1 November 2020
Penulis —  agi888

Panggilnya Teteh Aja, Jangan Tante

Aku terkejut dengan bunyi dering hapeku. Aku sedang mencari-cari sumber dan bahan di Google dan Youtube tentang cara-cara agar kuat dalam bercinta. Agak bingung sih jadinya. Ada obat ini obat itu, gerakan ini itu, dan lain-lain, banyak macamnya.

“Gi, pangjemputkeun si Bapak di Hotel Nista.. ayeuna” (jemput Bapa di Hotel sebut saja namanya begitu, sekarang). Ibuku berbicara di ujung telepon.

“Naha..(kenapa)? ai (kalau) mang Wira (supir Bapakku) kamana?”

“Eweuh (ga ada) justru, teu asup (ga masuk)..”

“Ooo dimana..?”

“Hotel Nista..”

“Iraha (kapan)? Jam baraha (berapa)?”

“Ayeuna (sekarang) iiih. Cepet nya?”

“Oh ai mang Wira teu damang (gak sehat)?”

“Eeeeh.. bulak balik wae ngobrol teh. Buru ah.. itu si Bapa geus (udah) nungguan. Mamah keur loba (banyak) pasieun ieu. Buru..!”

“Ai si Bapa keur naon (lagi ngapain) di Hotel Nista.?”

“Eeeeeh… loba tatanya pisan (banyak nanya banget)..”, lalu Toot… telepon ditutup.

Aku malas sebenarnya pergi. Tapi kupakai juga celanaku. Baru kumundurkan mobil keluar pagar. Bapakku sudah menelpon.

“Halo Pak..”

“Udah sampe mana Gi..?”

“Baru keluar rumah.?”

“Eh naha? Bapa geus tatadi iyeuh.. (sudah dari tadi ini)”

“Si Mamah oge (juga) baru barusan nelpnya..”

“Ooooh iya atuh.. Bapa di lobi nya? Mun bisa rada gancang (kalo bisa agak cepat).. nya?”.

“Iyah.. iyah”

10 menit kemudian, mobil yang kukendarai sudah masuk pelataran Hotel, kulihat di Lobby Bapak sudah menunggu bersama pak Mistin, anakbuah Bapak yang setia.

Bapakku melambai, maksudnya supaya aku tidak perlu parkir, langsung ke Lobby terus berangkat. Baru saja Bapak mau beranjak menghampiri. Dua orang dengan seragam PNS memanggilnya, mereka bersalaman, tertawa-tawa basa basi dan kemudian berbincang-bincang.

Aku manfaatkan untuk turun mencari WC, aku pingin kencing. Satpam yang bertugas, melarangku untuk parkir didepan Lobby, tapi kubilang sudah mau berangkat sambil menunjuk Bapakku. Satpam mengangguk-angguk sambil menunjukkan arah WC. Segera kutuju arah tersebut. Letaknya dekat lift katanya.

Aku melihat WC Pria dan Wanita letaknya bersebelahan. Aku melirik ke arah pintu WC Wanita yang terbuka karena ada yang keluar. Berharap ada pemandangan apa lah gitu. Didalam hanya ada seorang gadis putih yang sedang berkaca membetulkan make upnya.

Gadis itu cantik. Sekilas aku jadi teringat siapa ya? Mirip siapa ya?.

Oh..!

Jantungku berhenti bedegup, hatiku seperti kena sengatan petir. Itu Esih.

Iya itu si Teteh.. teh Esih yang telah mengambil hati dan keperjakaanku. Hatiku melonjak senang. Aku menunggu didepan pintu WC Pria. Tak mungkin aku mendorong pintu WC Wanita dan mengejutkannya didalamnya.

Pintu Toilet Pria yang terbuka. Aku menyingkir kesamping. Seorang pria setengah baya, seumuran Ayahku keluar dari kamar mandi Pria. Ia memakai kemeja norak berwarna kuning keemasan. Dia berhenti didepan pintu WC Wanita. Ia juga menunggu seseorang rupanya.

Pintu Toilet Wanita lalu terbuka. Ada suara perempuan tertawa sumringah.

“Kokoh udah selesai..?”

Ya ampun.. itu suara tawa yang membangkitkan gairahku kemarin. Suara tawa yang membuatku selalu terkenang dirinya, tergila-gila malah padanya. Hatiku mulai retak.

“Hehehe.. kamu udah.? Si Kokoh menyambut tangan lentik yang mengajaknya bergandengan. Barulah keluar orangnya, pemilik tangan lentik itu. Teteh Esih. Tersenyum manis pada Bapak itu. Bukan pada diriku. Wajahku panas. Terutama di bagian mata. Tanganku terkepal. Tak terasa kutinju pintu WC Pria hanya untuk membukanya.

Pasangan yang bergandengan itu berpaling untuk melihat bunyi yang kutimbulkan. Aku hanya memandang yang perempuannya saja. Ia terkejut menatapku. Terbelalak sampai urat lehernya pun tertarik.

Mata kami bertemu. Aku ingin teriak, tapi yang kulakukan hanyalah melongo nelangsa. Segera teteh Esih menguasai dirinya. Ia berpaling lagi.

“Yuk Koh.. pulang..”, teh Esih beranjak menggandeng pasangannya.

“Siapa itu Lan..? kamu kenal..?”.

“Ngga.. ga kenal, cuma kaget aja.. dia ninju pintunya bukah Koh..?”

“Iya hahaha.. macem2 emang anakmuda sekarang ya?”

“Ah hahaha..”

Sebelum menghilang di balik tikungan, teh Esih sekilas menoleh lagi, pandangannya sedih, seperti hendak memberi penjelasan. Tapi segera menghilang dibalik tembok.

Aku termenung menatap pintu. Kudorong perlahan. Dunia seperti didalam kabut. Aku tak tahu apa yang aku lakukan, kencing, mencuci muka dan tau apalah. Yang jelas aku seperti baru bangun dari tidur seminggu full. Gamang, kepalaku serasa menjadi besar rasanya.

“Gi..!”, ada suara yang memanggilku. “Egi.. hayu hey..! itu si Bapak nungguin”, ternyata pak Mistin yang mencari aku. “Meni lila.. keur naon maneh didinya? Ngaca wae.. (lama banget.. lagi ngapain kamu disitu ngaca mulu)”, katanya

Aku tak menjawab. Bapakku sudah disamping pintu setir. Ku berikan kunci mobil padanya. Aku duduk dibelakang agar tak terganggu oleh mereka. Mereka mengobrol seru. Aku menatap dunia seperti merekalah yang telah menyakitiku. Mereka kejam. Tak tahu apa yang kurasakan. Mereka.. pohon, batu, jalan beraspal, pagar besi, semuanya lah, beserta orang-orangnya ah..

Sesampai dikamar, aku bersembunyi dalam gelap.

Sampai jauh malam aku tak bergerak, masih melayang pikiranku dibawah bantal. Ku pikir-pikir, pantas saja dia selalu menunda kedatanganku kerumahnya. Rupanya memang sudah ada rencana. Sudah ada yang lain.. Tapi kok sudah berumur ya? Wanita simpanan kah dia?.

Aku beranjak bangun.. hmm jangan-jangan.. dia seperti itu. Aku mengambil hapeku, aku harus mencari-cari info, mencari tahu, siapakah Esih yang sebenarnya.

Gubrak..!

PIntu kamarku dibuka keras dari luar, ternyata lupa aku menguncinya. Ibuku menyeruak masuk dengan pandangan seperti Polisi di acara televisi. Wajahnya melotot menyelidik.

“Poek..! (Gelap)”, hardiknya.

“Waduh.. enya poek (iya gelap). Nya dihurungkeun weh atuh lampuna, Mah (Ya dinyalakan saja lampunya)..”. Jawabku polos dan datar. Aku sering kesal kalau Ibuku sudah seperti ini. Sebentar lagi pasti muncul kata-kata itu.

“Maneh mabok nya? Narkoba? (Kamu mabok ya?)”. Naaah ini dia.. kalimat itu muncul juga. “Awas siah… diteleumkeun na susukan sisi Klinik geura.. (Awas kamu, ditenggelamkan di sungai pinggir Klinik nanti).”, ancamnya lagi.

“Mamah pan Dokter, maenya teu apal ka anu mabok (Mamah kan dokter, masa ga tau orang mabuk gimana)?”.

Ibuku mendengus menahan tawa.

“Gering lain (sakit bukan)?”, Ia merabai keningku. Ia membawa senter kecil kliniknya. Menyoroti mataku dengannya. Lalu menyuruhku menjulurkan lidah.

“Ah teu nanaon… stress hungkul mereun? Kunaon? sieun Kuliah? (Ah gapapa, stress aja mungkin, kenapa? Takut kuliah?) ”, katanya lega. “Itu geura dahar..! (cepat makan)”

“Pangmawakan kadieu.. (bawain kesini)”, pintaku manja.

Ibuku langsung melengos sebal, “Memangna Ruum Serpiis..!”. Ia menutup pintu kamarku dengan kencang.

Benar juga, ngapain si Esih selalu dipikirin, aku masih punya kuliahan bulan depan. Pasti banyak mahasiswi dan dosen yang cantik-cantik, hihihi. Siapa tau ada yang cukup bodoh untuk menjadi kekasihku.

Aku pergi kebawah untuk makan. Setelahnya aku searching lagi google untuk mencari cara agar tititku lebih perkasa.

“Jon.. Jojon..! hudang.. Bangun disuruh si Bapa jeung si Mamah bangun..!”.

Aku membuka mataku. Sudah pagi. Dihadapanku ada si Selvi, Kakakku. Ia memang senang memanggilku Jojon, kata dia aku mirip pelawak senior legendaris itu.

“Aya naon kitu..(ada apa emang)?”

“Diajak ka kuburan.. hayu ..!”

“Ka kuburan..?, Ah maneh geus asup kategori gelo siah Selvi, gancang di ubar.. (kamu sudah masuk kategori gila Selvi, cepat berobat)”. Aku memeluk gulingku lagi. Tidur lagi.

Sampai Mamah dan Bapakku masuk kamar untuk membangunkanku.

Setengah jam kemudian aku sudah di mobil bersama mereka keluargaku. Ternyata rencananya memang ziarah ke kubur mendiang Kakek Nenekku dan almarhum Uwakku. Dipemakaman sudah hadir Uwak/Budhe Yeyen istri almarhumah Uwakku, Aa/mas Agus anaknya. Dan keluarga Mang Cahya.

Mang Cahya..?!. Jantungku berdegup kencang. Tau ga dia ya pacarnya sudah aku entot? Marah ga ya?”.

Tapi Mang Cahya bersikap biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Maka akupun bersikap biasa.

Acara berlangsung khidmat. Bapakku yang memimpin do’a, bla bla bla.. berakhirlah dia acaranya.

Mamangku menarikku ke pinggir dan berbisik padaku, “Soal si Esih tong ribut, nyaho lah Mamang oge, engke ku Mamang, Egi ditelp lah.. nya? (Soal si Esih jangan heboh, tau lah Mamang juga, nanti Mamang telp Egi ya?”, aku mengangguk cepat. Tapi..

Tau apa nih? Bahwa dia simpanan orang? Atau kemarin dua kali dia kutiduri?. Deg degan aku jadinya.

“Tah Kang.. si Egi cenah daekkeun.. nganteur., (Nih Kang, si Egi katanya mau.. nganterin)”

Nganterin? Nganterin siapa?, tanyaku bingung dalam hati.

“Jadi Gi. Si A Agus teh mau berangkat ka Jkt, rek buru-buru kudu digawe cenah (buru-buru harus bekerja katanya), Egi nganter dulu A Agus ka Terminal, terus baru nganterin Wak Yeyen pulang ka rumahnya..”, sahut Bapakku menerangkan.

“Hah? Egi pulangnya gimana?”, aku terkejut dengan perubahan ini.

“Nanti kamu pulangnya bawa motor mas Agus..”, timpal Budhe Yen dengan logat Kediri nya.

“Ooooh..”, aku menggaruk kepalaku tak berani menolak, walau tak kusuka. Mamangku nyengir lebar luarbiasa.

“Mas Agus mesti kerja Mas..?”, tanyaku pada mas Agus, ketika kami semua rombongan saling bersalaman untuk kemudian masing-masing berpisah.

“Hiyaa..”, jawabnya dengan cepat. Itulah makanya aku jarang mau ngobrol dengannya. Karena dengan pertanyaan segitu itupun, cukup untuk membuatnya bercerita soal pekerjaanya selama berjam-jam. Akupun memotongnya

“Mas udah punya calon? Mas Agus terdiam. Tanda belum punya berarti. Aku menunjuk Selvi Kakakku yang sedang mencium tangan Budhe. “Ituh Selvy Mas, kasian.. sudah setua itu belum pernah punya pacar.. masih nungguin mas Agus terus katanya.. sama dia ajalah. Kasian dia Mas.. Mas Agus nyengir sambil menaksir-naksir.

“Weeeeew Si Jojon ngebodor.. melawak.. weeeew..”, serunya sambil menaiki mobil.

Benar saja, dalam perjalanan mas Agus tak berhenti bercerita soal pekerjaannya. Aku setengah mendengar setengah melamun sambil nyetir mobil Uwak Yeyen yang sudah ringkik ini. Parahnya, kalau sedang melamun, aku selalu teringat Esih. Walau perihnya sudah tidak terlalu besar, tapi tetap membuatku gundah gulana.

“Lah kalau yang lain mesti lama itu selesai Gi… kalau aku, cepet.. ketak ketik dikit, hitung sana sini.. beres.. Mas Agus tetap bersemangat bercerita. Aku terkejut dulu mendengar kalimat ‘yang lain lama dan aku cepet’ yang tersebut diatas, agak sensitive aku belakangan ini dengan kata-kata itu. Budhe Yen lah dibelakang yang menyambut cerita anaknya itu dengan bangga.

“Parkir dulu jangan Mas..?”, tanyaku meminggirkan mobil di sisi Terminal.

“Gak usahlah.. aku langsung naik kok… Mak..? Agus yo pamit yo Mak..?”

“Iyo Gus.. Le.. ati-ati neng Dalan (dijalan), semangat.. yo.. nyambut gae.. muah.. muah”, Budhe Yen mencium dulu anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Kami mengamati ketika mas Agus berlari mengejar Bis, menaikinya dan melambai ke kami dari pintunya.

“Yoh, ayo Gi… udah mau udan, wis mendung. Engko mampir neng temenku ya Gi, di Gang mepet di Cicopas.. yo?”.

“Iyaa Budhee..”.

Urusan di tempat temannya Bude Yen ternyata lama, ngobrol soal duit yang aku tidak mengerti. Mendung sudah mencekam, kelihatannya bakal hujan gede ini. Aku gelisah memikirkan parker mobil yang jauh didepan Gang sana. Alamat basah ini sih keujanan. Budhe akhirnya pamit, kami berjalan melewati gang sempit untuk kembali ke mobil.

“Kamu lari lah duluan ke mobil Gi, gak papa Budhe nanti nyussol..”.

Tanpa basa-basi, aku berlari. Tapi sesampai di mobil ternyata aku lupa, koncinya aku titipkan di tas Budhe. Aku ingin menangis dan menjerit deh rasanya. ‘Kepalang udah basah ini sih.. huaaa huhuhu..’.

Begitu distarter mobil tua inipun tak mau menyala. Aku panik dan memandang Budhe yang juga basah dan kebingungan. “Biasane akine ini Gi.. akine.. Kembali ku menerjang hujan deras dan membuka kap mobil. Untung cuma sambungan akinya yang longgar, aku kencangkan, kalau rusak selain itu aku menyerah, gak tau apa-apa aku soal mesin.

Begitu sampai di rumah Budhe, kami disambut heboh Mbah Ren, ibunya Budhe. Dia berteriak-teriak bahagia dalam bahasa Jawa menyambut kami yang basah kuyup. Aku sama sekali tidak mengerti. Aku sering juga menghindar darinya, dia sudah agak pikun.. sudah tua banget. Dan selalu menganggapku anak kecil yang masih belajar di tingkat Sekolah Dasar.

“Bueeeeeehhh.. telas kabeh ta Nduk? Beh beh beh.. Iku mesakne loh.. ki sopo? Adi’e Agus? Endang diaduse Loh Nduk.. masuk angin engko.. (bueeh, basah semua ya nak? Itu kasihan siapa? Adiknya Agus? Cepat dimandiin, nanti masuk angin)”.

Aku mencium tangannya.

“Egi Mak.. jenenge (namanya) Egi..! ”, jawab Budhe Yen sambil ke dapur untuk masak air sebaskom. Mbah Ren lalu bercerita bahwa dia dari tadi menunggu dirumah sudah kuatir kalau anaknya itu kehujanan. Budhe bercerita bahwa dia kerumah temannya dulu, bu Dessy tadi. Mbah Ren duduk di korsi kesayangannya di depan kamarnya.

“Diganti ayo bajunya.. diganti kelambi (baju) ne Agus yo?.. sini dikamar aja..”, colek Budhe di perutku.

Aku ikut Budhe masuk ke kamar. Ternyata kamar dia, bukan kamar mas Agus. Budhe menutup pintunya. “Ayo dibuka.. keburu masuk angin nanti..”

Aku membuka bajuku. Lalu diam menanti bajunya mas Agus. Tapi Budhe beringsut ke balik pintu. Lalu srrrt.. suara resleting dibuka, dengan begitu saja Budhe meloloskan bajunya yang basah dari dirinya. Ia tak memakai apa-apa lagi, hanya pakaian dalam saja. Terlihatlah olehku semuanya. Aku kaget-kaget senang.

Si Mbah diluar masih saja bercerita soal ini itu diluar kamar. Budhe menyahuti sedikit-sedikit. Bude Yen memakai beha merah dan celana dalam krem ketat. Ada bordiran bunga-bunga di CD nya. Aku menontonnya ketika Ia berbalik menghadap pintu untuk menggantung bajunya yang basah. Tapi bajunya itu terjatuh ke lantai.

Budhe mendecak mengeluh kemudian menungging untuk mengambilnya. Kontolku langsung berteriak, menyeruak didalam CD dan celana basahku. Celana Dalam Budhe yang belakang juga basah hingga mencetak bulat bentuk pantatnya. Belahannya pun sedikit berbayang. Cetakan memeknya juga tercetak sekilas ketika ia menungging.

Budhe kesulitan menggantung bajunya. Cukup memakan waktu. Setelah tergantung ia mengambil handuk lusuh oranye dalam lemari disebelahku dan membelitkannya pada tubuhnya. Kepalaku sudah spaneng, nafsuku sudah naik sampai hidung. Tapi mana berani aku mengambil pendekatan.

Ia melihat padaku. “Ayo dibuka celananya juga.. Ia berjongkok di depan lemari memilih-milih baju. Perlahan aku memerosotkan celanaku. Aku malu. Malu lah bertelanjang didepan perempuan dewasa, malu pula bila kelihatan tititku tegang olehnya. Nanti apa kata dia, masa sama Budhe sendiri bisa ngaceng, keterlaluan, otak mesum bejat tak bersusila.

Maka aku pura-pura membalik dari hadapannya, biar gak keliatan. Tapi masih bisa melirik.

Ketika berjongkok, pahanya yang mulus, kencang dan besar terpampang. Budheku ini tidak tinggi. Setinggi daguku lah. Kulitnya tidak putih tapi gak hitam-hitam amat. Bersih kulitnya. Agak segitiga bentuk wajahnya. Manislah mungkin waktu mudanya. Sekarang juga masih sih. Apalagi kalau kayak gini. Setengah telanjang.

Mudah-mudahan aku bisa liat dia mandi nanti. Kuperhatikan dadanya besar seperti gunung, tumpah ditampung behanya. Perutnya sudah gak ramping lagi, tapi juga tidak buncit. Pas lah sama tubuhnya. Yang membuat Budhe istimewa adalah pantatnya, besar, bulat dan mancung ke belakang. Gemuk sedikit. Walau pada bagian perut dan pinggang sudah ada bagian-bagian dengan lemak berlebih, di pahanya juga.

“Ini Tole… bekase Mas mu, gak papa ya?”, ia menyodorkan baju bekas mas Agus. Ia melotot ketika melihat CD ku.

“Lhoooo, ini gak dibuka..?”, tanyanya. Ia menarik tanganku tak sabar. “Ayo cepet lho Leeek.. mandi dulu sana..”. Ia menarik CD ku kebawah, seperti memeloroti anak kecil. Aku terkejut, berusaha menahan CD ku, ketahuan dong nanti tititku tegang. Aku berusaha sebisa mungkin menutupnya dengan tanganku.

Budhe menaikkan alisnya begitu melihat posisi tanganku. Dan terlihatlah olehnya dari sela-sela tanganku keadaan si Otongku yang sedang berdiri kencang mencoba menyapa. Ia terkejut sejenak.

“Ooooooh.. hahhuhuhuhihi..”, Budhe menutup mulutnya tertawa. “Lah ngaceng kamu le?”.

“Eyalaah.. cah cilik wis gedi..(anak kecil udah gede)”, katanya sambil tersenyum ramah.

“Maaf Budhe..”

“Nyapo ta..?, liat ini..?”, tanyanya menggoyangkan bahunya yang telanjang. Aku mengangguk malu.

“Mossooook..? hahaha.. Budhe wis tuwe lho.. (udah tua)?”. Katanya lagi bahagia.

Ia berpura-pura membetulkan lilitan handuknya, padahal maksudnya mau memperlihatkan lagi kemolekan tubuhnya, aku tahu. Dibuka.. pura-pura cari posisi yang pas untuk mengikat, nah pada saat itu, ia pamer sedikit, kemudian diikatnya lagi handuknya.

Aku melihatnya dan merekamnya di otakku. Budhe menatapku tertarik.

Disingkirkannya tanganku dari Otongku. “Awas..”. Matanya menyelidik kebawah menarik tali kolorku. Matanya membesar, “Lumayan.. Ssssssh..”, ia mendesis sendiri, sambil menatap tititku membayangkan sesuatu. Aku melihat heran padanya. Ia balik menatap wajahku, kemudian tertawa malu.

“Huawakwkwkwk.. Maaf lho Le, maklum yo? Budhe udah lama gak gituan.. maklum janda.. hahaha.. Eish! Tapi jangan bilang siapa-siapa lho aku bilang gitu.. ya?”.

Aku mengangguk kencang, hingga Otongku pun ikut tergoyang mengangguk-angguk.

“Nduuuuk..!, kae loh.. banyu ne wis umup..! (Naak (untuk perempuan), itu airnya udah mendidih”. Si Embah berteriak diluar kamar.

Budhe melilitkan handuk lain di tubuhku, sengaja menyenggol tititku sambil menyeringai. “Aw..!”, katanya menggodaku. “Xixixih.. ayo mandi dulu..”.

Dia menuntunku menuju kamar mandi, menyuruhku masuk. Dia keluar lagi. Si Embah bertanya ini itu, anaknya menyahuti sambil lalu. Tak lama Budhe masuk ke kamar mandi membawa panci berisi air mendidih. Matanya mencari ember untuk tempat air panas itu. Menungging menaruh panci, membalik sebuah ember besar.

Aku menuangkan air dingin kedalam ember berisi air panas itu. Dari luar si Embah berteriak.

“Diaduse pisan lho Nduk.. mesakne Cah’e, wis runa rene karo awakmu kok..! (dimandiin sekalian lho Nak, kasihan lho, udah kesana kesini sama kamu)”.

Kudengar Budhe tertawa. “Hiyo Maak..”.

Budhe masih tertawa meringis ketika masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.

“Apa Budhe?”, ketika melihatnya tersenyam-senyum terus.

“Budhe disuruh mandiin kamu..”. Katanya sambil menarik handukku, menggantungnya di gantungan pintu. Tanganku sekali lagi melindungi tititku. Aku menganga tidak percaya.

“Masa? Kebeneran dong..?”, tanyaku senang.

“Hahaha kebeneran opone?, disangkanya kamu masih kecil.. padahal wis gedi lho si Egi ini, wis tau kenthu (udah ngerti ngewe), hahaxixixi.. ”, jawabnya sambil menutup mulutnya seolah salah bicara. Budhe mengocek air hangat di ember untuk mengecek kehangataannya. Kemudian menambahkan beberapa gayung air dingin.

Otomatis naluriah, aku maju mengarahkan tititku ke pantatnya. “Sini aku bantu Budhe..”, kataku berpura-pura hendak membantunya. Tanganku memegang tangannya yang memegang gayung. Cos! kontolku kena belahannya yang empuk. Budhe terkejut sedikit dengan sentuhan di pantatnya.

“Heh..?”, Ia melirik ke belakang untuk melihat apa yang menyentuh pantanya, terus tertawa membahana.

“Hahahah.. Dasaar cah gendeng (anak gila)”. Tawanya.

Kemudian ia menyiramkan gayung berisi air ke kepalaku.. Byuuur..! byuuur.. dua kali.

“Wah..!”, handuknya ikut terciprat. Ia melompat mundur.

“Budhe ga ikut mandi..? bareng atuh sama-sama..”. Tanyaku berharap.

Ia menyeringai senang, kemudian membuka handuknya, lalu behanya, dan menggantungnya, kemudian menghampiriku lagi. Aku memberengut protes.

“Itu cangcutnya nanti kebasahan juga..”, selaku sambil menunjuk.

“Hoahahaha..”, si Budhe terbahak lagi. Kemudian ia membalik tubuhnya, dan memelorotkan celana dalamnya pelan-pelan. Membelakangiku, kayak di film-film.

Aku mengeluh makin merana. Busyet deh.. kembali jadi muda lagi dia hehe. Karena tak tahan, aku melompat untuk memeluknya dan menggerayanginya. Namun dia bermain kucing-kucingan menghindariku sambil tertawa seperti gadis muda. “Ojo.. Lek.. Ojo (jangan)”.

Diluar, lagi-lagi si Embah berteriak. “Opo ta Nduk..? guya guyu.. guya guyu (Ketawa-tawa) banter nemen?”. Aku terkejut dan menghentikan kucing-kucingan ini. Aku lupa ada si Embah diluar.

Budhe membalas teriak.

“Orak.. Mak! iki bocahe nakal.. dolanan manuk..(mainan burung)”.

Si Mbah tertawa diluar. “Beeeeh.. enek-enek ae cah cilik.. (ada2 aja anak kecil), kata si Mbah.

“Sana.. dikit! nanti-nanti.. sabar-sabar..”, Budhe memerintah sambil tersenyum. Tangannya meraih sabun dan melumurinya ditangannya banyak-banyak. Ia mengocok-ngocok sabun itu. Otomatis aku meraih kontolku. Mengocoknya pula.

“Hush..! ra oleh..(ga boleh)! jijik.. jijik..”, tegurnya kayak ke anak kecil. Aku melotot padanya

“Abis Budhe gak mau..”.

Dia balas memelotot, “Orak oleeh..!”, serunya tegas. Aku langsung menurut.

Ia melumuri badanku pakai sabun dengan cepat. Kalo masih ada yang masih belum kena air dia siram dulu. Sungguh telaten dia.

“Jangan ngocok sendirian”. Senyumnya berbisik.

“Apa Budhe?”, tanyaku pura-pura gak mendengar.

“Nggak.. gak apa-apa, ini kan ya yang nakal..?”. Ia tersenyum ceria sambil menyentuh dan mengelus perlahan kontol dan pelirku. Aku mengernyitkan wajahku karena enak. Ditambahinya sabun kemudian dikocoknya kontolku. Aku mengerang nikmat.

“Ah..! Budheku kok cantik banget siiih?”. Pujiku keenakan. Budhe tersenyum genit dan mendekatkan wajahnya.

“Ssssssssshhhh.. enak yo Lek..? hmmmm.. enaknya masuk ke tempikku (memek) Lek.. mau yo? Sssssh aaahh”. Ia berbisik di kupingku. Aku membeliakkan mata setuju.

Setelah bisa menguasai diri, aku meraba-raba pantatnya yang selalu kudambakan. Empuk dan besar. Pasti puas memegang-megangnya aja. Tangan kiriku menyusuri melewati lubang pantat, dan menyentuh memeknya dari belakang. “Mmmm.. ahh”. Tangan kananku meremas-remas dua gunung miliknya yang menggairahkan itu, setelah puas baru aku meraih selangkangannya yang kelihatan manis dari depan, menggosok-gosoknya.

Kini jari tangan kananku memasuki celah memeknya. “Ssssssh aahh Lek..? ”, tangan kiri Budhe menjenggut rambutku. Jari tengahku mengobok-obok lubang kemaluannya. Budhe memejamkan matanya merasakan kenikmatannya. Otomatis kocokannya padaku terhenti. Otongku jadi nganggur. Kepalang tanggung telunjukku pun kuselipkan didalam lubang memeknya.

“Auuuuuuh, aaaaah.. Budhe mengangkangkan kaki kirinya agar tanganku lebih leluasa. “Iyaaaahhh.. euh.. ”, Budhe menghentakkan kepalanya ke belakang saking menikmatinya. Terus dia hentakkan lagi ke depan, terus ke belakang lagi, terus bulak-balik. Sambil berdesah-desah. Bibirnya ia buka dan gigit.

Tambah bikin nepsong aja, cetusku dalam hati. Walau sudah mulai pegal tapi terus ku maju mundurkan secepatnya

Kemudian dia menjepitkan kedua pahanya pada tanganku. Tubuhnya berdiri tegak. Kepalanya miring kekiri, wajahnya mengernyit, matanya terpejam. Tangan kanannya memelukku. Selangkangannya mengejut kencang. Tanganku kesakitan karena dijepit selangkangan itu kuat-kuat. Budhe orgasme. “Aaaaaaaaah…”.

Ia memejamkan matanya, dan menyenderkan badannya ke bahuku.

Sebentar kemudian ia tersadar kembali. Tapi, seolah menjadi orang lain, dia celingak celinguk menatap ke pintu kamar mandi dan berkata, “Duh makasih ya Le..? Dia tidak meneruskan kocokannya padaku. Dia malah mandi sambil membelakangiku. Aku masih menunggu. Dia mengelapkan handuk pada tubuh semoknya setelah dia selesai mandi.

Aku terbelalak. “Budhe? Aku gimana?”. Tititku mulai mengecil seiring kekecewaanku.

Ia masih seperti orang bingung menatapku, menatap pintu kamar mandi, menatap tubuhnya terus bergantian.

“Nanti nanti nanti nanti… Ayo pakai handuk dulu, ayo keluar dulu..!”. Ia pun keluar kamar mandi duluan.

Aku bingung dan mulai mendengarkan, iya sedari tadi suara si Mbah memang tidak ada, apa dia tahu dan mendengarkan kami berdua..?. Aku pun melangkah keluar dengan cepat. Langsung ku cari tahu kemana itu si Mbah pergi.

Ternyata dia tertidur di kursinya. Waduh..! aku udah kaget aja. Aku menyusul Budhe ke kamarnya mau meminta penjelasan. ‘Enak saja.. curang dia puas sendirian.. Baru aku mau membuka kamarnya, ternyata pintunya membuka sendiri, Budhe keluar kamar sudah pakai baju. Aku membelalak padanya menuntut penyelesaian.

“Ssst.. nanti sebentar yo Lek?, si Mbah suka bangun lagi..”.

“Kapan..?”, aku menaikkan alisku.

“Eyalah.. pokoke sabar, sana endang pakai baju dulu..!”.

Benar juga, ketika aku memakai bajuku, Mbah Ren bangun dan langsung memanggil-manggil anak perempuannya.

“Nduuuk.. wis jam piro.. iki? kok wis peteng? (udah jam berapa ini? Kok udah gelap?”

“Jam Rolas awan Mak. Udan kok, mangkane rodo peteng.. (jam 12 siang. Hujan kok makanya agak gelap)”

“Oooh iyo”.

“Mak’e mangan terus ngombe obat ya Mak? Wis wayahe.. (Mak makan terus minum obat ya Mak? Udah waktunya)”.

“Yo terserah awakmu (kamu) lah..”.

Aku keluar kamar untuk duduk didepan tipi. Gerimis diluar masih mengundang manusia untuk berbuat hal-hal yang tidak senonoh dengan Uwaknya. Begitulah dalam pikiranku yang penuh nafsu menggantung.

Budhe menyodorkan piring yang sudah diisi dengan nasi dan lauk pauknya kepadaku. Kemudian kembali menyuapi Ibunya. Aku menyalakan tipi dan menghabiskan nasiku. Kemudian aku kedapur untuk mengembalikan piringku. Budhe ada didapur sedang menyiapkan minum dan obat untuk Ibunya. Aku tadi tak memperhatikan, ternyata Budhe memakai daster yang pendek sekali, sejengkal diatas lutut, dan beberapa centi dari pantat.

“Waaah Budhe bagus amat bajunya..? Beli dimana? Bikin sendiri ya?”, godaku. Budhe tersenyum, dan mencoba untuk menarik-narik ujung roknya, pura-pura malu akan keseksiannya.

Aku berbisik di telinganya. “Ini seragam ngentot, ya?”

“Seragam apa?”, ia tak mendengar kata terakhir. Aku menjawab dengan menyelipkan jempol diantara telunjuk dan jari tengah. Simbol masyarakat kita untuk ngewe Hu.. kalo belom jelas hehehe..

Budhe menepak tanganku cepat sambil meringis tertawa. “Sana.. tunggu ya nanti tak jepit kamu”.

Aku meremas cepat pantatnya, ternyata gak pakai celana dalam dia. Tititku jadi nyut-nyutan menagih. “Heeh.. disuruh tunggu..!”, Budhe mengusirku keluar.

“Nyapo Nduk? Guya guyu ae lho..”. Ketika Budhe membantu Mbah minum obat.

“Ora opo-opo Mak. Kae loh putumu nakale tenan.. (itu cucumu nakalnya bener2)”

Mereka berbicara lagi, aku menatap tipi lagi dengan pandangan nanar. Tak kulihat semua acaranya, bayanganku hanya ke tubuh Budheku lagi. Sudah tidak sabar aku. Budhe menyusulku ke ruang tipi sambil membawa piring. Ruang untuk menonton tipi ini tidak tersedia kursi. Hanya karpet, bantal-bantal dan kasur lipat tipis di ujung ruangan.

Maka ketika Budhe memutuskan untuk menemaniku menonton tipi sambil makan, maka jadilah aku menonton dia daripada menonton tipi. Ia duduk bersila dengan daster mininya, maka terpampanglah seluruh isi selangkangannya. Aku mengaguminya. Kulitnya mulus, pahanya agak big size. Begitu pula memeknya, menggembung benar seperti menantang.

Budhe makan seperti biasa, menonton tipi, berpura-pura mengacuhkanku yang memperhatikan dirinya. Tapi kelihatan bahwa ia senang dikagumi secara sexual seperti itu.

Mulanya aku hanya berani menyentuh paha luarnya dengan buku jariku. Terus menyusuri seluruh daerah pahanya.

Meningkat menjadi rabaan, sentuhan dan remasan. Budhe mulai ngos-ngosan nafasnya. Ia telah selesai makan. Bibirnya berminyak. Aku menciuminya. Rasa kentang goreng balado. Aku tak peduli. Budhe mendorong badanku.

“Sek (tunggu).. Budhe ambil minum dulu.. sekalian si Mbah biar tidur dikamar..”.

Aku langsung tiduran dengan frustasi dan tak sabar.

“Sabar ya tolle.. itu kasurnya rapihkan.. pake itu aja”, lanjutnya berbisik.

Aku langsung berbenah merapikan tempat ngewe kami nanti. Budhe membimbing Ibunya untuk beristirahat dikamar. Setelah itu ia mengunci pintu depan, menutup gorden dan kembali padaku dengan langkah cepat.

Ia tersenyum ketika melihat kasur lipat sudah dibentangkan rapi dengan bantal2nya. Ia duduk diatas kasur. Membuka dasternya dan langsung berbaring menelentang.

“Ayo Lek.. ”, wajahnya sendu. Sungguh pemandangan luarbiasa, tubuh montok setengah baya yang siap kunikmati dengan rela. Secepat kilat akupun membuka seluruh pakaianku. Aku langsung menindih dadanya dengan dadaku dan menciuminya. “Mmmm.. ”, gumam Budhe menikmati ciumanku. Tanganku meremasi susunya yang menggunung.

Karena nafsuku sudah tinggi, kugeser tubuhku untuk menindihnya. Aku raba dulu memeknya, dan ternyata sudah basah. Sip! Tinggal joss..!.

“Sudah siap ta Lek..?”, Budheku bertanya di telingaku. “Rak usah buru-buru. Aku rak kemana-mana hari ini Lek, siap tempur sama kamu sampai malam..”. Katanya. Tapi aku sudah tak sabar. Kontolku kuarahkan pada haknya yaitu memek Budhe.

“Crep”, kontolku menemukan kenikmatannya yang sejak tadi didambakan. Masuk. Aku dorong terus sampe ke akarnya. Kutarik lagi dengan cepat. Kudorong lagi, kutarik lagi.

“Aauuh.. ”, Budhe mendesah nikmat. Akupun segera memacu tunggangan semokku ini. Pantatnya bergoyang. Menyambut tiap lolosan kontolku kedalam memeknya. Matanya merem melek menikmati tiap celupan. Nafasku menjadi sesak oleh nafsu. Aku membaringkan tubuhku diatas tubuh Budhe. Hanya pantatku dan pantat Budhe yang bergerak, untuk mengadu kelamin kami dengan nikmat.

Aku menekan, Budhe memutar dari bawah, ketika kutarik, Budhepun sudah menarik dalam bentuk lingkaran. Sungguh nikmat. Terus ku ulang dengan ritme yang sama, bila aku keluar dari ketukan pantatku, Budhe langsung menyesuaikan, lengkap dengan desah kerasnya. Salahnya aku, ketika sedang enak-enaknya gitu, aku mencoba merasa-rasakan, apa beda memek Budheku dengan memek Esih.

“Sssssssssh aaaaah…”, suara itu terus berulang-ulang didesiskan Budhe. Dia benar-benar menikmati tiap gesekannya. Seolah tak ada lagi didunia ini yang sanggup mengimbangi kenikmatannya.

Kami dari tadi mengewe sudah dalam gaya seperti ini saja. Missionary, gaya dari jaman dulu kala. Enak banget. Mantep memang perngewean ini. Budhe tidak lupa mengelus-elus punggung dan pantatku. Sedang aku menciumi telinga dan bibirnya

Karena aku merasa-rasakan dan membanding-bandingkan itulah, kini baru 10 menit berlalu, kurasakan dinding memek Budhe menjadi jauh lebih enak dari sebelumnya. Kulit kontolku menjadi lebih sensitive. Ujung kontolku berdenyut seperti mengingatkan akan waktu. Aku jadi teringat teko yang berbunyi ketika air sudah mendidih.

Aku mencabut dulu kontolku. Plap..! bunyinya. “Oooh..!”, Budheku terkejut. “Nyapo (kenapa) Lek?”. selangkangannya mengayun-ayun mencari kenikmatan yang tadi dia rasakan.

“Mau keluar Budhe.. aduuuh ampun..”.

Budhe mencubit pinggangku. “Ealah, wong lagi enak-enaknya juga..? malah mau keluar”.

“Iya bentar Budhe, maaf, Egi tenangin dulu dia sebentar..”, sahutku ngos-ngosan.

Aku bangkit dari tindihanku, untuk melihat kondisi si Otongku. Aku berusaha mengembalikan kekebalannya dengan mengocoknya. Memantul-mantulkannya pada memek Budhe kayak di film bokep. Budhe mendesah tak sabar, ”Aaauuh..”.

“Udahlah Lek, masukin aja lagi, ayo! Wong mau keluar, keluarin aja gak papa.. nanti main lagi.. gampang..”, Budheku membujuk. “Ayo..!”.

“Iyah Budhe, bener juga..”. Walau agak ragu, kulaksanakan juga. Ku teroboskan lagi dalam tempiknya.

“Sssssssshhh aauuhhh, kenthu…”, bisiknya. “Tunggu ya Lek, tenang.. sebentar..”.

Kemudian ia menggerakan dan menggoyang bawah tubuhnya itu dengan cepat. Berputar seperti baling-baling. “SSsssss ahhhhh… Ssssss ahhhh.. ssssss aaah..”, desisnya kencang pula. Aku menemukan kenikmatan yang dalam. Tititku seperti diremas-remas daging empuk yang mencengkram.

“Waaaaaaah.. jurus apa ini Budheeee…?”.

“Sssssssh.. helikopter.. Ssssssshhh aaaaahhh”.

“Malah makin pengen keluar sayah Budhe..”, aku merengek ditengah kenikmatan.

“Iya ora opo-opo, keluarin yang enak sayang.. keluarin didalem yang kenceng nyemprotnya, ya sayang.. Aaaahhh ssshhh”, sahutnya ditengah derasnya putaran memeknya.

Kata-kata sayang itulah yang membuatku memuncak akhirnya. Tititku terasa menyemut di ujungnya, aku melemaskan ototnya berharap masih bisa bertahan.. tapi, otot-otot itu terpaksa mengencang pada akhirnya.

“Aaugh..”, Cret.. cret.. cret.. banyak banget muncrat kusemprotkan kencang didalam tempik Budhe. Aku mengejan sekuat tenaga. Mataku sampai membeliak dibuatnya.

Budhe menekan memeknya sekeras mungkin ke badanku, seperti bertekad menampung semua crotan spermaku. “Aaaaaaaaa… h”, Ia pun ikut berteriak ketika menghimpitkan pantatku ke selangkangannya dengan tangannya. Dengan cara itu Iapun orgasme. “Aaaaaaah.. uuuuuuh”.

“Oouuuh..”, Budhe mengeluh nikmat mengelus-elus punggungku. Aku masih tergeletak pasrah diatas tubuhnya. “Enak Le?”, bisiknya di kupingku. Aku diam tak menjawab, masih ngos-ngosan lemas. Rasanya isi tubuhku sudah tersedot semua masuk kedalam memek Budhe. Sekarang tubuhku ini kosong tak ada isinya.

“Tempik Budhe masih enak Gi?”, Budhe berbisik lagi mesra dikupingku, “Nanti main lagi ya Lek..!, kamu minum jamu dulu..”. Aku diam. “Lek…?”, serunya sekarang. Ia mendorong ke pinggir tubuhku yang lemas.

“Halah.. anakmuda baru segitu aja udah lemes..“. Budhe berdiri lagi memakai dasternya. “Minum jamu ya Lek..?”.

Aku diam terpejam. Ia pergi ke dapur menyalakan kompor. Kemudian ke kamar mandi. Terdengar suara siram-menyiram. Setelah itu terdengar suara plastik tipis kemasan dibawa ke dapur. Aku memejamkan mataku sebentar. Rasanya haus bener aku, tapi malas mau berdiri untuk minum. Kubiarkan rasa lemas ini membawaku entah kemana.

Nyambung ke babak kedua nanti. Capek juga seharian ngetik kenikmatan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu