalau sedang tersenyum, dia tampak manis dan menarik. Tapi dia sangat jarang tersenyum. Mungkin karena sikap dinginnya itu yang membuatnya tidak mampu merebut perhatian pria. Atau mungkin sikap dinginnya itu karena dia pernah mengalami patah hati lalu merasa terlambat mendapatkan cowok…

Padahal kalau sudah diajak ngobrol, kurasa Mbak Elsa itu bukan seorang perempuan yang jutek juga. Bahkan aku merasa Mbak Elsa senang kalau kudekati di belakang cash registernya, kalau resto sedang sepi pengunjung.

Dan pada suatu Sabtu sore, ketika konsumen baru saja pada meninggalkan resto, Mbak Elsa bertanya padaku, “Kalau malam Minggu suka main ke mana?”

“Ah, gak ke mana-mana. Paling juga nonton tivi di kosan.”

“Kalau gitu, gimana kalau nanti nginep di rumahku? Aku pengen ngobrol panjang lebar denganmu Ben.”

“Mmm… boleh juga.”

“Tapi kalau keliatan waiters kita bareng-bareng, bisa heboh nanti.”

“Kita saling tunggu aja di SPBU yang dekat taman itu.”

Mbak Elsa melirik ke sekitar meja kasir. Mungkin takut ada yang mendengar. Lalu mengangguk, “Kamu kan suka duluan pulang. Kamu tunggu aja di SPBU itu. Nanti aku mau ngisi bensin di sana.”

“Siap Mbak.”

Begitulah. Setelah resto tutup, aku pulang duluan. Sementara Mbak Elsa masih sibuk menghitung uang di meja kasir. Biasanya uang itu langsung disetorkan kepada Tante Sin.

Aku jalan kaki dari resto ke SPBU di dekat taman itu. Dan berdiri menunggu di situ.

Lalu Mbak Elsa pun muncul di atas motor bebeknya. Ia mengisi bbm di pomp sambil tersenyum ke arahku. Senyum yang sangat jarang tersungging di bibirnya.

“Mau di depan?” tanya Mbak Elsa setelah motornya diisi bbm.

“Boleh,” aku mengangguk,”Rumah Mbak jauh?”

“Mmm… sekitar limakilometeran lah,” sahutnya pada saat aku sudah duduk di sadel motor bebek yang tampak masih baru itu.

Lalu Mbak Elsa duduk di belakangku, sambil memeluk pinggangku. Hmmm… ini untuk pertama kalinya aku memboncengkan cewek di atas motor. Maklum saat itu aku belum punya motor. Padahal aku merasa sudah cukup trampil mengendalikan motor.

Beberapa saat kemudian aku sudah meluncur di atas motor bebek Mbak Elsa. Sementara pemilik motor itu tetap nemplok di belakangku, merapatkan dadanya ke punggungku. Karena ini untuk pertama kalinya aku memboncengkan cewek di atas motor, membuatku jadi merasa ada sensasi tersendiri.

Di depan pintu gerbang sebuah perumahan, Mbak Elsa menyuruhku berbelok, memasuki pintu gerbang yang dijaga satpam itu.

Ketika Mbak Elsa menunjuk rumahnya dan memintaku menghentikan motornya, aku melihat sebuah rumah yang tidak terlalu kecil, tidak pula terlalu besar. Mungkin rumah itu type 54 lebih.

“Ini rumah Mbak sendiri atau kontrakan?” tanyaku ketika motor Mbak Elsa sudah kustandardkan.

“Rumah sendiri… warisan dari orang tua,” sahut Mbak Elsa.

“Kirain rumah hasil selama jadi kasir resto.”

“Wah, penghasilanku dari resto itu sih boro-boro bisa dibeliin rumah. Itu motor juga cicilannya masih setahun lagi,” kata Mbak Elsa sambil mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, lalu dibukanya pintu depan rumah itu, “Ayo masuk Ben… anggap aja rumah sendiri, jangan seperti tamu ya.”

“Iya Mbak. Terima kasih,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam rumah itu.

Mbak Elsa tinggal sendirian di rumah ini?” tanyaku setelah dipersilakan duduk di sofa ruang tamu.

“Iya. Aku anak tunggal. Orang tuaku sudah pada meninggal pula. Jadi aku sebatangkara di dunia ini,” sahut Mbak Elsa sambil duduk di sampingku, di sofa yang kududuki.

“Asyik dong. Aku bisa sering nginap di sini. Hehehe…”

“Boleh. Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk Ben.”

“Terima kasih Mbak. Ohya… kenapa Mbak kerasan hidup melajang gini? Maaf… apa Mbak gak kepengen seperti orang lain… berumah tangga maksudku.”

“Udah telat Ben. Di usiaku yang sudah empatpuluh tahun gini, paling juga dapetin lelaki yang udah bau tanah. Kawin sama brondong, aku gak mau. Takut dijadikan bahan gunjingan di sana-sini.”

“Padahal kawin itu enak lho,” ucapku mulai memancing. Karena ingin tahu apa sebenarnya tujuan Mbak Elsa ngajak nginap di rumahnya ini.

“Kawin apa nikah?” tanyanya sambil menepuk pahaku.

“Kawin Mbak… hehehe… just fucking… hehehee…”

“Kamu udah pengalaman ya?”

“Pengalaman dalam soal apa?”

“Ya fucking itu…”

“Pernah mengalami, tapi gak sering.”

“Sama siapa? Waiter di resto kita ada yang pernah kamu libas?”

“Gak pernah. Sumpah. Pokoknya di Bandung ini belum pernah macem-macem satu kali pun.”

“Terus sama siapa dan di mana?”

“Sama janda. Di kampungku Mbak. Itu aja.”

“Sama pelacur pernah?”

“Iiih… aku sih belum pernah nyentuh pelacur Mbak. Takut ketularan bermacam-macam penyakit kotor dan terutama HIV-AIDS… hiii… amit-amit…!”

“Baguslah. Berarti darahmu bersih kan?”

“Dijamin bersih.”

“Kalau gitu ajarin aku dong Ben…” ucap Mbak Elsa sambil memegang pergelangan tanganku.

“Ajarin apa? ML?”

Mbak Elsa tersipu sambil mengangguk perlahan.

“Memangnya Mbak belum pernah sama sekali?”

“Belum. Aku masih perawan… tapi… perawan tua…” ucapnya lirih, sambil menunduk.

Aku trenyuh mendengar ucapannya itu. Dan aku ingin membangunkan semangatnya (mungkin kebiasaan ini yang membuat Mbak Elsa senang padaku). Kurapatkan punggung tangannya ke pipiku sambil berkata, “Perawan ya perawan. Gak ada istilah tua bagiku Mbak.”

“Tapi kenyataannya memang aku sudah tua Ben. Umurku sudah dua kali lipat umur Ben kan?”

“Menurutku, Mbak ini laksana buah yang sudah matang dan siap untuk dipetik,” kataku setengah berbisik.

Mbak Elsa menatapku dengan senyum manis. Ya… memang Mbak Elsa manis kalau sedang tersenyum seperti itu.

“Tunggu sebentar ya. Aku mau ganti pakaian dulu,” kata Mbak Elsa sambil bangkit dari sofa.

“Iya, silakan,” aku mengangguk.

Mbak Elsa masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku tercenung sendiri di ruang tamu. Agak lama aku menunggu di ruang tamu. Sampai akhirnya Mbak Elsa muncul di ruang tamu, dalam kimono tipis mengkilap berwarna orange.

Aku terlongong dibuatnya. Karena sehari-hari Mbak Elsa terbiasa mengenakan celana jeans atau corduroy. Atasannya selalu blouse berlengan panjang, terkadang ditutupi jaket pula. Sehingga yang bisa dilihat hanya kepalanya saja.

Tapi kini, setelah ia mengenakan kimono sutra berwarna orange itu, wow… jelas sekali kulit betis dan sebagian pahanya yang tersembul di belahan kimononya itu, putih sekali…!

Aku tergiur menyaksikan putih dan mulusnya kulit Mbak Elsa itu. Sehingga waktu ia sudah duduk di samping kiriku, langsung kupegang pergelangan tangannya.

“Mbak serius mau bercinta?” bisikku di dekat telinganya.

Ia menatapku dan mengangguk sambil tersipu-sipu.

“Nanti kalau hamil gimana?” bisikku lagi.

“Aku sudah beli pil kontrasepsi,” sahutnya.

“Wah… baguslah kalau begitu,” kataku, langsung teringat pada Bi Yayuk yang juga telah mempersiapkan diri sebelum menyerahkan dirinya padaku.

Tampaknya Mbak Elsa juga sudah mempersiapkan diri untuk “keamanan” dirinya. Mungkin ia sudah mempersiapkan diri sejak beberapa hari yang lalu, tapi baru akan terlaksana malam ini.

Namun aku tak mau membahasnya, takut Mbak Elsa tersinggung karena dipermalukan olehku.

Sementara pandanganku mulai terpusat ke dua tonjolan kecil di kimono Mbak Elsa pada bagian dadanya. Dan aku langsung sadar bahwa saat itu Mbak Elsa tidak mengenakan beha. Mungkin ia sudah mempersiapkan diri untuk mempermudah “eksekusi” yang diinginkannya itu.

Tapi ketika mataku melirik ke arah paha yang tersembul di belahan kimononya itu. Aaah… begitu putih cemerlang… begitu mulus dan merangsang…!

Tanganku mulai merayap ke arah paha itu sambil berkata, “Dalam keseharian di resto, Mbak selalu mengenakan celana panjang dengan blouse lengan panjang pula. Sehingga aku baru sekarang aku menyadari, betapa putih dan mulusnya kulit Mbak ini.”

“Tapi… baru sekarang ada yang mau menyentuhnya,” sahut Mbak Elsa dengan senyum manis di bibirnya. Hmm… seandainya di resto ia sering menyunggingkan senyum itu, pasti sudah banyak yang tertarik, termasuk aku.

“Semuanya sudah boleh kusentuh kan?” bisikku sambil mengelus paha putih licin dan mulai menghangat ini.

“Boleh. Semuanya akan kuserahkan untukmu Ben.”

“Tapi aku masih merasa seperti bermimpi. Kenapa Mbak tiba-tiba mau menyerahkannya padaku?”

“Karena sejak melihatmu pertama kali, aku sudah suka padamu Ben. Tapi baru hari ini aku memutuskan semuanya ini.”

Aku terdiam. Tapi hatiku berkata, seandainya tahu betapa putih mulusnya Mbak Elsa ini, mungkin sejak lama aku sudah mencumbunya.

“Tapi kita kan harus telanjang. Apa Mbak mau dilakukan di sini aja semuanya?” tanyaku sambil merapatkan pipiku ke pipinya, sementara tanganku sudah berada di dekat celana dalamnya yang entah berwarna apa.

“Mmm… di kamarku aja ya. Di sini sih takut ada tamu mendadak.”

“Iya Mbak,” aku mengangguk lalu berdiri dan mengikuti langkah Mbak Elsa menuju pintu kamarnya.

Setelah kami berada di dalam kamar, Mbak Elsa menutupkan pintu sekaligus menguncinya. Lalu ia merentangkan kedua lengannya. Dan memeluk pinggangku sambil berkata, “Lakukanlah semuanya, ya Ben… aku sudah sangat penasaran, ingin merasakan semuanya.”

Kurengkuh leher Mbak Elsa sambil berkata, “Iya Mbak… semuanya akan kulakukan.”

Lalu kucium bibirnya yang agak merekah itu.

Terasa sekali ia belum berpengalaman dalam cium-ciuman. Masih sangat kaku. Tapi aku tak menganggapnya sebagai hal yang penting.

Kupegang tali kimono Mbak Elsa sambil berkata, “Kimononya lepasin aja, ya.”

Mbak Elsa mengangguk sambil tersenyum.

Tanpa keraguan lagi kulepaskan ikatan tali kimono Mbak Elsa. Lalu ia sendiri yang menanggalkan kimono itu dan melemparkannya ke atas bed.

Dan… sebentuk tubuh indah terhampar di depan mataku. Tubuh telanjang yang hanya dilekati celana dalam putih bersih. Tubuh yang putih mulus dan menggiurkan.

Aku tak habis pikir. Kenapa tubuh semulus dan seseksi itu belum pernah dijamah pria (kalau pengakuan Mbak Elsa benar).

Mbak Elsa tersipu malu-malu, karena mataku seolah melahap tubuhnya yang nyaris telanjang itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.

Dan aku tidak mau berkomentar, meski hatiku berkata betapa beruntungnya diriku ini, karena tiba-tiba saja aku mendapatkan kesempatan sebaik ini.

Mbak Elsa duduk di pinggiran bednya yang bersprai putih bersih. Aku pun tak mau mengulur waktu lagi, takut kesempatan itu lolos dari cengkramanku.

Kutanggalkan pakaianku, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Lalu aku duduk di samping Mbak Elsa, dengan desir nafsu yang mulai menguasai batinku.

“Kok ininya gak dilepasin?” ucap Mbak Elsa sambil mengusap-usap celana dalamku, tepat pada bagian yang menutupi alat kejantananku.

“Celana dalam Mbak juga belum dibuka,” sahutku sambil melakukan hal yang sama. Mengelus celana dalam putihnya.

Mbak Elsa merebahkan tubuhnya, menelentang sambil memejamkan mata dan berkata, “Lepasin aja sama kamu.”

Kuamati sekujur tubuh Mbak Elsa yang nyaris telanjang itu. Begitu menggiurkan. Membuatku bertanya di dalam hati, kok bisa ya tubuh sebagus dan semulus ini tak disentuh oleh lawan jenisnya?!

Tapi mungkin sudah ada suratan takdir, bahwa tubuh ini disediakan untukku.

Maka aku pun merayap ke atas tubuhnya, “Santai aja Mbak. Gak usah keburu-buru,” kataku sambil merapatkan pipiku ke pipinya.

Ia membuka matanya dan bertanya lirih, “Tubuhku masih menarik nggak Ben?”

“Daya tarik perempuan itu relatif Mbak,” sahutku sambil menggenggam payudara Mbak Elsa yang ukurannya sedang-sedang saja, “Tapi di mataku… Mbak sangat menarik.”

“Hmm… syukurlah kalau kamu suka…” ucapnya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.

Dan ketika aku mulai mencelucupi puting payudaranya, terasa badan Mbak Elsa mulai menghangat.

Aku memang kurang sabaran saat itu. Maklum usiaku masih sangat muda kalau dibandingkan dengan Mbak Elsa. Maka ketika aku mengulum dan menjilati puting payudaranya yang sudah mengeras, tanganku pun menurun ke bawah. Menyelinap ke balik celana dalamnya.

Jemariku mulai menyentuh rambut yang terasa sangat jarang, sehingga dengan mudah bisa menemukan targetku. Ya, hanya beberapa detik aku mencari-cari, akhirnya kusentuh kelentit perawan setengah baya itu.

Pada saat itulah aku mulai mengerahkan segala kemampuanku, untuk menaikkan libido Mbak Elsa. Bahwa ketika mulutku mengemut puting payudara Mbak Elsa, jemariku beraksi di balik celana dalam gadis yang jauh lebih tua dariku itu. Bahwa ketika aku mengulum dan menjilati pentil toketnya, jemariku mulai mengelus kelentitnya yang makin lama makin menghangat.

Dan tubuh putih mulus itu pun mulai terkejang-kejang. Sementara alat kejantananku semakin mengeras dan menuntut untuk disalurkan. Namun aku berusaha untuk mengendalikan diri, agar foreplaynya sempurna (seperti petunjuk dalam buku yang pernah kubaca).

Mbak Elsa cuma terpejam sambil membiarkanku beraksi sekehendak hatiku. Namun ketika aku sudah melorot, menciumi pusar perutnya, ia mulai membuka matanya. Dan membiarkanku menurunkan celana dalamnya sampai terlepas dari kaki putih mulusnya.

Dan sebentuk kemaluan indah terhampar di depan mataku. Kemaluan yang rambutnya sangat jarang, sehingga bentuk aslinya yang tembem itu tampak jelas sekali.

“Ben… !” Mbak Elsa terkejut ketika aku mulai menciumi kemaluannya. Tapi tanganku memberi isyarat agar ia diam saja, sehingga akhirnya ia pun membiarkanku beraksi.

Awalnya aku hanya menciumi kemaluan berambut tipis jarang itu. Lalu lidahku mulai menjilati labia mayoranya. Dan sepasang kaki Mbak Elsa mulai terkejang-kejang.

Ketika aku mulai menjilati kelentitnya, rintihan halusnya pun mulai terdengar, “Beeen… ooooh… kok dijilatin Beeen… ta… tapi… oooooh… ini enak sekali Beeen…”

Erangan dan rintihan Mbak Elsa membuatku semakin bersemangat untuk mengoralnya. Ingin agar celah kewanitaannya basah kuyup, supaya mempermudah untuk melakukan penetrasi nanti.

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu