1 November 2020
Penulis —  agi888

Panggilnya Teteh Aja, Jangan Tante

Sayup-sayup terdengar ringtone lagu campursari, ‘Kok kebangeten.. men.. sambet blas rak onok perhatiaaaaaann..’. Lalu, terdengar suara tergopoh-gopoh Budhe meraih hapenya.

“Halo… ooooh.. iya dek.. wahahaha.. Budhe tertawa basa-basi, “Nggak kok masih bersih-bersih di dapur… iyow.. deres tadi. Mosok? Lah ya ini keudanan.. iyo mampir neng Gg Sempit tadi sebentar.. wahahaha.. lah wes teles basah kuyop kabeh lho Dek.. iyo keudanan.. Diam sebentar, terus. “Ada.. ada tadi sudah mandi teros makan teros nonton tipii..

“Sek.. tak liat dulu..”.

Aku membuka mataku sedikit. Wajahnya muncul dari balik tembok.

“Wahh turuk Dek.. tidur. Mau tak bangunkan? Ya? Iyo sebentar..”.

Budhe menepak-nepak pahaku. “Hah..?!”, kataku kencang.

“Ibumu..!”. budhe memberikan handphonenya padaku. Lalu memberikan tanda telunjuk di bibir. Aku menatapnya tak mengerti.

“Halo Mah..?”. Suaraku masih kentara orang bangun tidur.

“Keur naon (Lagi ngapain)? Sare lain.. (tidur bukan)?”

“Iyaa ketiduran..”

“Handphone maneh pareum geningan..? (hapemu kok mati?)”.

Budhe masih sibuk memberikan tanda sssst di bibirnya, aku merapatkan alis tak mengerti. Budhe membelalak panik, terus menunjuk tititku, memeknya dan kembali telunjuknya ke bibir.

“Iya sengaja dimatiin dulu.. tadi kebasahan kan..”. Aku mengangkat tanganku faham, dan mengangguk-angguk ke arah Budhe.

“Buruan balik..”, perintah Mamahku.

“Enya.. hujan keneh (masih). Sakedap Mah.. (sebentar Mah)”.

“Enya atuh.. sok..”. Tot.. Hape dimatikan.

Budhe menatapku kuatir. “Jangan bilang-bilang lho Lek, kalo kita gituan.. Jangan bilang siapa-siapa..!”

“Ya iya atuh Budhe, masa saya bilang ke si Mamah abis ngentot sama Budhe… bisa heboh tujuh turunan nanti..”. Budhe tertawa. Aku bangkit menuju kamar mandi.

“Diminum dulu jamune Lek..”. Aku iyakan saja. Keluar dari kamar mandi, Budhe sudah mencegat dengan gelas ditangannya. “Yoh..”, katanya. Gelas itu berisi cairan berwarna hitam yang masih hangat. Aku kuatir dengan baunya. Budhe mengangkatnya ke bibirku, aku menahan dengan tanganku.

“Ayooo..! biar greng lagi, sehat..!”.

Aku meminum sedikit, Wuek..! rasanya parah.

“Apa ini? Air aspal bukan Budhe?”.

“Hoahaha, diminum ae, langsung jangan sedikit-sedikit… ayo habiskan langsung, cepet”, katanya memaksa. Aku menenggaknya dengan buru-buru. Wueeeeks.. pahitnya luarbiasa. Lebih pahit dari mengenang Esih.

“Aku pulang ah Budhe..?”. tanyaku, kenanganku terkuak lagi, aku ingin sendirian melamun soal Esih. Budhe membesar matanya kecewa.

“Aaaah masak pulang ta?, lah abis minum jamu, lantas ngaceng sendiri gimana?”.

Aku tak menjawab. Selain ragu akan keampuhan jamunya, suasana hatiku juga sedang sendu. Aku duduk di kursi tamu sambil melamun dalam.

“Tunggu dulu lah 15 menit Lek… Budhe masih cuci piring, itu masih hujan kok”, Budhe menambah kalimat, tangannya menunjuk keluar. Aku mengangguk, lalu melanjutkan mengenang Esih.

Wajahnya yang selalu tersenyum. Betapa baik hatinya dia, suaranya yang empuk dan membuat suasana ceria. Betapa gembiranya dia ketika ku mengajaknya ke Kampus.. Ku ingat senyumnya yang kelihatan tertarik padaku di mobil mang Cahya. Juga wajahnya yang terkejut ketika ku memergokinya sedang diewe Pamanku.

Tapi bayangan tubuh Esih ketika membuka CDnya, mengajakku bercinta terungkap lagi. Kontolku menegang cepat. Berdiri tegap dan langsung keras. ‘Yah enak sih ngewe lagi sama dia lagi’. Tapi setelah kupikir lagi, mana bisa aku bersaing dengan Kokohnya itu?, duitnya pasti banyak. Gak mungkin cuma ngasih 200rb untuk 3 kali crot, sepertiku kemarin.

Aku memperhatikan tititku ini. Biasanya kalo sudah tegang terus ga dielus-elus atau dikocokin, dia bakal cepet tidur lagi. Hilang keperkasaannya secepat bayangan porno dibenakku hilang. Tapi ini tidak. Dia masih ngacung menuntutku memenuhi kebutuhannya. Jangan-jangan gara-gara si jamu itu deh?.

Aku berdiri membalik mencari Budheku untuk melaporkannya. Budheku sedang sibuk mengelap meja makan. Kadang menunduk rendah untuk mengelap sisi meja makan yang jauh. Jelas pantatnya sedikit tersingkap. Warnanya agak gelap dan membusung merangsang. Duh ingin kujilati rasanya.

“Budhe..!”, panggilku dari pintu dapur. Aku membuka celana kolorku untuk memperlihatkan kontolku. Budhe berseru senang.

“Waah langsung ngaceng yo Lek? Cepet lho Lek..”. Budhe nyengir lebar sekali.

Aku menghampirinya, dan langsung menggerayanginya tak tahan.

Budhe tertawa senang. “Langsung Greng, anak muda memang beda.. wahahaha, sek, aku cuci tangan dulu”.

Walau Budhe masih mencuci tangan membelakangiku, aku berusaha menyempilkan penisku ke belahan di selangkangannya.

“Aduh-aduh.. ayo dikamar ae, ben (biar) puas..”. Budhe membasahi bibirnya mengharap. Ia duluan berjalan kekamar sambil menarik bajuku. Aku memeluknya dan menempelkan tititku dipantatnya, dengan posisi begitu kami berjalan.

Sampai dikamarnya, Bude mematikan lampu, menutup gorden dan menggerayangiku sambil berdiri. Aku mencium bibirnya, Budhe membalas dengan nafsu. Tangan kirinya mengorek-ngorek vaginanya sendiri. Aku melepas seluruh bajuku dan daster Budhe. Ia mulai mendesah kenikmatan. Wajahnya menampilkan kerinduan pada Sex.

Aku menuntun tangannya untuk bermain di kontolku. Ia mengelus-elusnya dan mengocoknya, aku meremas keras dada dan sesekali menjepit putingnya dengan jariku.

“Huuungnh..”, Budhe mengeluarkan suara seperti itu tiap ku memutar tanganku di payudaranya. Budhe menarik kontolku ke arah kasur.

“Ayo..! Sssshhh..”. Ia tak sabar.

Aku menahan. “Nanti dulu, dikolomoh (BJ) dulu Budhe..”

“Hah..?”. Aku menunjuk kontolku lalu mulutnya.

“Oooooh..”, katanya baru mengerti. Agak malas kelihatannya dia.

Budhe turun berjongkok. Dan mulai mengulum. Maju mundur, sampai ludahnya ada yang tercecer di lantai. Aku memajukan pantatku kedepan agar penisku bisa masuk semua kedalam mulutnya. Tapi Budhe malah terdorong dan jatuh terduduk.

“Aduh.. malah susah kalau begini Lek.. ayo dikasur..!”, serunya setengah sebal.

Aku menurut dan naik ke kasur, dan berdiri pada lututku. “Hah..? ”, Budhe menatapku heran. Ia dengan ragu merangkak untuk mengulum kontolku. Baru beberapa kuluman, Ia sudah menghentikan pekerjaannya dan mengomel, “Ah.. susah ini Lek..! baring aja disitu yang enak kamu.. Aku berbaring mengikuti arahannya.

“Hah? Mau dimasukin? Budhe ga mau memeknya dijilatin dulu sama Egi?”, aku bertanya heran.

“Alah..! ora usah.. ”, cetusnya masih agak sebal kayaknya. Tapi begitu kontolku dimasukin ke memeknya terus sampai ke akarnya. Budhe mengerang keenakan dan lupa kalo lagi bête. “Ouuuuh.. Ia mulai maju mundur diatas tubuhku, selangkangannya menekan, dan menyapu tubuhku, setelah itu ia memacu, langsung dalam tempo cepat, tangannya meremas payudaranya sendiri.

Aku mengelus-elus pahanya, sampai bagian dalam dekat memeknyapun kuremasi dan raba.

“Sssssssssuuuuhhh aaaaaah… sssssssshhh aaaahhh”.

Aku menepuk kencang pantatnya sekali, ‘Plak !’. “Auwh..!”, Budhe melotot, kaget dan enak mungkin sekaligus ia rasakan. “Aaaaah…”, matanya memejam.

Tak berapa lama kemudian, Budhe mulai kelihatan agak lelah. Kemudian dia memelukku, kali ini selangkangannya memompa, memutar pantat, maju mundur, semua ia lakukan. Lalu tahu-tahu berhenti, ngos-ngosan. Ia rupanya istirahat dulu.

Dibawah aku tersenyum, aku tahu pertempuran ini akan aku menangkan, ‘Hahahahaha., hahahahaaha’, tawaku dalam hati.

5 menit kemudian, Budhe bangkit duduk kembali, goyang lagi, tapi tangannya lalu bersandar di dadaku, ia mau mengeluarkan lagi jurus helikopternya. Kelihatan dari tekad di wajahnya. Benar saja, ia memutarkan selangkangannnya cepat diatas tubuhku.

“Aaaaahh… ssssssh… aaaaahh sssshh. Aduh… aaaaaah..”.

Mataku melotot merasakan arus putaran memek Budhe pada kontolku. Aku pun mengerang nikmat, “Aaaaah haaaaah…”.

Budhe semakin cepat, tapi kini hanya maju mundur saja, dan akhirnya nafasnya semakin cepat pula. Selangkangannya mengejut keras dua kali. “Aaaaah…”.

Budhe mengeluh dan memelukku sambil menindihku. Ia sudah puas satu kali.

“Wualah.. Lek, anu mu malih penak (jadi enak), kerrraasss..”. Ia tak mau melepaskan pelukannya. Ada gerakan-gerakan kecil di dalam memeknya. “Enak Leeekk… sssaaah…”.

“Gantian Budek..”, aku mendorong tubuhnya. Budhe terkekeh senang. Ia lalu berbaring dengan kaki menelentang. Aku mencari-cari lap atau apa gitu untuk membersihkan sedikit cairan yang membasahi memek Budhe.

“Lap Budhe?”, aku mengambil daster Budhe.

“Heh.. jangan pake dasterku, itu ada tisu Masss ganteeng, Ndek meja..”. Aku menurut, dan membersihkan memek Budhe. “Hihi.. Geli Lek”.

Aku kemudian menjilati paha dan sekitar kemaluannya. Setelah ada suara Budhe “Sssshh.. duh Lek..”, aku berpindah ke Itilnya. Bibir bagian bawah Budhe habis kukenyoti dan jilati. Awalnya ada bau kurang sedap berseliwer dari situ, tapi sekarang sudah bau ludahku yang mendominasi.

“Aaaaaaah.. ssshhh, wuaaadduh Leeek.. aaaaahnnn”, Budhe mendesah-desah sedap. Kini aku focus mengenyot itilnya, lidahku pun bermain. Jari tengahku masuk menancap di lubang milik Budhe. Mengorek isinya. Kata temenku, titik sensitive memek ada di dinding atasnya. Maka jari tengahku pun mengorek-orek daerah itu.

Tanganku mulai agak pegal, telunjukku ikut masuk biar agak cepat Budhe menikmati servisku. “Aaaaahhhh huuuuuuuh… enak Lek huaaaaaahh… hhnnnnn..”.

Pantat Budhe ikut bergoyang menikmatinya, kupercepat kocokan jariku. Begitu aku lepas kenyotanku, pantat Budhe melancarkan gerakan helicopter beberapa kali dan mengejan lagi. Tangan Budhe memegang tanganku yang jarinya masih menancap di vaginanya.

“Uaaaaah.. sshhh.. aaaaaah..”. Ia mencapai kepuasannya lagi. Budhe melempar tanganku lalu tidur menyamping. Wajahnya menatapku, segar sekali dia seperti orang yang baru mendapat pencerahan tentang misteri dunia.

Aku tersenyum. Setelah beberapa saat Budhe nyengir. “Hihi.. kamu belum ya Lek..?, ayo mau diapain sama Budhe..?”. Ia menelentang lagi. Aku mengintip dulu apa penisku sudah tidur lagi apa belum?, ternyata masih mengacung tinggi.

“Biarin, Egi aja yang geraknya.. Budhe masih pengen kan..?”.

“Hahaha.. iyo aku sih terserah yang muda aja.. hihihi..”.

Aku mendekatkan kontolku ke memeknya. Paha Budhe aku angkat hingga memebentuk huruf W. Agak susah sih dia sedikit melawan.

“Gimana ini posisinya Lek..?”, tanyanya bingung.

“Tenang Budhe cantik, yang penting enak..”. Setelah pas posisinya, aku tancapkan kontolku. Hati-hati sekali agar gesekannya lebih terasa. Ada cenut cenut lagi dari dalam memeknya. Perlahan tapi pasti aku menggoyangnya. “Aaah ah ah..”. Budhe turut menikmati lagi.

Aku menancapkan dalam-dalam kontolku. “Uooooh aaah… mantep Lek, ayo terus begitu.. Aku goyang dari situ. Budhe merem melek menikmatinya, “Woh oh oh oh oh.. Aku mempercepat kocokanku. Lalu sekeras mungkin kuhantamkan kontolku ke memeknya, “Waaaaah aaaaah.. aaaah.. ”, Budhe menjerit sekarang. Aku berusaha secepat mungkin mengocoknya, sekuat pinggangku bisa.

“Aaaaah sssshhh…”, kami berdua mengerang-erang keenakan. Kontolku menyemut diujungnya. Tapi Budhe lebih dulu menjepitkan pahanya pada tubuhku. Ia mengejan lagi. “Ooooooh ah ah ah.. ”, desah ah nya seiring selangkangannya mengejan tiga kali. Aku masih memompa keras, dan “Aaarg.. ”, kontolku menyemprot lubang milik Budhe.

“Aaaaaw.. enak kamu Leeeek… sssssssh…”, kata Budhe menyambut semprotanku dengan bergoyang. Aku membeliak mencoba mengejan terakhir kalinya. “Heeeeeng… aaahduuh”.

Aku berencana tiduran lagi diatas tubuh Budhe. Tapi.

“Dok dok dok !”, pintu diketuk. “Enduuuuk, Yeeeen..? Neng di cah’e..?”, si Mbah udah bangun. Budhe langsung mendorongku kesamping, dipaksanya aku masuk dibawah selimut yang dibentangkan diatas kami berdua. Aku disuruh diam. Pas waktunya ketika pintu dibuka dari luar. Lampu dinyalakan si Mbah.

“Nyapo ta Maaak..? Si Mbah hanya memperhatikan sekeliling. Seperti tak menemukan sesuatu ia kembali keluar. Tak berbicara apa-apa. Budhe segera turun menyusul, tak lupa dipakai dulu dasternya. Mereka terdengar berbicara diluar. Bunyi kompor gas di dapur. Lalu langkah-langkah menuju kamar si Mbah. Tak lama Budhe sudah kembali ke kamar, ia mematikan lagi lampunya.

“Si Mbah minta dibikinkan susu..”, tutur Budhe. Ia berbaring menelungkup disampingku. Membuka-buka hape miliknya. “Tadi nanyain saya ga Budhe? Si Mbah?”.

“Iya dia nyari kesini, tadi denger suara kamu teriak-teriak disini katanya, hihihi”.

“Masa saya tadi teriak-teriak?”, aku merasa takut terdengar semuanya oleh si Mbah.

“Hoahahaha.. masa kamu ga merasa toh Lek..? hahaha..”.

“Hah? Ah masa? Perasaan kencengan suara Budhe deh..?”

“Hahaha.. iya si Mbah bilang gitu, aku sama kamu bunyi ooh ooh kedenger dia..”.

“Hah? Ketahuan dong kita?”, aku ketakutan.

“Heheh ngga Lek… aku bilang kamu tidur dikamar Agus diatas..”.

“Lah si Mbah percaya?”.

Budhe mengangguk-angguk sambil membuka hapenya.

“Si Mbah memang umurnya berapa sih Budhe?”, tanyaku lagi.

“Mungkin sudah 78 yo Lek? Aku kurang tau persis.. Aku bangkit duduk, kusingkirkan selimut. Daster Budhe ikut terbawa tersingkap, sekali lagi pantatnya terlihat olehku. Masih saja pantat itu mengundang untuk menzinahinya. Bulat. Empuk ketika kuraba-raba kemudian. Ku elus-elus, kuremas, ku korek-korek memeknya.

Budhe mendiamkan saja apa yang kulakukan, aku meremas dengan kedua tanganku sekarang. Kontolku dari tadi sudah berdiri lagi.

“Kalo Budhe umurnya berapa sekarang.?”

“Hiiis.. ngapain kamu tanya-tanya..?”, dia malah balik bertanya.

“Abis badannya masih bikin nafsu, memeknya masih enak”. Aku menepuk pantatnya. Dia menggoyangnya. “39”, jawabnya.

“Masa sih..?”, aku tak percaya. Aku mengangkat selangkanganku pada pantatnya.

“Hahahah, 42..”, katanya lagi. “Kalo tempikku enak yo dinikmatin, ga usah tanya umur lagi..”. Aku mengarahkan kontolku pada memek yang sudah basah lagi itu.

“Kamu mau ngapain ta Lek?”, tanyanya senang.

“42 umurnya?”, aku bertanya sambil lalu. Kontolku menerobos lubang memeknya.

“Ah..!”. Budhe mendesah. “Ssssshh..”.

“Aaah..”, kataku juga. Vaginanya lebih menjepit dalam posisi begini. Enak. Aku memompanya untuk lebih mendapatkan kepuasan lagi.

“46 yang bener Leek.. aduuuuh.. ssssh enak..”.

“Heuh..? 46 yang bener?”. Nafasku sudah memburu. ‘Plop !’, kontolku tak sengaja tercabut.

“47 dua bulan lagi.. walah kenapa dicepot?”.

“Gak sengaja, terlalu pendek sih titit saya”. Aku memompa lagi dengan lebih hati-hati, geli dan enaknya terasa sampai urat di pelipis. Tapi, copot lagi copot lagi. Apalagi kalau sudah keenakan terus terlalu semangat ngentotnya. Aku berkesimpulan, posisi gini emang enak lebih menjepit, tapi kalo tititnya pas-pasan seperti punyaku jadi sering copot.

“Aduuuh aaah, jangan sering copot tooh..?”, Budhe mengeluh.

“Iya Budhe nungging aja deh..”. Budhe menurut dan bangkit. Aku mempas-paskan posisinya. Agak sulit untuk amatir seperti aku karena lawan mainnya juga lebih suka yang gaya konvensional. Padahal kalau di film bokep kayaknya gampang banget.

“Udah belum?”.

“Agak kebawah Budhe ngangkang sedikit.. naaaah”.

Aku mencari-cari lubangnya dengan tititku langsung, pas ketemu cepat kudorong. ‘Nyot’ rasanya seperti disedot, ‘nikmaaaaaaat’, kataku dalam hati.

“Sssssssh… duh enak yo Lek?”.

“Iya.. sampe malem aja kita begini terus.. hehe”.

“Hohihih, ayok Lek… nghhhnn.. jamune pas yo?”

“Iya saya jadi kuat begini ini.. euuuuh..!”.

“Gimana orangnya Lek, aaaah, ada juga yang ga kena.. auuh”.

Aku terdiam dan dalam hati tertawa. ‘Jangan-jangan pacarnya yang gitu, hahahaha..’.

“Budhe, kalo mau gedein kontol ada gak jamunya..?”. pompaanku terus menyodok.

“Sssssssh aaaah.. iyo enek (ada), tinggal pesen.. aduh Leek, enak’e nemen kontolmu..”.

“Kalo ditambah gedenya gimana Budhe?”

“Yooooooh… huuuuuh, makin enak… aaaaah, aku mau keluar”.

“Hah? Masak..?”, aku kini berkonsentrasi pada doronganku. Aku mau keluar juga ah. Kupercepat tempoku. Gilee… enaknya, cenat cenut cenat cenut akhirnya kontolku memberitahu otakku agar bersiap. Budhe mendesah lebih keras.

“Aaaaaaah..”. Ia mengejan terus setengah atas badannya ambruk lemas. Aku tinggal menunggu waktu. Tibalah saatnya, Penisku meraung dalam vagina Budhe. “Ooh.. euuh..”.

Prot.. prot… Zesss aaaaah. Kenikmatan terasa diseluruh tubuhku. Aku belum mencopot tititku, kutunggu gerakan kecil dalam memek Budhe. ‘Aaah itu dia..’. Barulah kucabut senjataku. Budhe menggelosoh di atas kasur. Senyumnya lebar sekali.

“Aduuuuh nasib-nasib, kok iso aku dikenthu pona’an dewe..(dientot keponakan sendiri) hahuhuhu..”. Ia kemudian mengartikannya ketika melihat aku tak menegerti.

Aku tertawa, “Abis dipamerin terus sih bodinya.. enak lagi memeknya”.

“Hahaha, kehebatan jamuku Leeeek.. hihi..”.

Aku termenung dibuatnya. Jadi semua ini berkat minum jamu ya?. Hmmmmm… aku berpikir. Aku segera bangkit, pengen kencing dari tadi. Kutembus jalan ke kamar mandi secepat kilat. Aku masih berpikir, tapi yang lebih mendesak sebenarnya pertanyaanku ketika ngentot tadi.

“Lek..?”, Budhe berbisik dari dapur ketika aku keluar dari kamar mandi. “Ini bawa.. sisa jamu tadi..”. Aku memeriksa isi kantong plastik tersebut.

“Kalo yang buat ngegedein titit? Kapan Budhe bisa datang..?”

Budhe berpikir, “5 hari paling lambat setelah dipesen.. dek online..”. Tapi.

“Ouh.. iyoh !”, ia membalik cepat menuju kamarnya. Aku mengikutinya. Ia membuka-buka laci lemarinya. “Naaaah, aku punya Lek. Ini temenku pesen, tapi wes ben ae (biar aja), udah gak pernah kesini orangnya.. huh..”, katanya sebal.

Aku melihat-lihat isi bungkusan itu. “Itu ada cara pakainya..”.

“Ini aman Budhe..?”.

“Amaaan.. Uwakmu dulu ya pake itu, dulu malah asli dia bawa, waktu habis pulang dari Papua..”.

“Oooooh ini udah kemasan..?”.

“Iya dijual orang sekarang..”. Aku mengangguk, memasukannya ke dalam kantong plastik. Ingin segera aku coba, hehe.

“Aku pulang ya Budhe..?”.

“Hiyoo.. wes sore.. salam ya karo Bapak Ibumu..”. Ia memegang tanganku.

“Jangan bilang siapa-siapa lho ya? Ke temen-temenmu juga jangan..”. Sorot matanya agak mengancam.

“Iyaaaaaa..”. Kataku sambil melepaskan tangannya. Aku memakai pakaian mas Agus lagi.

“Besok kesini lagi ga..?”, tanyanya berharap.

Aku mengangguk kencang.

“Iya kembaliin motor, kan?”.

Budhe balas mengangguk senang. Setelah itu aku pergi pulang. Walau hujan masih meneteskan air rintik-rintiknya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu