2 November 2020
Penulis —  andra0077

Ibu. Akhirnya

Perkenalkan namaku Andre. Aku hidup di keluarga biasa saja di sebuah kota yang berjarak sekitar 100 km dari ibukota propinsi. Ayahku seorang Guru dan ibuku hanya sebagai ibu rumah tangga. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku seorang perempuan yang kini kuliah semester 3 di perguruan tinggi ternama di negeri ini.

Jarak kami berdua memang agak jauh. Aku sendiri masih duduk di kelas VI SD. Kehidupanku seperti anak biasanya, hanya saja mulai akhir kelas V ada sesuatu yang aneh terjadi. Aku sesekali ngompol tetapi yang kukeluarkan bukan air kencing tetapi sesuatu berwarna putih yang mempunyai bau khas. Karena takut atau malu aku tidak menceritakannya pada siapapun.

Dan yang aneh juga, kemaluanku sering berdiri ketika melihat wanita-wanita cantik. Apalagi yang usianya jauh di atasku. Tidak jarang ibu-ibu. Mungkin aku mengidap Oedipus complex ya. Tapi kala itu aku masih tidak tahu apa-apa, pernah juga aku melihat burungku ketika berdiri, kutarik kulup burungku ketika berdiri sehingga bagian dalamnya tersembul keluar.

Di lingkungan rumahku aku mempunyai seorang teman dekat. Namanya Arifin, kami setingkat dalam sekolah akan tetapi berbeda tempat. Rumahnya juga tidak seberapa jauh, hanya beda 5 rumah saja. Ayahnya seorang tentara yang sering dinas keluar kota. Kamis sering bermain dan belajar bersama.

Kala itu minggu pagi, di lingkungan kami diadakan kerja bhakti menyambut musim hujan yang sudah tiba. Aku tidak mengikutinya, hanya bermain dengan si Arifin di teras rumahnya. Ibunya juga sibuk menghidangkan kopi dan snack sebagai ganti suaminya yang tidak ikut karena dinas di luar kota. Tidak kusadari aku memperhatikan bu Iskandar, ibunya Arifin ketika lewat sambil membawa gelas dan mug sisa kopi.

“Heh, ndelok’i opo Ndre? (Heh, Liatin apa kamu?) Tanya Arifin mengagetkanku. “Nggak Fin, ga opo-opo” (Nggak kok Fin, Nggak apa-apa) jawabku. “Halah, koen nek ndelog ibuku mripatmu koyok arep mencolot” (Ah, kamu kalo liat ibuku matamu kayak mau copot gitu) ujarnya lagi. Aku hanya tersenyum. “Eh, kapan koen arep sunat Ndre?

“(Eh, kamu kapan mau di khitan Ndre?) tanyanya lagi. “Embuh Fin, wedhi aku, jarene loro” (Nggak tau Fin, aku takut, katanya sakit) jawabku. “Lha koen dewe kapan?” (Lha kamu sendiri kapan?) tanyaku balik. “Lho nek aku wis mari yo.. biyen jarene pas aku umur 2 taun” jawabnya. (Lho, kalo aku sudah, dulu katanya waktu aku umur 2 tahun) “Iya ta?

“tanyaku lagi. “Iyo, malah manukku wis iso metu pejuh’e” (Iya, malah burungku dah bias mengeluarkan mani) jawabnya. Pembicaraan kami terhenti ketika bu Is lewat. “Fin, aku nang pasar yo. Ojo nang endi-endi, aku ga gowo kunci” (Fin, aku ke pasar ya, jangan kemana-mana, aku ga bawa kunci) ujar bu Iskandar kemudian berlalu.

“Eh, pejuh iku opo Fin?” (Eh, mani itu apa) tanyaku. Akhirnya temanku itu menjelaskannya dan bisa kutarik kesimpulan bahwa yang kukeluarkan ketika mimpi itu adalah pejuh (Sperma) alias air mani. “Berarti pelimu wis iso ngaceng yo Ndre?” (Berarti burungmu sudah bisa berdiri ya Ndre) Tanya Arifin sambil tersenyum.

Aku mengangguk. “Edan koen Ndre, jare ibuku, iku baru iso nek wis sunat, tapi koen during sunat wis iso.. eh wis tau coli ta” tanyanya. (Gila kamu, kata ibuku hal itu baru bias kalo kamu sudah dikhitan, tapi kamu belum, eh udah pernah onani ta?)”Opo iku” jawabku. “Liane mimpi, pejuh iku iso ditokne dewe, ga ngerti ta?

“(Selain lewat mimpi, mani itu bias dikeluarin sendiri, kamu tahu nggak?) Tanya temanku itu. Aku hanya menggeleng. “Beh, wenak Ndre rasane.. aku yo ketagihan, meh ben dino aku ngene” (Wah, enak Ndre rasanya, aku juga ketagihan, hamper tiap hari aku ginian) jawabnya sambil menunjukkan tangannya yang mengadegankan mengocok.

Akhirnya dari temanku itu aku tau cara onani yang akhirnya jadi bagian dari kehidupan masa kecilku. Suatu hari, ketika itu liburan Cawu II aku bermain di rumahnya Arifin. Setelah lelah bermain monopoli, kami pun ngobrol. Entah kenapa tiba-tiba arah pembicaraan kami ke hal yang berbau sex. “Eh, koen nek coli sering mbayangne sopo Fin?

“(Eh, kamu kalo onani sering membayangkan siapa?) tanyaku. Temanku itu tersenyum. “akeh Ndre, hamper semua ibu-ibu di sini tau dadi imajenasiku” (Banyak Ndre, hampir semua ibu-ibu disini pernah jadi bahan imajenasiku) jawabnya sambil tersenyum. “Berarti ibuku yo tau Fin” (Berarti ibuku juga pernah?

) tanyaku. “Yo jelas lah Ndre.. ibumu iku top! Susune guedhe, sering ga gawe BH kan yo” (Ya jelaslah Ndre. Ibumu itu top banget, payudaranya besar, sering ga pakai BH kan ya?) jawabnya lagi yang membuatku cemberut. “Halah, ga usah ngamuk Ndre.. koen yo paling sering mbayangne ibuku” (Halah, nggak usah marah Ndre, kamu juga paling sering membayangkan ibuku) ujarnya lagi.

“He eh.. iya” jawabku menyadari kenyataan. “Nek susune ibuku cilik Ndre” (Kalo ibuku payudaranya kecil Ndre) ujarnya lagi. “Kok weruh koen?” (Kok kamu tahu) pancingku. “eh, aku sering ngintip ibuku adhus” (Iya aku sering ngintip ibuku waktu mandi) jawabnya sambil setengah berbisik. “Gendeng kon” (Gila kamu) jawabku.

Begitulah kehidupan masa kecilku, normal-normal saja sampai ketika aku memasuki kelas 1 SLTP. Aku dan Arifin masih tidak satu sekolah sekolah. Hingga suatu hari terdapat acara di sekolahku sehingga baru pukul 8.30 pagi semua siswa dipulangkan. “Pak Mo, ga mungkin jemput kl jam segini” pikirku. aku pun berjalan kaki pulang.

Kuhentikan langkahku ketika mendekati rumah Arifin, temanku. Pandanganku tertuju pada becak pak Mo yang terparkir di depan rumah. Lingkungan kami memang tergolong sepi kalau pagi hari. Banyak yang bekerja meskipun itu para ibu-ibunya. Pak Mo itu sendiri adalah tukang becak yang biasanya antar jemput aku dengan Arifin sekolah.

Rumahnya di kampung sebelah. “Mungkin si Arifin juga udah pulang” pikirku. Aku segera mampir ke rumah yang sepi itu. Tidak ada tanda-tanda ada pemiliknya. Pak Mo sendiri memang sering diminta tolong warga sekitar untuk membantu bersih-bersih atau hanya sekedar mengangkat sampah atau membeli elpiji. Karena pintu utama terkunci aku akhirnya ke samping rumahnya Arifin yang tembus di bagian belakang rumah itu.

Samar-samar terdengar suara di salah satu kamar yang biasanya digunakan Bu Is setrika. Entah kenapa saat itu aku penasaran. Aku berjalan seperti maling, mengendap-endap menuju asal suara itu. Pintu ruangan itu sedikit terbuka. Suara itu semakin jelas. Suara seperti orang kepedesan dengan nafas yang terengah-engah.

Betapa aku terkejut ketika melihat bu Iskandar sedang menaiki tubuh pak Mo yang tergolek beralaskan tikar. Pinggul wanita yang masih memakai daster itu bergoyang maju mundur kadang-kadang diputarnya. Mulutnya meracau. Sedangkan pak Mo tidak melepas seluruh bajunya hanya celananya saja yang berserakan.

Beberapa saat kemudian desahan bu Is semakin kencang. “SSStttsss… ooccchh… aku arep metu pak… aku arep metu pak… ooocccchhhhhh” (SSStttsss… ooccchh… aku mau keluar pak… aku mau keluar pak… ooocccchhhhhh) jerit bu Is.. tubuhnya mengejang, kepalanya sampai menengadah. Matanya terpejam.

Beberapa saat kemudian tubuh bu Is ambkruk di sebelah pak Mo. Baru itu kemaluan pak Mo terlihat jelas. “Ayo pak, ndang tokne wis”(Ayo pak, cepet keluarin wis) kata bu Is dengan suara berat. “Ojo suwi-suwi.. aku wis metu kok” (Jangan lama-lama, aku dah keluar/klimaks kok) kata bu Is sambil mengakangkan kedua kakinya ketika pak Mo berlutut di depannya.

Tangannya menyibakkan dasternya sampai ke perut sehingga bagian kewanitaan bu Is sekilas terlihat olehku yang lalu tertutup tubuh pak Mo yang menindihnya. Hanya beberapa menit kulihat pak Mo pun mencapai puncak kenikmatannya. Sejenak mereka terdiam. Aku yang menyaksikannya semakin terangsang. Itu pertama kali aku melihat adegan persetubuhan.

Kemudian kedua orang itupun berdiri. Kulihat kemaluan pak Mo yang masih terbungkus kondom itu sudah mulai melemas. “Buang kondomnya jauh ya pak” ujar bu Is sambil menyerahkan celana pak Mo supaya lelaki itu cepat memakainya. “Inggih bu” (Iya bu) sesaat kemudian pak Mo beranjak. “Jangan lupa tutup pintunya pak” pesan bu Is yang tidak dijawab oleh lelaki itu.

Sesaat kemudian aku mulai bingung, bagaimana kalo wanita itu mengetahui keberadaanku di sana. Tapi sejenak kupikir, kenapa aku yang bingung, harusnya wanita itu yang bingung karena aku tahu perselingkuhannya dengan pak Mo. Kemudian aku mendengar suara orang mandi yang pasti bu Is. Aku segera melompat keluar rumah itu segera pulang.

Akan tetapi di jalan aku bertemu si Arifin yang berjalan pulang. “Eh, koen yo is mulih?” (Eh, kamu dah pulang) tanyanya. Untung saja si Arifin tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya. “Iyo, tak pikir koen yo wis mulih, mau arep mampir tapi ga sido”(iya, tak piker kamu juga udah pulang, tadi mau mampir tapi nggak jadi) jawabku.

Bu Is memang agak terkejut melihat kedatangan kami. Tetapi ia tampak cepat menguasai keadaan. Situasi seperti biasanya. Sesekali kulihat bu Is, membayangkan tadi apa yang dilakukannya dengan pak Mo. Aku yang sejak tadi terangsang semakin bingung. Tetapi yang jelas, aku ingin sekali seperti pak Mo tadi.

Arifin pun tahu tingkah lakuku yang aneh. “Kon kok koyok wong bingung ae Ndre” (Kamu kok kayak orang bingung sih Ndre?) Tanya Arifin. Akhirnya setelah berpikir lama aku nekad mengambil secarik kertas. Tanpa sepengetahuan Arifin, aku menulis sesuatu di kertas itu. Sambil alasan ke kamar mandi kuserahkan secarik kertas itu pada bu Is yang sedang menyetrika.

“Dibaca ya bu” ujarku langsung berlalu menuju Arifin di ruang tengah. Sekitar lima menit kemudian bu Is masuk, sekelebat menyerahkan kertas padaku. “Fin, angkatno klambi nang setrikoan gih” (Fin, Tolong angkat baju dari ruang setrika ya) perintah bu Is. Arifin menurut langsung beranjak. Kesempatanku untuk membaca kertas balasan bu Is.

“aku tahu apa yang bu Is sama pak Mo lakukan tadi” loh ini kan tulisanku tadi. Setelah kubalik, ternyata jawabannya ada di situ. “Tolong jangan bilang siapa-siapa. Apa maumu?” aku segera membalasnya. “Aku pengen seperti pak Mo” tulisku singkat. Kemudian bu Is keluar kamar menoleh ke arahku yang segera ku serahkan secarik kertas itu lagi yang langsung dibawanya ke bagian belakang rumah.

Tak lama Arifin pun datang. Lama wanita itu tidak member jawaban. Aku semakin berdebar. Sampai akhirnya waktu normal sekolah pulang, aku segera pamit. Takut dicari oleh ibuku. Ternyata ketika aku pamit pulang, wanita itu menyerahkan kembali kertas kepadaku. “Iya, nanti malam kamu nginep sini ya” jawaban yang membuatku girang.

Berhasil! Pikirku. Hari itu terasa panjang sekali. Terasa lama sekali hari beranjak malam. Hingga akhirnya setelah maghrib, aku pamit ke ayahku. “Pak, aku nginep di rumah Arifin ya, belajar bersama” pamitku setengah takut. “Iya. Eh, biar ibumu Tanya dulu ke bu Is” jawab ayahku kemudian menyuruh ibuku telpon bu Iskandar.

Dengan hati girang aku melangkah ke rumah tetanggaku itu. Malam itu aku akan merasakan nikmatnya seks. Dan bu Iskandar yang akan melakukannya denganku. Walhasil aku tiba di rumahnya. aku tidak konsen lagi dengan belajarku. Yang aku pikirkan adalah bagaimana nanti. Bu Is sudah memberiku isyarat setelah Arifin tidur.

Waktu berdetak cepat, hingga pukul 10 malam, si Arifin akhirnya benar-benar tertidur. Dengan sabar aku tunggu setengah jam kemudian aku gerak-gerakkan pelan tubuh temanku itu. Ia tetap terlelap. Perlahan aku beranjak keluar dari kamarnya. “Arifin wis turu Ndre” (Arifin udah tidur Ndre) Tanya bu Is ketika aku menutup pintu kamar.

Aku mengangguk. “Kuncien” (Kunci pintunya ya) perintahnya yang segera kulakukan. “ayo” ajak wanita itu pelan. Aku mengikutinya yang menuju kamar belakang. Kututup pintu kamar itu setelah kami berdua berada di dalam. Di kamar itulah aku melepas keperjakaanku. Bu Iskandar dengan sabar dan telaten mengajariku semuanya.

Hari pun berlalu. Hubunganku dengan bu Iskandar pun masih terjaga dan akupun menjadi satu-satunya pemuas bu Is ketika 2 bulan lalu pak Mo memutuskan untuk merantau ke Malaysia. Sejak saat itu seks menjadi bagian penting dalam hidupku. Hingga suatu ketika di pertengahan kelas 1 SMP, lagi-lagi semua siswa di sekolahku dipulangkan karena semua dewan guru rapat.

Sebenarnya aku senang, tetapi mengingat pak Iskandar masih di rumah. Pikiran untuk meminta “jatah” dari bu Is pupus. Aku pun segera pulang belum pukul 9 pagi aku sudah sampai di pintu pagar rumahku yang tumben tidak terkunci. Pintu utama ruang tamu pun terlihat sedikit terbuka. Tanpa pikir apa-apa aku segera masuk.

Tetapi sepasang sepatu yang diletakkan di dalam ruang tamu membuatku terkejut. Dan aku sepertinya mengenali sepatu tersebut. Perlahan aku masuk ke dalam rumah. Kulihat TV hidup tanpa ada yang melihat. Dimana gerangan ibuku. Perlahan kucari di bagian belakang rumah, dapur, kamar mandi dan kamar orang tuaku pun tidak ada.

Perhatianku tertuju pada kamarku yang pintunya tidak tertutup sempurna. Dengan perasaan curiga aku dorong pelan pintu kamarku sehingga sedikit terbuka. Betapa terkejutnya aku ketika melihat apa yang tejadi di dalam kamarku. Kulihat ibuku sedang mengulum kemaluan temanku Arifin yang berdiri bersandar di meja belajarku.

Ia masih memakai baju tapi celana SMP nya berserakan di lantai. Ibuku yang kala itu rambutnya diikat dengan lahap menjilati batang kemaluannya Arifin yang merem melek keenakan. Kaos ibuku juga sudah terlepas sehingga tubuh bagian atasnya hanya tertutup BH hitam yang salah satu cupnya terlepas sehingga payudara kiri ibuku yang besar itu tersembul keluar.

“Gila!” Ingin segera aku masuk dan menghentikan perbuatan mereka. Tapi aku berubah pikiran. Aku ingin melihat permainan terlarang mereka. Terus terang, hal itu juga membuatku terangsang. Diam-diam aku juga mengidolakan ibuku. Tidak jarang aku membayangkannya ketika onani. Mungkin ini juga kesempatanku untuk bisa mencicipi tubuhnya.

Beberapa saat kemudian ibuku berdiri lalu melepas celana dalamnya tanpa melepas rok yang dipakainya. Ini saatnya aku masuk. “Ibu… arifin !” kataku pura-pura terkejut. Tidak kalah terkejutnya mereka sampai-sampai kepala temanku itu terantuk meja belajarku. Cepat-cepat mereka berusaha memakai kembali pakaian mereka.

“Nggak Ndre.. ini… anu…” gumam ibuku bingung. “Anu Ndre… maaf..” Arifin pun berkata sambil menutupi bagian kemaluannya. “Loh kok malah berhenti sih? aku ganggu ya” ujarku lalu masuk ke dalam kamar dan menaruh tasku. “Lanjutin aja bu, nanggung tuh” kataku lagi. “Nggak Ndre… Nggak” jawab ibuku sambil memakai kaosnya.

“kalo nggak dilanjut, malah aku nanti bilang bapak lo” kataku. “Jangan Ndre” arifin menyela. “Yo ndang Fin… kenthu’en ibuku!” (Ayo cepet Fin, setubuhi ibuku!) jawabku. “Ndre.. tolong” kata ibuku memelas. “Iya bu, lanjutin aja.. kalo nggak malah aku bilang ke bapak.. kalo lanjutin dan aku liat, aku nggak bakal bilang siapa-siapa” ujarku.

Mereka berdua sejenak saling memandang. “ayo Fin” akhirnya ibuku menyetujuinya dan langsung melepas rok dan celana dalamnya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di tempat tidurku. Dengan agak ragu Arifin berjalan kearah tempat tidur. “Ayo” kataku lagi. “Iya Ndre” jawabnya pelan lalu menaiki tubuh ibuku yang menyambutnya dengan mengekangkan kedua kakinya.

Tangan kanan ibuku meraih batang kemaluan Arifin dan mengarahkannya ke bagian kewanitaannya. Dengan sekali dorong batang kemaluan Arifin langsung masuk ke dalam vagina ibuku. Setelah membetulkan posisi masing-masing, si Arifin mulai memompa tubuh ibuku. Aku lalu duduk di sebelah kepala ibuku sambil mengusap-usapnya.

Melihat gerakannya kayaknya si Arifin ini nggak sekali dua kali sudah menyetubuhi ibuku. Mulut ibuku mendesah, nafasnya tersengal, matanya terpejam. “Bu, aku nanti juga mau ya” bisikku di telinga ibuku. Mata ibuku terbuka dan memandangku. Kuraih tangan ibuku dan membimbingnya ke batang kemaluanku yang sudah mengeras seperti kayu.

Kulihat si Arifin mempercepat gerakannya. Sepertinya ia akan mengalami klimaks. “Fin, tokno njobo!” (Fin, keluarin (spermamu) diluar) kataku. Ia mengangguk. Beberapa detik kemudian ia mencabut batang kemaluannya dan langsung mengocoknya. Beberapa detik kemudian kemaluannya temanku itu memuncratkan air maninya di atas tubuh ibuku yang tergolek.

It’s my time, pikirku. Aku lalu melepas celana yang kupakai. “Jilat dong bu… masak cuman punya Arifin yang dijilat” kataku. “Iya Ndre” jawab ibuku kemudian duduk dan mulai menjiati batang kemaluanku. Kemudian aku berusaha melepas kaos yang masih dikenakan ibuku. Wanita itu tanggap. Ia menghentikan kulumannya dan melepas kaos serta BH yang dipakainya.

Sekarang ia telanjang bulat. “Masukin ya bu” kataku pelan. Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang. Tanpa diminta lagi ibuku segera menaikiku dan memasukkan batang kemaluanku ke dalam liang vaginanya. Tanpa banyak bicara wanita itu langsung menggoyangku dengan cepat. Terasa enak sekali. Sengaja aku jebol pertahananku sendiri agar dikira belum pernah melakukan hubungan intim.

Tanpa banyak omong, ibuku langsung keluar kamar dengan membawa seluruh pakaiannya. Tinggal aku dan Arifin yang sama-sama terdiam. “Maaf ya Ndre” akhirnya kata itu keluar dari mulut Arifin. Aku hanya tersenyum. Dalam pikiranku, ia tidak tahu kalau sebenarnya aku juga sering tidur dengan ibunya. “Mulai kapan Fin?” tanyaku. “sebulanan Ndre. Ini yang keempat” jawabnya pelan. “Berarti disik aku Fin, hehe” (Berarti duluan aku Fin) jawabku lalu tersenyum. “Maksudmu ndre” tanyanya bingung. “Aku mulai 2 bulan kemarin” jawabku lagi. “Apanya” Tanya Arifin semakin penasaran. “ibumu, hehe” jawabku sambil menunjukkan tanganku yang menggenggam tanda persetubuhan. “Gendeng koen!” iyo tah!?” (Gila kamu! Iya ta?) jawab Arifin sambil mendorong tubuhku yang disusul oleh senyumku lebar.

Bersambung…

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu