1 November 2020
Penulis —  agi888

Panggilnya Teteh Aja, Jangan Tante

Keesokan harinya aku mengukur kembali Otongku. Tadi malam sudah kupakai obatnya. Panas banget efeknya, untung cepat-cepat aku angkat. Sebelum memakai obat, aku sudah pula mengukurnya, dan mencatatnya. Tapi sepertinya kok tidak ada perubahan?. Apa mesti sewaktu berdiri diukur perbedaannya?. Biar sajalah, aku mesti buru-buru berangkat, ke konter hape, dari kemarin mati belum berani kunyalakan karena takut rusak.

Di konter ternyata hapeku tidak perlu ada perbaikan, begitu dikeringkan dengan hair dryer dan dinyalakan, berdatanganlah pesan-pesan yang menumpuk dari kemarin, banyaknya dari teman-teman main game, yang menanyakan aku tak pernah lagi online bermain bersama mereka. Dari Mamahku kemarin, miscall dan pesan yang menyuruh pulang.

Dari Budhe tadi pagi, yang menanyakan jam berapa datang. Dan yang membuat jantungku berhenti sejenak adalah pesan-pesan dari si Teteh Esih.. pujaan hatiku, yang telah menghancurkan hatiku. Aku buka ternyata berisi ketikan huruf P atau hanya menulis ‘A’? saja, atau ‘Aa kemana aza..? ’, dan ‘A’, katanya mau main kerumah?

Ada sekitar 14 pesan dari dia, juga 4 miscall. Aku jadi bingung, aku telah berjanji untuk melupakan dia, tapi hati ini tetap saja ingin bertemu. Aku tak bisa main hati lagi ke dia. Aku beranjak pergi setelah membayar di konter. Aku kerumah Budhe saja ah, Budhe Yeyen adalah resep pelipur lara hatiku yang sedang galau, resah, gundah gulana.

Sesampai didepan rumah Budhe, aku terheran karena ada mobil dinas RSUD tempat Bapakku bekerja. Mobil itu menghalangi garasi. Aku jadi tidak bisa memasukkan motorku. Kuparkirkan saja motor Mas Agus itu dekat taman, agak jauh memang tapi daripada parkir didepan rumah orang.

Aku memperhatikan mobil itu ketika kumelewatinya masuk ke rumah Budhe. Aku berpikir-pikir siapa yang sedang berkunjung kesini. Jangan-jangan Bapakku?. Aku membuka pintu depan rumahnya tanpa mengetuk, memang sudah terbiasa seperti ini. Setelah didalam baru ku menyapa “Assalamualaikum..”.

“Wa alaikum sallam.. sopo ta? Tamu..? monggo pinara.. ora ketok, sopo? (siapa? Tamu? Silakan masuk.. ga kelihatan, siapa?)”.

Ternyata si Mbah yang menjawab, ia duduk di kursi kesayangannya dekat kamar mandi.

“Ya Mbah?”, balasku bertanya karena tak mengerti. Setelah mencium tangannya, aku baru memperhatikan sekeliling, tak ada orang lain disitu, di ruang tamu, ruang tipi dan di mana-mana. Sepi. Tapi ada bekas-bekas gelas dan orang habis bertamu kelihatannya.

“Nduuuk..!, iki lho enek tamu..!, adi’e Agus yo?.. sopo jenenge? (Naak, ini ada tamu, adiknya Agus ya? Siapa namanya?)”.

Baru lah terdengar suara grabak grubuk dari kamar Budhe. Seperti ada orang yang terburu-buru didalamnya, entah sedang apa. Aku tercenung dan mendekat ke arah pintu kamar, terdengar suara orang berbicara panik dengan berbisik-bisik. Aku kaget, wah jangan-jangan..?. Aku terkejut dengan pikiranku sendiri, jangan-jangan Bapakku yang sedang didalam kamar.

Tapi terlambat, pintu kamar terbuka. Aku melonjak kaget menghindar berpura-pura sedang tidak mendengarkan. Didalam kamar gelap, gordengnya ditutup dan lampunya dimatikan. Persis seperti kemarin ketika aku begituan dengan Budheku didalam situ. Tak terlihat orang, kelihatannya ngumpet.

“Lek..? ”, Budhe menyapaku sambil senyum cengengesan. Ia seperti agak malu. Aku lupa untuk balas tersenyum, mencium tangannyapun tidak. Aku akan lebih malu lagi kalau yang keluar dari kamar selanjutnya adalah Bapakku, itu yang kukuatirkan. Aku menunggu orang itu keluar. Tapi ternyata tidak setelah beberapa lama.

“Nunggu apa ta?, ayo duduk dulu di teras sana, mau minum apa..?”. Budhe masih cengengesan, ia mendorongku untuk pergi keluar ke teras sana. Aku menggeleng cepat, masih kutunggu orang berikutnya yang keluar dari kamar.

“Siapa..?”, tanyaku.

“Mana? Ga ada siapa-siapa..! ayo.. tunggu dulu disana.. diteras ae..! ”, Budhe mendorongku sekali lagi dengan nada bicara yang agak ditekan. Aku menurut saja. Begitu sampai di ruang tamu, Budhe berbalik lagi ke dapur untuk membuatkanku minum. Aku menunggu sesaat, setelah itu kembali ke hadapan si Mbah lagi, dekat pintu kamar Budhe.

Aku duduk di kursi meja makan berusaha tak mengeluarkan suara. Mbah Ren menatapku tanpa berkata, aku mungkin kelihatan kabur dimatanya yang sudah tua itu. Dan dia sedang sibuk mengira-ngira aku ini siapa.

Didapur, Budhe menatapku dengan gelisah. Ia mau mengatakan sesuatu tapi tak jadi, Kemudian ia berpura-pura sibuk saja di dapur, pasrah.

Clek..! pintu kamar yang tertutup terbuka. Seorang laki-laki keluar. Tadinya ia celingukan kesana kemari, tapi begitu melihat wajahku yang sedang duduk di depan situ, ia terlonjak kaget. Kemudian setelah menenangkan dirinya, baru ia tersenyum padaku.

“Eeeeh, aya Reggi geningan.. (ternyata ada Reggi)”, tegurnya dengan senyum dikulum, mungkin saking terkejutnya ia jadi menyebut nama lengkapku. Aku juga tersenyum lebar. Bernafas lega. Ternyata bukan Bapakku.

“Eeeeh.. Pak Mistin… aduuuh kamana wae..? (Kemana aja) hehe”, senyumku makin lebar menuju seringai sebetulnya.

“Aah ada aja.. Egi yang kemana aja ga pernah keliatan.. hehehe..”, jawabnya rikuh malu-malu.

Aku terbahak mendengarnya, baru kemarin rasanya kita bertemu, di hotel Nasty, dan kini 2 hari kemudian kami berbasa-basi satu sama lainnya.

”Makin ganteng aja pak Mistin hahehehe..”, lanjutku.

“Aaah biasa… ganteng kumaha? (gimana) Ngaledek wae (melulu) si Egi mah..”, candanya sambil merapi-rapikan seragam RSUD yang dipakainya, putih hitam, ada nametag nya di dada kiri, A. Mistin.

Budhe kemudian keluar membawa segelas teh manis panas untukku, ia juga tersenyum garing. Wajahnya masih malu-malu. Aku perhatikan dia memakai seragam ngentotnya, daster pendek itu, hanya memakai celana training lagi didalamnya. Sudah jelas bagiku sekarang, siapa pacar Budhe ternyata. Tapi yang ini sama sekali tidak membuatku cemburu.

“Tumben.. Gi?, main kesini..? perasaan jarang ya Egi main kesini?”, tanya pak Mistin mencari bahan pembicaraan. Ia ikut duduk akhirnya. Budheku menatapnya, protes dengan pertanyaan itu.

“Iya Pak, jarang… kalo pa Mistin sih sering ya?, hahahehehe..”, jawabku menggodanya. Budhe tertawa sambil mengibaskan tangannya ke pak Mistin.

“Hoahahah.. ngga. Dia juga jarang.. hahaha”. Budhe yang menjawab pertanyaanku. Pak Mistin jadi tertunduk, menyesal dia salah dalam memilih kata. Jadi terkesan mereka sudah lama berpasangan memang soalnya.

“Ini ngembaliin motor.. Pak, kemarin kesini bawa mobil Budhe, pulangnya bawa motor mas Agus… sekarang dikembalikan”. kataku menawarkan suasana. “Eh, saya pulang duluan ah.. ga enak udah ganggu… eh, ini ditungguin sama Mamah sayah..”.

Aku menaruh kunci motor diatas meja.

“Eeh mau kemana?, ngaganggu naon maneh mah (ngeganggu apa kamu?).. hahaha. Pake apa pulangnya?”. Pak Mistin menengok keluar lewat pintu. Wajahnya sudah datar sekarang, tidak terkesan kuatir dan malu-malu lagi. Lega mungkin aku tidak menyinggung-nyinggung soal kamar Budhe.

“Bareng aja Gi.. saya juga mesti ke RS lagi ini.. kerja lagi”. Kata Pak Mistin sambil bangkit. Aku juga berdiri.

“Oalah.. ini minumnya dihabiskan dulu.. Lek..?”, Budhe memprotes. Akupun buru-buru menghabiskannya walau masih agak panas.

“Pak Misting ga minum Pak..?”, tanyaku.

“Udah tadi.. minum Ja…”, Budheku berhenti tak meneruskan.

“Jamu..?!”, seruku meneruskan. Semuanya tertawa.

Pak Mistin berjalan duluan, ia berpamitan pada Mbah Ren dan Budhe.

“Iyo.. hati-hati Mas..”. Budheku menjawab lembut.

Aku hendak beranjak mengikuti mas Mistin, tapi Budhe Yen telah mencengkram dulu kaus di bagian perutku. Tangan satunya mengibas didepan wajahku.

“Awas.. jangan bilang-bilang Bapakmu atau Ibumu lho ya? Awas.. nanti aku bilang kamu ngintip aku mandi teros genit pegang-pegang pantatku kalo kamu bilang-bilang.. Pokoknya jangan bilang siapa-siapa.. awas.. lho!”. Budhe berkata dalam nada yang mengancam. Serius. Aku kaget dan ketakutan jadinya.

“Iya Budhee… masa aku bilang-bilang..?”.

Budhe melepaskan cengkramannya. Senyumnya telah kembali lagi.

“Gimana obat anunya? Manjur?”.

Aku menggeleng cepat, “Belum Budhe.. kan masih belum 24 jam..?”.

“Oooh.. iya nanti Budhe liat ya?”. Kini nada suaranya berubah menjadi manja dan memikat lagi. Aku malah mundur terkejut dengan perubahan ini, dan mengangguk-angguk cepat mengiyakan. Tangan Budhe meraih kebawah ke selangkanganku tanpa sempat kucegah.

“Waw..!”, seruku kaget lagi, ketika ia menjepit Otongku dengan jarinya. Kemudian setengah berlari aku keluar, menuju pak Mistin yang sudah menunggu di mobil. Aku naik disebelahnya.

“Hayu.. ka imah lain..? (ke rumah bukan?)”, tanya pak Mistin ramah. Aku mengiyakan.

“Oh iya Lek..!”. Budhe berlari menuju jendela mobil pada sisiku. “Si Sri..! iya si Sri..! mau balik kesini lagi… kamu inget dia ga..? itu dulu dia luaama kerja di Klinik Ibumu..”. Aku mengingat-ingat.

“Si Sri.. anu rada hideung gening (yang agak item gitu).. jangkung..”. Pak Mistin membantu mengingatkan.

“Oh iya.. saya tau..!”. Aku ingat dia.. Sri.. jangkung, manis, semok dan berdada besar. Dia adalah salah satu bahan untuk coliku di masa SMP dulu.

“Iyooo sesok atau lusa palingan datang… dulu kan dia tidur dirumahmu?, sekarang gak tau.. wes yo terserah Ibukmu lah… yang penting kamu bantu omongi Ibukmu, biar dia bisa kerja lagi.. yo?”.

“Okeee Budhe.. siaap..”.

“Iyo.. hehehe, mas Mistin jangan kapok lho ya main sini.. hihih”, Budhe tersenyum menggoda dengan manis. Pak Mistin memerah wajahnya mengangguk-angguk. Aku tertawa melihatnya.

“Weleh.. motornya kok disimpen disana leek..? jauh halah.. malas aku.. beh.. cah gendeng ngerjain wong tuek..”. Tapi mobil sudah bergerak meninggalkan Budhe yang sedang ngomel-ngomel.

Di perjalanan, pak Mistin berceramah panjang lebar mengenai pentingnya menjaga kerahasiaan padaku, juga mengenai arti anak istrinya dirumah bagi dirinya. Bagaimana bahaya terancamnya retak rumah tangganya bila aku bocor dan tak pandai menjaga mulut. Aku benar-benar merasa lega ketika mobil sudah sampai didepan rumahku.

“Dadaaaah.. Mas Mistin.. terimakasiiih…”. Lambaiku. Pak Mistin tertawa nyengir.

“Gelo siah..! (gila lu)”, jawabnya.

Di kamar, aku termenung memandang hapeku. Bagaimana pesan-pesan dari teh Esih telah menggembirakanku sekaligus membuatku banyak berpikir. Kalau aku berhubungan lagi dengan teh Esih, apa nanti aku akan patah hati lagi?. Tapi di sisi lain, aku memang suka padanya, tidak hanya suka pada orangnya tapi suka juga berhubungan badan dengan dia.

Ooooh aku tau bedanya. Ya jelas aku tidak akan cemburu sama pak Mistin, karena Budhe kuanggap hanya sebagai alas kelaminku saja, bukan tambatan cinta. Bodo amat dia mau bercintaan dengan siapapun, toh yang penting dia masih bisa jadi pelampiasan nafsu bodoh tapi enak si Otongku ini. Kalau Esih? Aku terlalu berharap tinggi, justru sebenarnya aku lah yang rugi kalau kami sampai memadu cinta, bukan memadu kelamin.

Aku menepak tanganku. ‘Iya itu dia.. ’, Mau tak mau kini, suka atau tidak suka, aku tak boleh mengharapkan dia bertumpu pada aku saja. Aku hanya bisa berharap, aku adalah salah satu kontol yang disukainya. Dengan begitu, aku masih bisa mengentot dirinya, tanpa ikatan apapun. Dan mudah-mudahan masih bisa disuap dengan uang seperti kemarin.

Aku mulai mengetik membalas pesannya kemarin.

“Hi.. iya Teh, maaf kemarin hape Egi basah kehujanan, sekarang udah bener, Teteh dimana? Ketemuan yuk..?”. Aku pencet send, lalu menunggu. 4 menit kemudian, pesan itu berbalas.

“Oooh pantesan kmrn ga aktip. Hayu atuh, katanya mau main ke rumah?”

Aku memutuskan untuk menelponnya, telp diangkat, terdengar suara bising di belakang, ia berada di keramaian kelihatannya.

“Halo A? yeee… hahaha.. kemana ajaa..? hahaha, di tunggu-tunggu dari kemaren..”.

“Hehe iya ada Teh, hapenya ruksak, Teteh lagi dimana?”.

“Lagi diluar sekarang mah.. A’”

“Ketemuan di luar aja yuk Teh?”.

“Di rumah aja atuh A’, ini si Mamah pgn ketemu.. hahaha”. Walah.. jadi deg-degan aku.

“Mamah pengen ketemu? Waduuh.. ada apa emangnya?”.

“Ngak ada apa-apa, pengen kenal aja, da kenaleun cenah ka keluarga kamu, Bapa kamu sama Mamah, pada kenal cenah (katanya)..”.

“Ooooh..”, aku jadi ragu-ragu. “Iya atuh”, tapi kataku. “Jam berapa? Kan kamunya, teh Esih masih diluar..?”.

“Sore aja… tau gak rumah Esih? Di Cicendet A’..”. Wah.. Cicendet? Daerah cadas itu, serem, banyak premannya. Ia kemudian menyebutkan alamat lengkapnya serta ciri-ciri rumahnya, ‘pagar hijau..’, katanya. Aku semakin ragu-ragu.

“Teh..? ketemuannya diluar aja atuh?, kan dirumah kamu mah ga bisa pacaran mereun (mungkin)?”.

“Hahahaha.. bisa A’, tenang aja… hahaha..”.

“Ya udah atuh, nanti Egi kesana..”.

Telp ditutup, aku melamun, daerah situ daerah yang dicoret hitam menurut teman-temanku, banyak preman kota kami dilahirkan dari situ. Aku ragu-ragu akan keamananku. Maka kemudian aku mengirim pesan pada pamanku.

“Mang?, ini Egi mau main ka Cicendet, aman moal (ga ya) nya?”.

Pamanku langsung menelpon sebagai balasannya.

“Wahahahaha.. rek naon siah ka Cicendet? Ulin ka si Esih nya? Hahaha, gelo siah Egi? Ulin ka imah janda? Dicarekan ku si Mamah geura? Hahaha.. (Mau ngapain kamu ke Cicendet? Main ke si Esih ya? Gila kamu Egi? Main ke rumah janda? Dimarahin sama si Mamah nanti?).

“Lain.. aya babaturan Mang.. didinya.. (bukan, ada teman Mang, disitu)”.

“Ah siah.. ngaku weh lah.. (ah kamu, ngaku aja), aman Gi.. tong (jangan) kuatir, sebutkeun weh ngaran (nama) Mamang didinya.. (disana)”.

“Hahaha.. anu bener (yang bener)?”.

“Enya.. eeeuh teu percaya, saha anu macem-macem didinya, diacak-acak ku aing imahna.. (iya, eeh ga percaya, siapa yang macem-macem disitu, gua acak-acak nanti rumahnya), eta imahna si mang Gio didinya Gi… dijerona (Itu rumahnya si mang Gio disana Gi, didalemnya), aman disana mah jangan kuatir.. temen Mamang banyak disana..

“Oooh iya sebutin aja Mamang ya?”.

“Enya, geus tenang.. hehe etana atuh Gi? (iya udah tenang.. itunya dong Gi?)”.

“Apanya?”.

“Uang rokok lah buat tutup mulut nih, Mamang keur garing pisan ieu, keur ngaroko ge eweuh.. (Mamang lagi kering banget ini, buat ngerokok aja ga ada)”.

“Hahaha.. maenya (masa) ah bohong si Mamang mah..?”.

“Bener.. engke digantian (nanti digantiin) lah Gi… daripada Mamang kelepasan ngomong nih sama s Bapak sama si Mamah.. hahahaha”.

“Gelo..”, kataku dalam hati. “Iya iya iya Mang, bentar dikirim..”.

“Hahaha nah kitu atuh.. (gitu dong) hahaha, buruan nya Gi? Ditungguan langsung ka ATM Mamang”

“Iyah.. ”, jawabku. Tut telp ditutup. Aku memencet M-banking pada hapeku, untuk mengirim sejumlah uang pada Pamanku. Memang sudah semenjak aku SMA kami begitu, saling meminjam uang. Tapi bila Pamanku punya uang lebih, dia sering membelikanku barang-barang yang bagus, hapeku ini misalnya. Kemungkinan sekarang ini usahanya sedang seret, proyek-proyek Pemerintah tempat biasa dia bermain belum pada cair mungkin.

Aku kini bersiap hendak meluncur ke rumah teh Esih, walau nanti sore janjiannya. Masih 3 jam an lagi, tapi aku mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk minum jamu Budhe dulu. Siapa tau bisa pacaran di rumahnya nanti.

Mobilku memasuki jalan masuk ke alamat yang disebutkan oleh Esih tadi, jalannya cukup untuk dua mobil. Aku tinggal mencari ciri-ciri rumahnya sekarang, pagar hijau katanya. Nah itu dia.. pas ketika aku memarkir didepan rumah dengan pagar hijau, telpku berbunyi, paman Cahya lagi.

“Gi naha? Ngan 150 geuningan? (Gi kenapa? Ko cuma 150?)”.

“Oooh pan cenah kangge rokok hungkul? Hahaha.. cukup atuh? (Katanya cuma buat rokok doang?)”.

“Hahaha, sia mah dasar.. jadi ka imah si Esih teh? (dasar kamu.. jadi kerumah si Esih?)”.

“Jadi.. ini udah parkir didepan rumahnya..”.

“Pake mobil? Walah.. kade (hati-hati) Gi, sok (suka) iseng urang dinya (orang situ) mah, bilangin aja ponakan mang Cahya gitu.. bener Gi”.

“Iyah Mang..”.

Di teras depan rumah teh Esih ada seorang pemuda yang bertelanjang dada yang sedang duduk disitu. Ada tato di lengan kanan dan kirinya. Ia sedang duduk merokok disitu, aku jadi ragu-ragu, agak takut untuk masuk ke rumahnya. Tapi kuberanikan diriku masuk dan bertanya padanya.

“Punten A’? dupi ieu leres bumina teteh Esih? (Permisi, bener ini rumahnya teteh Esih?)”. Aku bertanya dengan sopan, pakai bahasa sunda halus pula.

Pemuda itu sedang bersandar dengan kaki naik diatas sofa single bututnya, ia tidak segera menjawab pertanyaanku, ia kelihatannya malah kesal diganggu olehku. Dia malah menyipitkan matanya dan balas menjawab dengan ketus.

“Teuing atuh… anu milarian saha..? (ga tau, ini yang nyari siapa?)”.

“Abdi Egi. Rerencanganna teh Esih.. (saya Egi, temennya teh Esih)”, jawabku tetap sopan tak mempedulikan ketusnya jawaban pemuda itu. Dia semakin keberatan dengan keberadaanku disana kelihatannya. Dia duduk tegak melotot tegang, seolah jawabanku tadi telah menghina nama baik ibu kandungnya. Aku memang jadi pengen cepat-cepat pergi jadinya.

“Darimana..?”, tangannya menunjuk wajahku.

Sementara dari dalam terdengar suara perempuan menanyakan ada siapa diluar. Pemuda itu menjawab temannya kamu Esih, dia menatapku malas, kemudian menyulut lagi sebatang rokok, meneruskan lamunannya.

Di pintu, si teteh Esih berteriak riang menyambutku, aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa perempuan pujaanku itu telah menyelamatkanku. Aku tersenyum dengan tulus kepadanya.

“Aaaaah.. si Aa datang juga ternyata.. hahah, udah lama? Ayo masuk-masuk, udah ditungguin dari tadi, kirain ga jadi datang..”. Akupun tertawa menyambut keriangannya, tak lupa dengan sopan melewati si pemuda ketus itu. Dia tak mengindahkanku, si pemuda kampret itu.

“Ayo duduk, biarin dia mah.. A Maman namanya, masih sodara, adeknya si Mamah yang paling kecil.. baik sebenernya orangnya kalo udah kenal mah.. aku tak peduli padanya sebenarnya, tapi aku tetap senyum ramah mengiyakan mengangguk. Esih dengan ramah menyambutku, menggandeng tanganku untuk duduk disebelahnya.

“Maah.. ini si Aa udah datang.. sok duduk, mau minum apa A’? kopi? Ya? Bentar..”.

Teh Esih masuk sebentar dan kembali membawa rokok. Ia duduk di sebelahku. Ia menyulutnya dan memegang lenganku. Ia tersenyum sambil memandangku. Si Otongku langsung naik jadinya. Akupun masih terpesona olehnya, dia semakin cantik menurutku. Berdandan seolah mau pergi. Pakaiannya pun masih seperti dulu, kaus ketat tapi kali ini tidak U Can See, dan celana jeans ketat.

Lagi enak-enak seperti itu, tiba-tiba si pemuda kampret, mang Maman, muncul wajahnya dari balik tembok teras.

“Sih..? hampura.. eta aya keneh rokok? (Maaf, itu rokoknya masih ada?)”, tanyanya pada teh Esih.

Esih melihat pada bungkus rokoknya. “Eeeuh tinggal sabatang A’, sok ambil kalau mau mah..”.

“Ah tinggal sabatang mah, keun wae lah.. kedeung engke ka warung.. (biarin aja deh, sebentar nanti ke warung)”.

“A Maman.. Ini ga kenal? Ini ponakannya si kang Cahya?”. Kata teh Esih menunjuk padaku.

Jidat A Maman berkerung mengingat. “Kang Cahya mana? Kang Cahya urang (kita)..?”.

“Enya (iya) ih..”, teh Esih geregetan memandangku.

Wajah A Maman langsung berubah, tadinya kerung langsung berubah ramah. Dari gelap terbitlah terang. Kini ia menyambutku seolah aku adalah sanak saudaranya sendiri.

“Wuaduuuh.. kenapa ga bilang.. waduh maaf saya ga tau.. kirain siapa, berarti ini anaknya kang Budi? Maaf Dokter Budi atuh ya? Aduh maaaf, Mamang ga tau.. hahaha.. ”, ia lalu berdiri kemudian mengajak bersalaman padaku. Aku mencium tangannya, karena dia membahasakan dirinya sebagai Mamang, paman Esih ya Pamanku juga jadinya.

“Waaaah.. mirip bu Dokter Linda ini mah ya? Siga (mirip) orang Tionghoa.. hahaha maaf ya? Aduh ini mah siga keluarga sendiri atuh, Mamang sampe ga ngenalin..”. Aku mengangguk sopan. Dengan kikuk ia mengambil bungkus rokok teh Esih.

“Eeeh enya, tinggal sabatang (iya, tinggal sebatang).. hahaha poho, grogi mereun Mamang yeuh.. (haha lupa, grogi mungkin Mamang nih) hahaha”.

Semuanya tertawa, aku berdiri kemudian.

“Kedap atuh.. (sebentar ya) Egi ka warung heula.. (dulu)”.

“Eeeh ulah (jangan) Gi, ulah.. ku Mamang weh.. biarin..”, dia semakin malu-malu.

“Gapapa Mang.. Mamang rokokna naon (apa)? Mang maman menyebutkan dengan tidak enak. Teh Esih tersenyum lembut memandangku. “Biarin sama Esih aja ke warungnya, sini mana uangnya? ”, tanyanya berbasa-basi. Tapi aku sudah menggerakkan badanku. Warung terlihat ada di sebelah kiri tadi. Masuk lagi kedalam dari arah jalan besar.

Kios Warung itu dihiasi dengan gambar dan warna cat LSM seperti LSM pamanku. Ada foto-foto mereka para anggota sedang berfoto berjajar, ada lambangnya dan lain-lain. Si pemilik warung berambut botak karena rontok di kepalanya. Jaket LSM nya ia sampirkan di paku didinding belakang tempat ia berdiri. Ia menatapku seolah melihat seseorang yang pernah dikenalnya.

Aku menyebutkan rokok A dan rokok B, juga serangkai kopi kegemaranku. “Berapa?”, tanyaku. Ia tersenyum seolah telah menemukan jawaban.

“43 ribu”, jawabnya, “Buat siapa..?”, tanyanya kemudian. Aku heran kenapa dia mau tahu.

“Buat Mang Maman sama teh Esih..”. jawabku walaupun agak risih menjawabnya, bukan urusan dia sebenarnya.

“Ooooh iyah, kirain kang Regi sekarang udah merokok ..”, ujarnya sambil tersenyum

Aku terbelalak, “Ngga.. belum..”, aku menatapnya heran kok bisa dia mengenalku. Ia terkekeh.

“Lupa ya ..? Kang Regi? Udah lama sih ya ga ketemu..”, ia kemudian memakai topinya. Barulah seberkas sinar menerpa wajahku. Aku ingat siapa dia..

“Kang Edi..?!, wah wah wah.. kok ada disini waduuh maap Egi ga liat tadi, atuh jadi gendut sekarang mah.. hahaha”. Aku mengajaknya bersalaman. Tapi ia keluar dari kiosnya, memelukku erat seperti aku ini sahabat lamanya.

“Bisa ya kita ketemu disini?, saya mah memang disini da.. itu rumah masuk ke Gang situ, Udah ga markirin lagi sekarang di Klinik, udah lama..”.

“Saya juga udah lama ga ke Klinik, semenjak si Mamah udah bisa nyetir, udah ga dijemput lagi.. hehe”. Aku ingat kang Edi ini adalah tukang parkir di Klinik Mamahku, kalau aku ikut Bapakku menjemput Mamahku, kami sering bertiga mengopi di parkiran. Kadang kalau Klinik lagi sibuk, kami suka sampai jam 10 malam.

“Wah udah sukses sekarang kang Edi, udah ga markir lagi, Alhamdulillah..”.

“Ah engga.. ga markirin lagi teh soalnya itu.. pengelolanya kurang enak sayah kang Egi, enak dulu sama Mamah kang Egi.. pengertian..”.

“Oooh si Richard mah memang begitu, sok tau manehna mah, suka sok taat peraturan.. ”, aku menyebut adik sepupuku yang mengelola Klinik itu sekarang, dia keponakan Mamahku. Bagus memang, cuma kadang tidak punya perasaan. Banyak pegawai lama yang tidak cocok dengannya. “Nya kumaha atuh Kang, ceuk si Mamah ge da dulur keneh sih si eta mah..

“Wahahaha.. abong-abong (mentang-mentang) anak kesayangan bu Dokter Linda ieu mah haha.. ah udah ah biarin, gentian sama anggota lain.. hehe”.

Dia meninju perutku pelan.

“Atuh mau kemana?, hayu atuh mampir dulu dirumah..?”, tanyanya sungguh-sungguh bukan berbasa-basi. Aku mengucapkan terimakasih dan hendak buru-buru ke rumah teh Esih lagi.

“Oh lagi kesitu ya?, hati-hati ah kang Egi, baik sebenernya keluarganya mah, cuma itu Bapanya, si Dedi tah, banyak yang ga suka.. pikasebeleun (nyebelin) orangnya, suka nyari-nyari kesempatan, si Abah juga gak suka sama dia, Mang Umbed.. Om Umbed mereun (mungkin) kang Egi nyebutnya mah..”.

Aku menggeleng, “Ga kenal da Kang..”.

Kang Edi tertawa, “Hahaha.. masa ga kenal.. hahaha sering ke rumah juga, sering tidur dirumah kang Egi, haha masa ga kenal?”.

Aku menggeleng, dan cepat-cepat pamit, kang Edi melambai sampai aku masuk ke rumah teh Esih lagi. Mang Maman berdiri menyambut di teras rumah, “Darimana kang Egi? Dari rumah si Abah dulu bukan? Om Umbed? Aku termenung lagi mendengar nama itu, kok semuanya nyebutin nama itu sih?, siapa dia ya?, aku tidak tahu, katanya sering kerumah, berarti aku belum pernah bertemu.

“Ga kenal saya Mang.. Om Umbed..”, kataku menggeleng sambil menyerahkan rokoknya. Mang Maman tertawa dulu terus berterimakasih, lalu ikut masuk kedalam rumah.

Ternyata Mamahnya teh Esih sudah ikut menunggu di ruang tamu, kopi untukku sudah dibuatkan. Mereka berdua segera berdiri menyambutku.

“Ini A’, mamah Teteh.. kenalin..”. Aku tersenyum mengangguk hormat, dan mencium tangannya. Mamah teh Esih menyebutkan namanya, “Elis..”, katanya segera setelah aku melepaskan tangannya.

“Eh, meni kasep nya? Ganteng.. mirip Mamahnya yah? Bersiih..”, mata mamah Elis menjelajahi wajahku dengan kagum. Esih tertawa bangga.

“Oh ini Mamah teh Elis atau kakaknya sih?, mirip ya? Cantik-cantik..”. Aku membalas pujian mamah Elis dengan rayuanku.

“Hohahaha..”, semuanya tertawa dengan gurauanku. Tapi kuperhatikan mamah Elis agak ge-er. Mang Maman ikut tertawa sambil berdiri dekat pintu.

“Bisa’an..”, kata dia. “Sih..? majarkeun teh cenah teu wawuh ka mang Umbed cenah.. (kata dia ga kenal sama mang Umbed katanya) hahaha”, kata mang Maman lagi menunjuk diriku, seolah itu lelucon lucu. Teh Esih dan Mamah Elis segera memandangku.

“Haah, masa ga kenal..?”, teh Esih tersenyum lucu, ingin aku mencium bibirnya. Lalu mang Maman berbicara pada Esih hal yang aku dan mamah Elis tak mengerti. Esih mengangguk-angguk pada mang Maman yang bercerita menjelaskan sesuatu.

Aku memperhatikan mamah Elis, dia berbadan kurus sebagai perempuan setengah baya. Kulitnya putih, walau tak secerah teh Esih, tubuhnya lebih tinggi sedikit. Rambutnya dipotong sedada, dibiarkan tergerai. Dadanya kecil, mungkin hanya sekepal, tertutup dasternya yang longgar berwarna merah muda bercorak batik.

“A Egi mau kuliah ya? Mulai kapan?”, tanya mamah Elis. Rupanya Esih sudah menceritakan sebagian tentang diriku. Apa sudah diceritakan pula bahwa anaknya itu mengambil perjakaku? Hahaha.

Aku mengangguk, “Iya mulai bulan depan, ada pengenalan dulu satu minggu..”, jawabku.

“Oooh”, ia segera menunduk lagi begitu bertatapan denganku. Ge-er kayaknya dia masih.

“Mamah umurnya berapa? 30 an ya? ”, godaku. Mamah Elis tertawa senang. Aku tidak tahu dia sadar atau tidak, tapi sambil tertawa dia menaikan dasternya sampai lutut, aku jadi bisa melihat kemulusan betisnya sampai lututnya. Apa dia lakukan itu agar di goda lagi? Atau hadiah atas pujianku?, aku tidak tahu.

“Masa Mamah 30? Mamah udah 45 sekarang, ih bisa aja A Egi.. ”, katanya centil. Kemudian menunduk lagi. Memainkan jarinya di ujung dasternya di atas lututnya. Aku berharap dia mengangkat ujung dasternya itu, biar agak kelihatan dalemnya. Harapanku terkabul, waktu berdiri hendak masuk kedalam, dia mengangkat sedikit dasternya, ada paha putih sekilas terlihat olehku.

“Kedalem dulu ah Mamah ya?, Esih?”.

“Iyah Mah..”, teh Esih terbagi perhatiannya. Tapi kemudian mang Maman juga pamit dengan sopan pada kami berdua.

Maka tinggalah kami disitu, aku tersenyum pada Esih. Dia mengangkat tangannya seperti senang telah mendapat undian.

“Yeeey ada si Aa kesini..”, dia menarik tanganku agar duduk berduaan dengannya di sofa yang panjang. “Duduknya disini.. katanya tadi mau apa? Pacaran..? hahaha..?’.

Aku menggenggam tangan kirinya, mencium pipinya. Tapi kemudian aku teringat sesuatu.

“Eh, nanti si Kokohnya Teteh marah ga?”, aku agak cemberut disitu. Esih langsung berlagak tidak enak.

“Iyah Teteh tuh mau cerita sama Aa sebenarnya, tapi keburu udah kepergok, heuheu..”. Ia membuang abu rokoknya ke asbak dulu. “Tapi Aa jangan marah ya? Eh, tapi wajar aja sih marah juga..”.

“Esih tuh sebenernya udah dijodohin A’, sama papahnya Esih yang di Jakarta. Ini teh temennya juga, koh Teddy namanya, orang Bogor, usahanya udah jalan.. di Bogor usahanya..”. Ia meneruskan.

Aku tercekat sedikit. “Dia duda?”, tanyaku. Esih menggeleng. “Bukan..”.

“Kok udah agak tua ya?”, tanyaku lagi. Esih mengangguk lalu tertawa, “Iya hahaha..”.

“Usahanya apa?”.

“Furnitur… itu tea A’ bikin sofa-sofa.. ukiran-ukiran, bagus-bagus teh..”, cerita Esih bangga. Aku jadi agak cemburu.

“Wah.. lagi berat itu, usaha itu, furniture..”

“Iya A.. memang, tapi dia mah udah ada langganan katanya, ekspor..”.

“Timur Tengah..?”, tanyaku. “Bukan.. ke Hongkong, Korea, Jepang..”.

“Ooooh hebat atuh..”, aku memandang kewajahnya. “Terus kita gimana..?”.

Teh Esih tertawa. ”Ga tau itu mah terserah Aa..”, aku bingung dengan jawabannya.

“Kamu selingkuh atuh? Kok masih jalan sama aku..?”, aku memegang tangannya lagi untuk memastikan dia masih ada perasaan denganku. Dia mengangkat bahu.

“Yaa kan Esih suka sama Aa, lucu.. baik, polos.. hahaha”, ia mencubit pipiku.

“Terus si mang Cahya gimana? Masa Teteh tidur sama aku terus juga tidur sama Pamannya..?”, aku mencoba melucu, tapi teh Esih langsung menarik tangannya dariku, ia kelihatannya tersinggung dengan kata-kataku tadi.

“Emang kita jadian..?”, tanyanya dingin. Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal.

“Ga tau, kirain kita udah jadian waktu di kota B?”, tangkisku.

“Teteh kan waktu itu ga jawab iya, kamu aja yang nyatain.. bener ga itu..?”. Waduh, keluhku dalam hati, jadinya marah dia.

“Kalau kita ga jadian.. terserah aku dong mau gimana-gimana sama siapa-siapa juga..?”, sambarnya lagi, suaranya bergetar mau menangis, ia kini bersandar di sofa menghadap ke depan.

“Oh iya iya atuh, maafin Egi, maafin tadi Egi ngomong sembarangan, Egi cemburu soalnya..”. Aku berusaha memeluknya, ia membiarkanku. Kupeluk dia, dan kuciumi rambutnya. Ia mematikan rokoknya dan kemudian balas memelukku.

“Tau ga A?, semenjak sama Aa itu, Esih belum gituan sama siapa-siapa lagi, yang ngajakin jalan juga banyak”. Suaranya masih bergetar, matanya berkaca-kaca.

“Si Kokoh Teddy?”, tanyaku bodoh dan penasaran. Ia tersenyum menggeleng.

“Dia mah paling ngajak makan A’..”. Tangan Esih kemudian mengusap wajahku.

“Kok? Bego ya dia si Teddy? Ada perempuan cantik begini gak di apa-apain? ”, kataku. Teh Esih tertawa. Kemudian dia mencium bibirku perlahan, aku diamkan, tapi begitu bibirnya menempel lagi, aku menciumnya kembali dengan penuh rasa. ‘Ah, sungguh lembut bibirnya.. Perasaanku melambung tinggi, tak kupungkiri.

Ketika asyik berciuman, masuklah seorang anak laki-laki yang seumuran denganku. Begitu melihatku, ia menaikan lengan bajunya ke bahu. Memamerkan tato di lengannya padaku. Aku mengangguk ramah. Ia diam saja.

“Anton.. !, ini kenalin..”, panggil teh Esih. Tapi si Anton ini cuma mengangkat wajahnya dan ngeloyor masuk kedalam.

“Biarin.. ade Teteh A’, yang lak-laki..”, kata teh Esih. Aku nyengir.

“Kok ga mirip ya? Aku heran karena adiknya itu kulitnya item. Tapi bibir teh Esih lagi-lagi hinggap di bibirku, menyuruhku melupakan semua yang ada di dunia ini. Tanganku mulai meraba-raba dadanya yang sekal. Dari tadi sepasang gunung itu hanya bisa kuperhatikan saja, sekarang akhirnya bisa ku remas-remas.

“Nanti..”, katanya.

“Kita keluar aja yuk..!, cari kamar dimana gitu..?”, kataku sudah penuh dengan nafsu.

“Iyah.. nanti-nanti.. ”, teh Esih berbisik di telingaku. Matanya menunjuk ke pintu kamar kedua yang terbuka di ujung ruang tamu. Aku mengerutkan kening tak setuju. Tapi teh Esih kembali mengulum bibirku, tangannya mengelus-elus kontolku dari luar celana. Aku menikmatinya, tapi tak berani mengerang, hanya nafasku yang jadi keras suaranya.

Sedang berada di pembukaaan kenikmatan itu, ada suara motor besar masuk kedalam garasi, aku melihat dua anak dengan seragam SMU menaikinya, yang didepan anak laki-laki dengan jaket kain berwarna coklat, di belakang anak perempuan agak gemuk bermuka masam. Setelah motornya mati, terdengar suara anak perempuan itu berkata pada temannya dengan nada agak tinggi.

“Eeeh kenapa ini..?”, teh Esih bertanya padanya. Gadis itu tak menjawab, tapi setelah melihat di dalam ia mencium tangan teh Esih.

“Ini kenalin Neng.. temen Teteh..”, teh Esh memperkenalkanku, gadis itu tersenyum sedikit di tengah cemberutnya dan mencium tanganku, lalu langsung ngeloyor masuk ke kamar no dua yang tadi ditunjuk Esih.

“Itu Titi.. adik Teteh yang bungsu, masih sekolah, ini tahun terakhir.. ”, teh Esih menjelaskan, aku mengangguk. Titi kulitnya mirip dengan mamah Elis, putih dan bersih, cuma wajahnya lain, mungkin mirip Bapaknya, oval. Badan Titi gemuk dan agak pendek. Dada dan pantatnya besar. Semok lah. Rambutnya lurus sebahu diikat dibelakang.

Kemudian masuklah pasangannya, langsung mencium tangan kami berdua.

“Asep..”, katanya sambil tersenyum dengan sopan padaku. Aku balas menganguk tersenyum ramah padanya. ”Egi..”, kataku. Asep duduk di kursi single didekat pintu masuk, sambil tetap tersenyum sopan.

“Kunaon sih..? pasea wae asaan teh.. (Kenapa sih? Berantem mulu perasaan..)”, teh Esih menegurnya sambil tertawa. Asep mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya, menyulut sebatang dan menggaruk kepalanya.

“Ah biasa Teh.. hehe..”, ia menaruh rokok itu di atas meja, “Rokok A’..?”, tanyanya padaku. Aku menganguk lagi. Teh Esih tertawa dan menjelaskan kalau aku tidak merokok. Asep tersenyum maklum, kemudian kami mengobrol tentang motor Asep yang ber CC besar itu, yang harganya 20 jutaan katanya.

Tak lama Titi keluar kamar dan ikut bergabung, ia sudah berganti dengan kaus dan celana pendek santai. Ia masih agak cemberut.

Teh Esih memegang tanganku, dan mengajakku berdiri, ia menuntunku ke arah kamar.

Di pintu kamar ia berteriak pada Mamahnya yang sedang duduk menonton tivi di karpet ruang tivi dibelakang ruang tamu. Hanya lemari rak besar sebenarnya yang menjadi pembatas ruang tamu dan ruang tivi.

“Maah.. Esih dikamar yaa.?”. Dari pintu kamar kulihat wajah Mamah Elis yang ragu-ragu.

“Kan ada Titi sama Asep di ruang tamu..”, rayu teh Esih lagi pada Mamahnya. Akhirna Mamah mengangguk.

“Dibuka aja pintu kamarnya..”. Mamah memandang wajahku sambil berkata begitu, sorot matanya seolah mengisyaratkan bahwa dirinya ingin juga berada di kamar ini berdua denganku. Aku jadi ge-er. Tititku cenut cenut.

Tapi teh Esih menutup pintu kamarnya, mengoncinya, ia tidak menyalakan lampu. Aku nyengir padanya.

“Biarin.. A’”, katanya cekikikan. Ia membereskan sedikit sprei ranjang berukuran dobel itu. Aku melihat sekeliling. Gelap semua gordennya sudah tertutup, mungkin bekas Titi tadi mengganti baju.

“Ini kamar kamu Teh?”, tanyaku padanya. Esih tak dulu menjawab, ia menuntunku untuk duduk diatas kasur berduaan, kami duduk diujungnya.

“Iya kamar Esih berdua sama Titi.. Lalu dia menciumku di bibir, kami berpagutan mesra. Tanganku tak sabar langsung masuk kedalam kausnya. Mengangkat behanya, dan meremas kedua payudaranya. Teh Esih bereaksi dengan membuka kaus lalu behanya pula. Iapun tak sabar untuk membuka bajuku, diloloskannya dengan mudah.

Tanganku berusaha melepaskan kancing celana jeansnya, yang lalu terbuka dibantu olehnya, sekaligus celana dalamnya. Tubuh mulus telanjang itu kunikmati dengan merabainya tanpa melepaskan kenyotanku di dadanya. Jariku berhenti di vaginanya, sudah basah, kumainkan dengan lembut. Teh Esih mendesah sambil mengelus badanku.

“Aaaaahh.. Aa kemana aja? Esih kangeeeenn.. sssh.. ”, aku tak menjawab, aku ingin menjilati memeknya lagi. Kulakukan dengan menerobos-neroboskan lidahku masuk ke lubangnya. Esih makin mendesah, ia menggoyang-goyangkan selangkangannya agar makin tertekan oleh jilatanku. Ia sungguh menikmati percintaan ini.

Kubuka celana jeansku, ingin kuteroboskan saja kontolku ke memeknya, udah ga tahan aku. Begitu kuposisikan diriku, teh Esih malah bangkit duduk, ia mencium bibirku. Kontolku diraihnya sambil dikocoknya. Ia lalu merunduk untuk mengulumnya. Aku mendesah, servis Esih untuk yang ini sungguh nikmat, lain sama yang satu kemarin, yang udah agak tua.

Ia menatapku puas karena kepuasanku, kontolku masih didalam mulutnya, terlihat di pipinya tonjolannya. Didalam mulutnya, berputarlah lidah Esih menjilati kontolku. Aku bersandar ke belakang dengan kedua tanganku, merem melek karena kenikmatannya.

Esih berhenti mengulum, ia mengocok-ngocok kontolku. Wajahnya merenung seperti meneliti kondisi kontolku.

“Kunaon..? (kenapa?) ”, tanyaku.

“Kok kayak lain ya perasaan?”, tanyanya. Keningnya mengerut.

“Emang kamu hafal..? bisa inget gitu sama bentuknya..?”, aku terkekeh. Esih agak tersinggung kayaknya.

“Inget atuh ..!”, nada suaranya agak ketus, ia duduk kini menghadapku, ia mau berseru lagi dengan kata-katanya, tapi aku langsung memeluknya, mengelus punggungnya dan menghiburnya.

“Oooh iya ya.. inget ya?, ini atuh sekarang rasain sama memek kamu biar lebih kerasa, bener ga udah lain sekarang bentuknya..?”.

Aku membujuknya dan mengangkat pantatnya agar mendudukiku. Esih mengangkat tubuhnya agar duduk di pangkuanku sambl memelukku. Aku mengarahkan kontolku, Esih lah yang mengepaskan lobang kenikmatannya agar pas bisa masuk. Kontolku pun mulai memasuki celah itu. Enak sekali terasa, dihimpit dinding empuk hangat dan agak becek itu ketika masuk.

“Aaaah.. eeuuh.. asssh.. tuh kan lain A’? agak didalem sekarang mah ujungnya.. ”, desis Esih di telingaku, wajahnya mengernyit merasakannya. Aku termenung, jangan-jangan obat itu ada efeknya? Mudah-mudahan kataku, nanti akan kuukur agar lebih pasti. Tapi, Oh iyah, aku berseru dalam hati, kan tititku belum boleh kena air?

“Agak panjang kali sekarang..? kerasa?”, tanyaku pada Esih, ia diam ragu-ragu memandang wajahku dari dekat.

“Goyangin atuh? ”, pintaku. Esih mengangguk, dan mulai menggocek pantatnya. Waaah.. luarbiasa nikmatnya, memek becek Esih sampai bersuara, cek cek cek saat menggoyangku. Ia pun merasakannya. Terlihat dari desahannya dan wajahnya seperti sedang merasakan sesuatu yang paling enak yang pernah dirasakan dalam hidupnya.

“Eeeeeuuh, sssssh, aaaaaah… uuuuh.. heeeeeenggg.. sssssh..”, suara itu berulang-ulang di dikeluarkan dari wajah cantik itu. Aku senang dia mengalami kepuasan dan kenikmatan. Jadi bukan cuma aku yang menikmati persetubuhan ini.

Pantat Esih bergoyang keatas kebawah, kadang memutar, kadang maju mundur, sering juga menekan keras selangkanganku. Begitu menekan ke bawah sering pula kukejutkan dengan hentakan keatas agar terasa nikmat.

“Auuuh..”, katanya keenakan. Ia memutar kemaluannya sambil memelukku kencang. Kukunya mencengkram kulit punggungku.

“Assshh.. aaaaah..”.

“Mau gentian.. ”, tanyaku lembut di kupingnya. Ia tak menjawab, hanya mendesah nikmat yang dia lakukan. Aku bertanya lagi, karena kasihan dengannya takut kecapekan. Tapi lagi-lagi ia tak menjawab, hanya wajahnya berpindah dari kupingku yang satu ke kupingku yang lain, desahannya makin keras, goyangannya makin kencang.

Ia mendorongku ke belakang, “Diem ah’, sok tiduran aja A’..”. Aku bersorak dalam hati, dia pasti sudah dekat ke puncak, dan hendak melakukan gerakan-gerakan yang enak untuk kita berdua untuk meraihnya.

Benar saja, Esih memejamkan matanya dan mulai melaksanakan gerakan-gerakan liar diatasku, desahannya tak lagi ditahan, hampir seperti jeritan lirih. Aku mengerang dibawah menikmatinya, ‘mmmm… waaargh..’.

Esih tiba-tiba mengejut kencang, sambil mengejan “Hnnnnnngggg… auuuh.”. Ia jatuh lemas diatas tubuhku. Menciumiku di seluruh wajahku. Kepuasan memenuhi wajahnya.

Kemudian ia bergulir ke samping, membelakangiku. Aku belum puas, tapi tadi sedikit lagi hampir aku duluan yang bucat, pecah ketahanan spermaku, lagi tanggung banget. Maka aku memosisikan selangkanganku pada pantat Esih yang masih tiduran mebelakangiku. Aku pun masih tiduran. Begitu kontolku menyentuh bibir vaginanya, Esih pun membantuku agar penisku bisa memasukinya.

“Ah.. eh.. ah.. eh..”.

Sedang dalam posisi begitu, Esih seperti tersadar sesuatu, ia menoleh padaku.

“A? itu ada apa itu diluar? Meni rame orang..? sambil masih memacu, aku ikut mendengar-dengarkan, iya terdengar suara-suara seperti bapak-bapak dan ibu-ibu berdebat. Aku tak peduli, hampir diujung nih kontolku. Aku makin keras mengocok memek Esih, ia berkata sesuatu lagi, tapi aku tak mendengarkan, kupegang pinggang Esih agar lebih mudah kupacu.

“DUAK.! DOR.. DOR..!..”, Esih terlunjak karena kaget, aku juga. Karena itulah lalu kontolku tak mampu menahan, aku muncrat di lokasi terdalam memek Esih.

“Cret… Cret.. Creeeet…!”, “Aaaaah…”, nikmatnya. Aku mengejan lama, mataku membeliak karena kenikmatannya.

“Waaaaaah…”, Esih menjerit kaget. Ia buru-buru melepaskan jepitan memeknya di kontolku. Ia berdiri turun dari kasur sambil memandangku, wajahnya pucat pasi.

“Ini ada apa A’?”, tanyanya menunjuk pintu.

“ESIIIIH… Buka pintuna siaah..!”, terdengar suara marah seorang laki-laki diluar pintu, sambil tetap menggedor. Akupun loncat dari kasur, buru-buru memakai pakaianku.

“Bruk..! Bruk..!”. pintu bergoyang seolah sedang didobrak, tapi mungkin yang diluar tak sanggup mematahkan ketahanan pintunya.

“Bukaaaaa…!”, terdengar suara marah laki-laki lainnya. Esih membelalak padaku, ia hampir selesai memakai pakaian lengkapnya, tinggal celana panjangnya. Aku sih sudah beres.

“Iyaaa bentaaar..”, sahut Esih ketakutan, ia telah selesai berpakaian, tapi ditengah kepanikannya itu ia masih sempat berujar kecewa kepadaku

“Iiiiih Aa.. tadi dikeluarin di dalem ya? Heeeeeuuuh… A’a maaah… ”, Esih merengek melompat-lompat seperti anak kecil. Aku terkejut dan merasa tidak enak.

“Hiya maaf tadi.. abis kaget atuda.. (abisnya)”, aku balas merengek. Aku cepat memutar anak kunci pintu kamar. Begitu mau kubuka, pintu itu langsung membuka kencang, dan hampir mengenai Esih.

“Awas..! ”, teriakku padanya. Baru aku mau melihat siapa yang melakukannya, satu kepalan tangan melayang mengenai hidungku, pandanganku langsung buyar, warna merah dan hitam menggantikannya. Aku terjerambab jatuh ke belakang. Begitu pandanganku normal lagi hampir satu tendangan bersarang di badanku.

Tapi Esih mendorong pelakunya sambil menjerit, lalu ia balas memukul orang itu di wajahnya. Orang itu ternyata Anton adiknya, ia marah lalu memukul wajah Esih sehingga gadis kesayanganku itu jatuh pula terduduk. Esih langsung menangis kesakitan. Aku langsung memeluknya untuk melindunginya dari pukulan-pukulan selanjutnya.

Tapi ada orang dibelakang Anton yang menarik anak keparat itu, suara banyak perempuan dibelakang mereka menjerit-jerit, bapak-bapak pun berteriak mencegah kejadian selanjutnya.

Aku berusaha mencerna dulu kejadian ini, kenapa pula ini?, ada apa?. Kulihat ada beberapa Bapak-bapak disitu, dan yang memegang Anton adalah Asep, pacarnya Titi tadi. Ia berseru-seru menenangkan. Dan bapak-bapak dibelakangnya, yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mencoba menenangkan dan membimbing kami berdua untuk keluar dari kamar.

Setelah masuk dan didudukan berdua di ruang tamu. Aku mulai mengerti persoalannya. Kami dikelilingi, dan didudukan sebagai terdakwa berdua. Aku mulai marah, terutama dipicu oleh menangisnya gadis cantik yang kupeluk disebelahku ini, dan perihnya hidungku.

Kami ini, aku dan Esih, istilahnya yang dipakai oleh masyarakat kita, telah digerebek oleh warga. Penyebabnya biasanya karena Zina, dan seperti umumnya pula terjadi di masyarakat kita, kami ini akan dipaksa dikawinkan. Aku mulai mengerti, darahku mulai mendidih.

Warga sekitar banyak berkumpul diluar, yang didalam yang duduk dihadapan kami ada empat orang Bapak-bapak yang duduk berhimpitan di sofa panjang untuk bertiga. Aku belum pernah melihat mereka. Di sebelah kiri, di sofa butut yang juga panjang, ada Mamah Elis yang terus memarahi Bapak yang diujung sofa yang paling dekat dirinya.

Disebelah mamah Elis ada Titi yang masih pucat kebingungan, dan di sebelah kanannya Anton yang tengah merasa puas akan dirinya. Dan Asep berjongkok di sebelahnya untuk mencegah terjadinya kembali perkelahian. Di kursi single kanan ada Mas-mas yang memakai pakaian seperti Ustadz. Ia tak henti-henti melihat kanan kiri mengucapkan lafal agama dan menenangkan.

Esih masih sesenggukan, aku pun membisikinya dengan kata-kata yang menenangkan. Tapi Esih melotot pada bapak yang dihadapannya, yang masih sesekali dimarahi mamah Elis.

“Rek naon maneh..?, teu nyaho adat siah..!! (Mau apa kamu? gak tau etika lu..!!)”, Esih memaki kasar pada Bapak itu. Mas Ustadz menenangkan Esih dan meminta untuk segera dimulai.

“Ehm… !, baik terimakasih.. segera dimulai saja acaranya..?”. Orang itu berkata resmi sambil memandang berkeliling. Aku hampir meledeknya dengan sinis, acara apa ini? Rapat 17-an kah?, hahaha.

“Baik.. Ehm..! Yaah perkenalkan dulu nama saya Ardi, saya RT setempat disini, kebetulan masyarakat disini mempercayakan pemilihan RT kemarin kepada saya, walau saya warga terhitung baru yah? Rekan-rekan? Tapi.. oleh karena saya memandangnya sebagai amanah.. maka saya…”.

“Kaduhung eta oge..!! (Menyesal itu juga !!)”, Esih menyela marah. Mamahnya ikut bersuara setuju, ia turut berteriak menyesali juga. Anton melotot pada Esih, ia berdiri. Aku pun berdiri marah, selangkah ia maju lagi, akan kupukul dia, tak peduli bagaimana nantinya.

Asep langsung ikut berdiri menengahi, ia memegangi Anton pada dua bahunya. Anton sejenak kaget mungkin akan keberanianku melawan, ia pun terduduk didorong Asep sambil tetap melotot terpana padaku. Titi memegangi Anton, mamah Elis mengeplak kepala Anton sambil memarahinya. Anton mengenyahkan tangan Mamahnya itu.

“Enya tenang A’, ngelehan heula weh ayeuna mah.. sabar-sabar heula engke weh.. (iya tenang A’, sekarang sih ngalah dulu aja, sabar2 nanti aja..)”, aku mengangguk menghargai akan kebaikannya, dan kembali duduk.

Warga diluar ada yang riuh berteriak mendukung Anton.

“Yah sabar dulu lah semuah..”, kata pak RT, tapi disela pak Ustadz.

“Langsung aja lah ke pokok permasalahannya atuh Te.. riweuh yeuh.. (ribet niih..)”.

“Ya baik, tadi sampe mana? Perkenalan? Ini yang di sebelah kanan saya pak Dedi, udah kenal? Belum? Iya ini Bapaknya Esih..”. Aku mengangguk cepat.

“Ini yang di sebelah kiri saya ini Endang, sekertaris RT dan ini Husni keamanan RT”, si bapak sekertaris mengangguk ramah. Aku hanya menjawab, “Ooooh..”. Aku melirik Esih, dia sekarang sibuk mengetik pesan di hapenya. Pantesan dari tadi diam.

“Adek ini siapa namanya?”. Ia menunjuk padaku. Aku juga menunjuk diriku pula.

“Nama lengkap saya?”, tanyaku, “Reginal Muhammad..!!”, jawabku setengah berteriak.

“Hah..?”, pak RT melengos pada pria di sebelah kanannya, “Naha..? (Lho kok?)”, tanyanya setengah berbisik. Yang ditanya bingung, menggeleng.

“KTP mana KTP..?”, tanya pak RT lagi padaku.

“Belum punya..!, belum jadi..!”, jawabku kencang.

“Iya jangan sambil marah gitu atuh lah..”, keluh pak RT, “Baik.. kita langsung saja ke inti permasalahannya.. langsung saja deh pak Ustadz..?”.

Pak Ustadz mengangguk, dan mulai berceramah soal rukun dan persyaratan pernikahan. Tapi iapun segera berhenti, pak Endang sekertaris RT berbisik-bisik padanya.

Esih tak sabar, ia berdiri dan berpindah duduk di sebelah Mamah Elis.

“Sayah mah ga mau nikah beginih..!, enak ajah.. ga sah atuh menurut hukum agama juga..!”. Bapak Dedi melengos sebal ke arahnya, dan membentak beberapa kata. Mamah Elis balik membentaknya dan kemudian mereka berdebat panjang pendek bertiga.

“Inih yang penting mah..! “, bapak Dedi setengah berteriak pada semuanya, “Adik ini harus nikah sama Esih malam ini juga..!”.

“Eh, jangan mau A’, enak aja.. ih, kasian atuh si Aa, belum juga masuk kuliahnya..”, Esih menyela Bapaknya itu dengan sengit. Aku mengangguk, bapa Dedi mendiamkan hadirin untuk mendengarkan jawabanku.

“Saya mau saja nikah dengan teh Esih.. da memang saya cinta sama teh Esih..”, bapa Dedi terperangah senang sedikit mendengarkan jawabanku “Tapi.. “. Aku meneruskan.

“Saya juga ga mau nikah dengan cara seperti ini, Orang tua saya dimana? Bisa mati saya nanti diam-diam menikah tanpa mereka.. Tegasku lagi. Sementara para wanita senang dan tersenyum dengan jawabanku, terutama teh Esih yang memerah wajahnya dan memandangku penuh sukacita. Warga diluar langsung ramai dan tak sabar padaku.

Bapak Endang mengangkat tangannya. Warga terdiam.

“Sebentar… ini tadi saya tulis namanya Reginal Muhammad bukan? Panggilannya siapa?”.

“Egi, panggilannya Egi, ya A’?”, jawab mamah Elis.

“Oh bukan Teddy..?”, tanya pak sekertaris lagi menegaskan.

“Bukan… Egi saya mah..”, Aku menggeleng dan bingung.

Pak Dedi melengak, ia langsung mundur menyender ke belakang. Anton juga, ia menatapku tak percaya.

“Eeeeeeeh.. kumaha sih ieu (ini) pengurus RT teh..? Bapak..? ieu mah lain (bukan) koh Teddy, kabogoh (pacar) si Esih.. ieu mah kang Egi, alona (keponakannya) kang Cahya..”. Mamah Elis mengibaskan tangannya ke wajah Dedi suaminya.

Pak Endang melongo, “Cahya mana? Cahya kita? Cahya LSM?”.

“Iya iiiiiiih…”, kali ini Titi menunjuk hidung pak Endang. Asep pacarnya tertawa.

Warga diluar langsung ramai, ada yang tertawa pula, ada yang tak peduli dengan nama Pamanku itu, mumpung orangnya gak ada, sesahutan kudengar seperti itu. Aku melihat keluar, ingin tahu siapa-siapa saja yang ada diluar. Tapi tak ada wajah yang kukenal. Tunggu dulu, satu wajah menyembul, ia baru datang kelihatannya, karena celingak celinguk bertanya pada orang di sebelahnya ada apa.

Pak Endang, pak RT, pak Husni dan pak Ustadz semua memandang ke pak Dedi, meminta jawaban. Pak Dedi memandang ke kanan kiri dengan agak kesal.

“Memangnya kalau keponakan si Cahya terus boleh melakukan itu disini dengan anak saya?, bapak-bapak biarkan itu dia berzina dirumah saya? Saya kan kepala keluarga disini, saya juga ikut menanggung dosanya..”. kata pak Dedi sambil menepak-nepak meja.

Mamah Elis dan teh Esih bersuara memprotes, pak Endang menggeleng-geleng. Pak Ustadz mengangkat tangannya pada pak Dedi dan bertanya.

“Atuh keponakan si kang Cahya teh berarti juga keponakan si Abah atuh pak Dedi… ciing atuh, tong sok nyiar-nyiar pibahayeun.. ah..! lain soal zinah heunteuna ieu mah, anu bener heula ieu teh..? (toloong deh, jangan suka nyari-nyari bahaya sendiri ah, bukan soal zinah atau ngganya ini sih, yang bener dulu ini)”.

“Si Abah mah teu aya.. nuju kaluar kota.. tos sabulan mah aya.. (si Abah lagi ga ada, lagi keluar kota udah sebulanan) ”. Kata seorang warga yang menempel di pintu. Ia kelihatan mendukung hiburan perkawinan paksa ini. Pak Endang tak mengindahkannya, ia bertanya padaku.

“Bener Akang ponakan kang Cahya Kang?”.

“Iya, itu adik Bapak saya..”, kataku menjelaskan.

“Berarti atuh ponakannya si Abah juga? Abah Umbed?”.

Dia lagi, nama itu lagi kataku dalam hati. Aku menggeleng. “Gak kenal Abah Umbed mah..”. Pak Dedi, Anton, pak RT dan pendukungnya menarik nafas lega.

“Waaaah bukan kan tuh kaaan..”.

Tapi pak Endang tetap bertanya padaku, “Akang anak dari siapa kakaknya kang Cahya? Alamrhum Mayor Kusnadi?”.

“Bukan itu mah Uwak, saya anak pak Budi..”

“Ooooh anakna kang dokter Budi..”, ia mengangguk-angguk, membereskan peralatannya dan bersiap hendak pergi. “Tipayun (duluan) ah..”, katanya berdiri.

“Mau kemana..? sebentar-sebentar”, pak Dedi mencegah. Pak RT berbisik padanya yang aku juga mendengarnya. Aku mengeluarkan hapeku untuk menelpon mang Cahya, aku memaki diriku kenapa ga dari tadi aku lakukan ya?. Tapi ditelp dua kali tidak mengangkat. Esih memandangku, dan berkata tanpa suara, ga diangkat, iya aku mengangguk.

“Jadi sekarang mah dinikahkan saja dulu gitu.. kalau nanti pamannya marah, ya dikembalikan lagi aja gitu? Iyah? Gitu aja?”. Begitu bisik-bisik pak RT pada pak Dedi yang mengangguk-angguk setuju.

“Eeeeh nekad siah pak RT mah, masih tetap dikawinkan? Ah sayah mah ga ikut-ikutan.. ini anaknya dokter Budi, ga mungkin nanti si Abah Umbed ga marah membiarkan sajah… hayu ah”. Pak Endang pun pergi keluar menggidig begitu saja, sebagian kecil warga ikut dengannya.

Pak Ustadz pun bersiap-siap hendak mangkat. Tapi pak RT memegang tangannya mencegah. Pak Ustadz terkekeh, dan balik memegang tangan pak RT.

“Pak RT, memang kita sebagai manusia sebaiknya hanya takut kepada Allah SWT, tapi adakalanya bila kita tak sanggup, menolak dengan hatipun, sudah termasuk iman yang paling lemah, itu jika kita tidak mampu, ini saya rasakan saya tidak mampu untuk berhadapan dengan si Abah mah.. haduh…”.

“Memang untuk disini, kita semua melihat.. ”, pak Ustadz meneruskan sambil berpaling pada warga di pintu,” si Abah teh udah kelihatan bageur (baik) disini mah, baiiiik teh sama warga, tapi da.. kemarin bulan lalu saya sama beliau di kantor Dinas Kabupaten, haduuh Pak.. sampai-sampai terbalik itu meja ruang rapat..

Pak Dedi, pak RT dan pak Husni berpandangan berubah pucat wajahnya.

“Tapi da ga kenal si akang ini mah sama Abah Umbed..”, bisik pak Dedi pada pak RT. Mereka berdua saling menguatkan hati. Ia kemudian berpaling padaku.

“Mana kunci mobil?”, tanya pak Dedi, tangannya menjulur padaku menagih. Aku bingung.

“Kunci mobil punya siapa?”, tanyaku keheranan.

“Ya punya kamu.. saya pegang dulu, sebagai jaminan kalo kamu tidak akan berzina lagi dirumah saya.. ”, pak Dedi mengayun-ngayunkan tangannya menagih. Warga ada yang berteriak jangan-jangan pak Dedi… Esih dan mamah Elis serentak berdiri marah dan menunjuk-nunjuk Bapak dan Suaminya itu. Mereka berteriak padaku untuk jangan memberikannya.

“Ini mah mobil Mamah sayah pak Dedi..”, kataku. Tapi ada suara merdu dari sebelah kiri, dari arah sebelah rak menuju ruang tivi. Aku berpaling padanya, ada Teteh-teteh cantik yang berdiri berkata padaku.

“Biarin.. kasihin aja A’, biar nanti yang ngambil Mamangnya Aa, kang Cahya atau Abah Umbed.. keun weeh (biar ajaa), biar tau rasa..”, ia menatapku dengan pasti, tapi lalu mengalihkan tatapannya pada arah lain karena malu dilihat dengan penuh kekaguman olehku.

Aku berpikir benar juga dia. Maka kuacungkan kunci mobil Mamahku itu pada bapak Dedi. Ia langsung meraihnya tanpa ragu-ragu.

“Da teu wawuheun ieu mah ka si Abah.. (Kan dia sih ga kenal ini sama si Abah) ”, katanya seolah pada dirinya sendiri untuk menenangkan dirinya.

“Eh.. ”, si Teteh cantik itu menjulurkan lidah melecehkan, “Bolo’on kang Dedi mah, anakna dokter Budi mah piraku si Abah teu wawuh.. (Blo’on kang Dedi, anaknya dokter Budi masa sampe si Abahnya ga kenal)”. Tim perempuan langsung berseru membenarkan mendukung pertanyaan Teteh itu. Akupun tersenyum padanya, bukan karena pernyataannya, tapi karena senang dengan paras wajah dan postur tubuhnya.

Pak Dedi masih percaya diri dengan tingkahnya. “Hape, hape..”. Tangannya lagi-lagi menjulur, “Sebagai jaminan juga..”. Aku berpaling lagi pada teteh itu. Pandangan kami sebentar berbenturan, ia malu.

Si Cantik itu menunduk tapi dagunya mengangguk. Aku memberikan hapeku pada pak Dedi lagi. Pak Dedi memberikannya pada Anton, anaknya yang laki-laki. Anton menggeleng, dari tadi semenjak tahu aku keponakannya mang Cahya, ia memang sudah hilang kepercayaan dirinya, ia duduk menyender di sofa dengan wajah pucat.

“Pegang Ton, teu nanaon (gapapa)..”, Anton dengan ragu mengambilnya. “Sakuan.. (sakuin)”, kata pak Dedi sambil tersenyum. Anton mengangguk lemas. Pak Ustadz memandangnya kasihan.

“Jangan Ton.. ”, katanya mencegah, ”Tapi ah, biar deh.. saya gak ikut-ikutan, ya udah saya pamit dulu ya? Sudah mau Isya.. saya mesti siap-siap dulu”.

“Jadi gak ada perkawinan ini teh..? ”, tanya pak RT, rata-rata semua tertawa, kecuali aku dan tim pendukungku. Kami merasa kalah saat ini, karena walau tidak jadi dikawinkan, tapi mobil dan hapeku tertahan. Memang menurutku, tujuan akhir memang itu, untuk memerasku. Apalagi kalau koh Teddy yang disini, dijadikan ATM mungkin oleh si Dedi kampret itu.

Pak Ustadz berpamitan, tapi baru dia berdiri mau melangkah dia terhenti. Ada yang datang. Kerumunan warga yang diluar terkuak dengan sendirinya. Apalagi setelah melihat jelas siapa-siapa yang datang mereka membuka jalan sendiri untuk rombongan yang baru datang itu. Pak Ustadz mengeluh.

“Aduh cilaka..! (aduh celaka)”.

Bersambung..

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu