1 November 2020
Penulis —  megatron21

Sweet Home - Miss You Dad

Sesosok bayangan melintas, ternyata itu seekor kucing.

“Haaaahhhhhh… kupikir apa…” aku menghela nafas

“hihihi… Bikin kaget aja…” tante menyentuhkan dahinya kedahiku.

Kami mulai berpagutan, tante kembali menggerakkan pinggulnya naik turun. Vaginanya yang sempit menghisap penisku dengan kuat ketika ia menggerakan tubuhnya naik.

Rasa kaget yang kami alami tadi membuat nafsu kami memuncak. Kini gerakan pinggul tante semakin liar. aku meremas kuat payudara tante yang menempel di dadaku.

“Ohhhhh… Ssshhh… Ahh… Ahh…” tante mendesah pelan bersahutan.

Ia memang sangat menikmati perlakuan kasar dalam hubungan sex kami. Aku mencubit putingnya yang mengacung tegang.

“Mmmmmppphh.. Ahhh…” ia mendesah dan mempercepat gerakan.

Sepertinya orgasmenya sudah mau datang, aku mencium bibir tante dengan liar. mencegahnya mengeluarkan suara keras ketika orgasmenya tiba.

Beberapa menit berlalu.

Namun sepertinya orgasmenya belum kunjung datang, irama gerakan tante menurun. Sepertinya ia kelelahan.

“sini tan gantian…” aku berbisik di telinganya.

Ia mengangguk.

Aku menarik tangan tante untuk berbaring di rerumputan. Ia merebah perlahan, mungkin karena kulitnya terasa gatal karena bersentuhan dengan ujung daun rerumputan itu.

Aku segera menusukkan kembali penisku.

Ia mencengkeram kuat tubuhku dengan kedua tangannya.

Kugerakkan tubuhku maju mundur dengan liar.

Rerumputan itu bergemeresik ketika tubuh sintal tante bergesekan dengan mereka.

Penisku mulai berdenyut dalam vaginanya. ia memeluk tubuhku erat, payudaraya yang besar menekan dadaku, empuk sekali. Ia kembali mencium bibirku. Pagutannya kini sungguh berbeda, ia menyedot bibirku dan menelan air liurku. Bagai hewan yang kehausan di padang gurun.

“hhhaa… aku mau keluar tan…” Kataku berbisik.

“mmmhh… Tante… juga mau… keluar sama-sama sayang…”

Aku mempercepat tempo gerakanku.

Penisku menghujam keras liang vagina tante. Gerakan yang cepat mulai menimbulkan suara hentakan antara kelamin kami.

“uuuhhh… Dikit lagi sayang…”

Kurasakan vagina tante berdenyut. Semangatku berkobar. Aku memompa penisku semakin cepat. Suara gemeresik rerumputan semakin terdengar.

Rasa haus akan tubuh wanita menuntun naluriku untuk menghisap kedua payudaranya. Jilatanku di mulutnya kini mulai turun kebawah. Aku menekan kedua payudaranya dengan kedua tanganku. Kedua puting yang telah bersentuhan itu kini kuhisap bersamaan.

“Ohhhh… Mmmmppphh… Ahhh… Ahhh…” desahan tante semakin liar.

Ia mendekap erat wajahku dengan kedua tangannya.

Penisku berdenyut kencang. Tempo gerakan ini sudah terlalu cepat untuk kunaikkan lagi. Kuhujamkan dengan kuat penisku kedalam vagina tante. Tubuhnya menegang.

“Aahh… hhah…” Tante memekik tertahan seakan berbisik.

Orgasmenya sudah sampai. Aku bersiap memuntahkan spermaku dalam rahimnya.

Dalam sekali hentakan kuat, kutancapkan penisku sedalam yang aku bisa kedalam vagina tante.

(sfx: Crooottttt… Crooottt… Croottt…)

“Aaa…” aku memekik tertahan sambil membuka mulutku.

Spermaku sudah menyembur kedalam rahimnya.

Aku terkulai lemas di rerumputan itu. Tante memeluk tubuhku, ia mendekap wajahku di payudaranya. Aku menhisapnya perlahan.

Tampaknya ia masih ingin menikmati sisa-sisa orgasmenya.

Sisa-sisa orgasme masih kental kurasakan. Tante Shelly benar-benar liar. Bodoh sekali suaminya meninggalkan tante, pikirku.

Tante mengenakan kembali kimononya, kami berjalan masuk kembali ke dalam rumah dan berbaring di sofa.

Aku menyalakan TV untuk mengusir rasa sepi.

Sore menjelang, mama dan Naya kini telah pulang.

Roman wajah mereka terlihat sangat gembira. Ternyata rumah yang mereka lihat sangat bagus. Akses jalannya pun mudah. Rumah itu terletak disebuah bukit, agak jauh dari rumah-rumah lainnya. Di dalamnya ada sebuah kolam renang, halamannya pun luas. Mewah sekali, aku sempat tidak percaya ketika mereka mengatakan rumah itu dua ratus juta lebih murah dari rumah kami sekarang.

Tuhan tampaknya memberikan jalan untuk kami.

Syukurlah, masalah yang datang silih berganti kini perlahan mulai berakhir.

Beberapa hari berselang, kami berempat sempat terdiam ketika tante Shelly mencelupkan secarik kertas panjang berwarna putih kedalam air seninya. Perlahan garis merah mulai muncul. Samar-samar kami lihat dua garis tercetak di kertas itu.

“hore…” Kami berempat bersorak bersamaan. Kami mengucapkan selamat atas kehamilan tante Shelly. Hal itu membuktikan bahwa tuduhan suaminya tidaklah benar.

Mama dan tante Shelly berpelukan, erat sekali. Kulihat tante Shelly menitikkan air mata.

“selamat ya Shel… sebentar lagi kamu jadi ibu…” Kata mama.

“makasih ya kak… Aku ga tau harus bagaimana berterima kasih sama kalian…” Tante terisak di pelukan mama.

“itulah gunanya keluarga tante… Suatu saat, kalau tante butuh sesuatu… tante ngomong aja sama kita… kalau kita bisa bantu pasti kita bantu…” Kata Naya.

“makasih ya Nay…” Tante Shelly melepaskan pelukannya dari mama.

Ia kini menoleh kearahku. Ia mengusap air matanya dan tersenyum.

“Tom… makasih ya… Tante akan jagain anak kamu…” Katanya.

Aku mendekat dan berjongkok di depan tante. Kutempelkan telingaku di perutnya.

“nanti kamu kalo udah besar jangan nakal ya…” kataku sambil mengelus perut tante.

Setelah hari itu tante mengirimkan foto kepada mantan suaminya. Foto test pack dengan dua garis merah itu membuktikan bahwa dirinya tidak mandul seperti yang dituduhkan oleh suaminya.

Tak lama setelah foto itu dikirim, suami tante menelepon. Ia meminta maaf atas segala ucapannya, ia kini sadar ternyata dirinyalah akar dari masalah yang terjadi dalam rumah tangga tante Shelly. Namun tante Shelly menolak halus ketika suaminya meminta untuk rujuk kembali.

“masa lalu bukan untuk disesali, tetapi untuk mengajari kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dimasa lalu” begitu kata tante.

Hari ini adalah hari dimana kami pindah dari rumah lama kami, rumah yang penuh dengan kenangan indah. Tempat dimana aku, Naya, mama, dan ayah tinggal. Kenangan indah itu membuat kepindahan kami serasa berat. Sungguh sedih mengetahui kenyataan bahwa rumah itu sudah tidak menjadi milik kami lagi. Seseorang telah membelinya.

Mama telah resign dari tempat kerjanya. Terlalu jauh, kata mama. kini ia sibuk bersama Naya membuka usaha butik.

Hari ini adalah hari pertama kami menempati rumah baru itu. Kami kini tinggal di sebuah rumah yang cukup besar berwarna putih. Seperti lembaran baru yang akan kami tulis bersama.

Memang butuh perjuangan untuk menikahkan aku dengan Naya. Berhari-hari kami melobby petugas di KUA untuk memalsukan identitasku. Akhirnya ia menyetujuinya setelah mama memberikan uang sepuluh juta rupiah. Kini, aku dan Naya sudah resmi menjadi suami istri.

Kandungan tante Shelly kini berusia satu bulan. Memang belum kelihatan perubahan pada bentuk tubuhnya. Namun, sifat tante mulai berubah. Kini naluri keibuannya mulai muncul. Ia mulai peduli pada hal-hal kecil menyangkut kehamilanya. Aku lega, anakku mendapatkan ibu seperti tante Shelly.

Ia kini telah membeli sebuah rumah entah dimana. Kata tante, kapan-kapan ia akan mengundang kami main kesana.

Jarak antara Bogor dan Jakarta tidak begitu jauh. Seminggu dua kali aku rajin pergi ke bengkel untuk membantu pekerjaan Andi. Andi senang sekali, ternyata kepindahanku tidak begitu mengganggu pekerjaan kami. Semua berjalan normal.

Rumah baru kami memiliki tiga kamar, masing-masing kamar ukurannya sangat besar. Sehingga kami memutuskan untuk memakai satu kamar saja untuk tidur bersama.

“sayang… nanti malam pertama mau ngapain?” tanya Naya.

“emank kenapa sayang? Uda kepingin ya?” kataku.

“cieeee… Pengantin baru… mama boleh ikut ga malam ini?”

“boleh dong ma… Masa mama ditinggal sendiri… lagian kan kita tidur bertiga…” kata Naya.

Kami kini duduk di ruang tengah. Kami menata rumah baru kami semirip mungkin dengan dekorasi rumah kami yang lama. Komputer kami letakkan di sudut ruang tengah, begitu pula dengan rak TV, rak buku, meja, sofa, sampai pada hal kecil seperti pot tanaman kami letakkan di tempat yang senada dengan rumah lama kami.

Yang berbeda hanyalah sebuah kolam renang yang ada di samping ruang tengah. Air kolam itu begitu dingin pada pagi hari, mungkin karena pengaruh cuaca.

“berenang yuk…” kataku.

“boleh…” kata Naya.

Kami bertiga kini menanggalkan pakaian kami. Kami berenang di kolam yang dikelilingi oleh rumpun bambu yang cukup tinggi. Sehingga kami tak khawatir ada orang yang mengintip kami sedang telanjang.

Perlahan kami memasukkan diri ke kolam itu. Air kolam itu begitu dingin. Kami berpelukan erat, sempat terpikir untuk mengurungkan niat, namun pelukan mama begitu hangat kami rasakan.

“mah… aku mau masukin kontol aku dong…” Kataku.

Mama mengangguk. ia menyenderkan tubuh Naya di bibir kolam. Naya merangkulkan tangan ke leher mama dan mereka mulai berpagutan. Aku yang berada di belakang mama mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. cukup sulit melakukan hubungan sex dengan cara baru. Namun akhirnya aku menemukan letak lubang kenikmatan itu.

Air yang membasahi tubuh kami membuat lubang vagina mama tidak sulit untuk dimasuki.

Aku menghujamkan penisku masuk ke dalam liang kenikmatan itu.

Air mulai beriak dan bersuara ketika aku memaju-mundurkan tubuhku. Sensasi berhubungan sex dialam terbuka yang sebelumnya kurasakan bersama tante kini kurasakan kembali.

Hangatnya vagina mama mengusir rasa dingin yang kurasakan. Penisku kini menegang semakin kuat. Aku menempelkan dadaku di punggung mama dan meremas kedua payudaranya.

“Aaaahhh… Ahhhhhh… Ahhhhhhh.. Ahhhh…” desahan mama bersahutan.

“mah… Kocokin memek Naya dong mah…” Kata Naya.

Mama tersenyum dan mulai meraba selangkangannya. Ia memasukkan tiga jari kedalam lubang vagina Naya yang tidak seberapa lebar itu.

“Ohhh… Mmmahh… terus mah..”

Mama mengocok vagina Naya dengan cepat ketika aku menghujamkan penisku dalam vaginanya. vagina mama mulai berdenyut. Aku tersenyum merasakan penisku yang diremas oleh denyutan vagina mama. aku mendekatkan wajahku ke tengkuknya dan mulai menjilatinya.

“Ahhhh… Ahhhh.. Ahhh… tom… Ahh…” desahnya.

Tubuh mama menegang. Aku menghujamkan penisku semakin dalam, semakin cepat, semakin kuat mengejar orgasme mama yang sebentar lagi akan datang.

Tak lama tubuh mama bergetar. Denyutan vaginanya mengcengkeram kuat penisku yang menggesek liang kenikmatan itu.

“Aaaaaaaahhhh…” mama melenguh panjang.

Orgasmenya sudah sampai. Ia terkulai lemas dalam pelukan Naya.

“enak banget ya mah…?”

“Ahhhhh… enak banget Nay… Kontol suamimu bener-bener nikmat…” kata mama.

“suami aku kan suami mama juga…” kata Naya.

Mama hanya tersenyum mendengarnya, ia membalikkan posisi mereka, kini Naya membelakangiku.

“yap… pasien kedua… hehehe…” kataku.

Mama dan Naya hanya tersenyum.

“ayo sayang… masukin… aku udah ga sabar…”

Seharusnya ia tak perlu meminta, karena sesungguhnya aku sudah tidak sabar untuk menghujamkan penisku dalam vaginanya.

Kembali kuarahkan penisku dengan jemariku.

Bless… penisku tenggelam seluruhnya. Kupompa penisku dengan cepat.

Kujilati tengkuk Naya seperti aku memperlakukan mama. tangan kiriku kuselipkan diselangkangannya, aku mulai menggesekkan jemariku pada klitorisnya.

Tubuh Naya menegang menahan sensasi kenikmatan yang ia terima. Mama mengulum bibir Naya sambil memilin-milin putingnya yang mengacung.

Kehangatan tubuh Naya merasuk di dadaku. Membuat nafsuku semakin menggebu. Hasratku membara. Kupercepat gerakan tubuh dan jemariku.

Vagina naya mulai berdenyut.

“Aaaaahhhhhh… sayang… enak banget… Ahhhhhhh…”

Naya merangkul leher mama dengan erat. Bibir mereka menyatu, eksotis sekali.

“aku… udah mau keluar… Ahhh.. Ahhh.. ahhh” kataku.

Mama meremas kedua payudara Naya dengan kuat, kedua putingnya diselipkan dan dijepit diantara jari telunjuk dan jari tengah. Ciuman mereka semakin liar. tubuh Naya menggeliat liar.

“Mmmmmmmppphhh… MMhhhhhhhh…” naya melenguh dalam ciumannya bersama mama.

Orgasmenya sudah sampai. Aku mempercepat gerakanku, mengejar orgasmeku sendiri.

Penisku yang berdenyut sudah siap meluncurkan sperma di rahim Naya.

Aku menekan kuat penisku.

(sfx: Crooooooootttt… Crrrrroooottttt… Crooottttt…)

Beberapa kali spermaku menyembur kedalam rahim Naya.

Spermaku meleleh keluar dari vagina Naya. Permainan sex seperti ini baru pertama kali kami rasakan. Benar-benar seperti pertama kali berhubungan sex. Ide untuk berenang ini benar-benar brilian.

Spermaku mengambang di air kolam itu. Perlahan ia mulai terbawa aliran air menuju kolam penyaring di sisi kolam utama.

Tubuh kami mulai kedinginan, kami mengambil handuk dan mengeringkan tubuh kami.

Duduk di sofa bukan ide yang bagus saat itu. Karena kini hari sudah hampir sore, udara dingin mulai menusuk. Kami belum terbiasa tinggal di tempat dengan iklim yang cukup dingin. Karena jakarta begitu panas.

Akhirnya kami masuk ke kamar dan meringkuk dibawah bedcover tebal.

Aku memeluk tubuh Naya dan mama yang berada di sampingku.

“sayang… kamu mau punya anak cewe apa anak cowo?” tanya Naya.

“aku sih yang mana aja.. yang penting sehat…” kataku.

“emang kalian uda kepingin punya anak?” tanya mama.

Naya mengangguk.

“aku kan udah dua hari ngak minum pil…” Kata Naya.

“wah… udah siap-siap rupanya…” kataku.

Kami berbincang cukup lama hingga kini kami tertidur.

Perubahan yang terjadi dalam kehidupan kami perlahan-lahan menuju ke arah yang lebih baik.

Entah sampai kapan masa tenang ini bertahan. Yang pasti kami hanya bisa menikmati masa ini, selama yana kami bisa.

8 bulan berlalu…

Tuutt… Tuutt… Tuutt…

Bunyi telepon rumah berdering. Saat itu aku dan Naya sedang berendam di kolam renang seperti biasa. Naya kini sedang hamil 8 bulan. Perut Naya kini sudah membuncit.

Aku mendekap tubuh Naya dan menempelkan telingaku di perutnya.

Mama berjalan menuju telepon yang berdering.

Ia mengangkat gagang telepon dan mulai berbicara.

“halo…”

‘haloo… dengan kediaman ibu Sherly?’ tanya suara di seberang telepon.

“iya benar… dengan siapa ini?”

‘ini dari rumah sakit Pondok Indah… ’

Apakah yang terjadi. Apakah ada salah satu keluarga kami yang sedang sakit? Pikirnya.

“ada apa ya?” mama bertanya.

‘bu Shelly sedang dirawat disini bu…’

“Ya tuhan… Kok bisa dirawat… dia sakit apa?”

Aku dan Naya menoleh kearah mama. apa gerangan yang terjadi. Kami berdua menebak-nebak dalam hati.

‘tenang bu… Saudara ibu tidak sakit apa-apa… Beliau baru saja melahirkan?”

“Ohh… ya ampun… Saya kira apa… baik saya segera kesana… Dia dirawat dimana?”

Aku dan Naya berpandangan. Lalu kami berdua beranjak keluar dari kolam dan menghampiri mama.

“oke… Saya bersiap dulu… terimakasih.” Mama menutup telepon itu.

“ada apa ma?” tanyaku.

“coba tebak?” kata mama.

“ihh mama… ayo dong kasi tau…” kata Naya.

Mama mengedipkan sebelah matanya.

“tante Shelly udah melahirkan… Sekarang ada di rumah sakit pondok indah…”

Senang sekali mendengar kabar itu. Tak kukira sudah 9 bulan berlalu semenjak tante positif hamil. Perasaanku berdebar. Seperti apa raut wajah anakku.

“wah… Kalo gitu aku beres-beres dulu mah…” Naya beranjak meninggalkan kami. Langkah kakinya agak melompat. Tampaknya ia juga senang dengan kabar yang kami terima.

Waktu bergulir. kami bertiga kini sudah sampai di lahan parkir rumah sakit tersebut. Aku menengok kiri dan kanan mencari tempat parkir yang kosong.

Disudut lahan parkir tersebut aku memarkir mobil kami. Dibawah naungan sebuah pohon kamboja dengan bunga berwarna putih.

Mama dan Naya segera beranjak memasuki bangunan rumah sakit. Sementara aku mengambil tas berisi pakaian kami di kursi paling belakang.

Dengan menggendong tas besar itu aku memasuki pintu rumah sakit. Udara dingin dari AC menyeruak keluar. Aromanya begitu khas, seperti kotak obat. Hanya saja bercampur dengan aroma penyegar ruangan.

Aku memandang sekeliling. Kulihat mama dan Naya sedang berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup. Aku menghampiri mereka.

Ketika pintu lift terbuka, kami beranjak masuk. Lift yang sempit itu berisi empat orang termasuk kami. Perlahan angka di atas pintu itu mulai bergeser. Kami mulai beranjak naik.

(sfx: Tingg…)

Pintu lift terbuka. Di luar lift kulihat cukup banyak orang berlalu lalang. Kami keluar dari lift itu dan bergegas ke meja penjaga rawat inap.

“mbak… ruangan ibu Shelly dimana ya?” Naya bertanya.

“sebentar ya mba… kamar nomor 5.. lurus ke kanan lalu belok kanan…”

“ok makasih ya mba…”

Kami bergegas menuju ruangan yang dimaksud.

Langkah demi langkah, telapak kaki kami menyusuri petak-petak ubin berwarna krem itu. Aku semakin tidak sabar.

Tak lama kami sampai di sebuah ruangan dengan pintu berwarna cokelat muda. Di pintu itu tertempel papan bertuliskan angka lima.

Mama menggenggam gagang pintu berwarna krom itu. Ia memutar gagang itu, pintu pun terbuka dengan suara berderit kecil.

“Ahhhhh… selamat ya Shell… aduh… kamu kok ga bilang-bilang udah sembilan bulan…” mama memekik dan menghampiri tante seraya memeluknya.

“iya nih… tadinya mau kasih kejutan… eh tapi tau-tau udah mules… ya mau gimana lagi…”

Saat itu pandanganku tertuju pada sosok mungil yang tertutup kain putih di sebelah tubuh tante. Anakku.

“selamat ya tante… Ngomong-ngomong cowo apa cewe nih?” tanyaku seraya mencium pipi tante. Wajahnya masih sayu dan terlihat lemas.

“cowo dong… kamu udah siapin nama belum?” tanya tante.

“lha… kok aku yang kasih nama… aku belom siapin nama…”

Tante mengulurkan tangan kepipiku.

“kamu kan ayahnya…” Kata tante seraya tersenyum.

“cieee… Ada yang sudah jadi bapak…” kata Naya.

“sebentar lagi anaknya Naya lahir juga lho…” Kata mama.

Tante menoleh ke arah perut Naya yang sudah membuncit.

Wajahnya tiba-tiba berbinar.

“wah… sebentar lagi nyusul… udah berapa bulan?”

“8 bulan tante… sebentar lagi sembilan… Tinggal nunggu beberapa minggu.”

“syukurlah… Tante doain semoga persalinan kamu lancar ya Nay…”

Naya mengangguk dan tersenyum.

Perasaanku sangat bahagia saat itu. Terbayang dalam anganku, wajah ayah ketika Naya lahir. Ketika ia benar-benar menjadi seorang laki-laki sepenuhnya. Kini sebuah tanggung jawab ada di pundakku. Memang bukan aku yang akan mengurusnya kelak, namun ketika darahku mengalir dalam nadinya aku sadar. Kini aku sudah menjadi seorang ayah.

Aku mengambil handphone yang berada di saku celanaku. Mereka bertiga kini sedang mengobrol asyik sementara aku bercengkerama dengan handphoneku.

Nama apa ya yang sekiranya cocok untuk anakku. Aku bingung, karena ini adalah pertama kalinya aku mencarikan nama untuk seorang bayi yang suci.

Malam itu, tante sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah cukup baik, mungkin karena proses persalinannya yang normal tanpa operasi caesar. Kami membantu tante membereskan pakaiannya lalu mengantarnya pulang.

Dalam perjalanan mereka masih saja berbincang, seperti teman lama yang sedang reuni.

Mobil yang kukendarai sudah mendekati pintu keluar, namun aku belum mengetahui kemana kami akan mengantarnya pulang.

“ngomong-ngomong pulangnya kearah mana tan? Kita kan belum tau rumah baru tante…”

“kamu jalan aja ke perumahan kalian yang dulu… rumah tante disana..” kata tante.

“ah serius tan?” kataku.

Tante shelly mengangguk. Perumahan kami tak jauh dari sini, aku makin penasaran.

Timbul rasa rindu dalam hatiku ketika kami memasuki perumahan itu. Aku masih ingat dengan jelas, masa-masa ketika kami tinggal disana. Ketika aku masih anak-anak, beranjak dewasa, bersekolah, sampai saat dimana cerita ini berawal.

“kemana lagi tan?”

“lurus aja… Mentok belok kanan…” kata tante.

Aku makin penasaran, itu kan arah kerumah kami yang lama. Apa jangan-jangan rumah tante berdekatan dengan rumah lama kami. Perasaan rinduku sudah tak terbendung, rindu sekali rasanya melihat lingkungan ini. Serasa ingin menangis.

Roda mobil kami bergulir perlahan menyusuri jalan itu. Aku memandang sekeliling, mengenang masa-masa itu.

“tuh rumah yang catnya warna hijau…” kata tante.

Aku terkejut sesaat ketika memandang rumah itu. Tak lain, ini adalah rumah lama kami. Hanya warna catnya saja yang berubah. Segala hal dirumah itu masih sama, posisi bunga di taman, sarang laba-laba di langit-langit teras.

“kejutan…” Tante berteriak di telinga kami.

Aku tak mampu berkata-kata, sementara mama dan Naya sudah sangat heboh ketika mengetahui rumah yang dibeli tante adalah rumah lama kami. Tak kusadari airmataku menetes. Aku tak kuasa menahan rasa haru. Kuusap air mataku dan bergegas masuk kedalam rumah menyusul mereka.

“kok gak ngomong-ngomong sih beli rumah ini…” kata mama.

“namanya juga kejutan… masa dibilangin…” kata tante.

Aku masih tak kuasa menahan rasa rindu ketika aku duduk kembali diruang tengah itu. Naya kini duduk disampingku. Ia merangkul bahuku dan menyenderkan kepalanya.

“jadi inget masa-masa dulu ya… Aku kangen sama rumah ini..” katanya.

“iya… ga nyangka, aku pikir rumah ini ditempatin sama orang lain… ternyata sama tante…”

Hari sudah semakin sore, matahari sudah bersiap untuk tenggalam di cakrawala. Meninggalkan langit yang berwarna keemasan. Sosok bulan yang temaram mulai nampak.

Hari mulai gelap.

Kami menginap di rumah tante, menemani dirinya yang masih cukup lemas untuk melakukan segala hal. Tak berdiam diri, kami membantu tante membereskan rumah. Mama dan Naya membantu tante memasak sementara aku merapikan meja dan menyapu.

Aroma makanan yang harum sungguh menggoda perut kami yang lapar. Tante berjalan menghampiriku dengan dua piring nasi goreng di kedua tangannya.

“sudah dapet namanya belum?” tanya tante.

“sudah tan…”

Tante meletakkan kedua piring itu.

“siapa?” ia bertanya.

“Evan… artinya pejuang…” kataku.

“aa… Bagus tuh.. dapet darimana? Kok bisa tau artinya?”

“ya dari google tante…” Kataku.

Tante sangat senang sekali dengan nama yang kuberikan untuk anak kami. Ia kini menggendong Evan sambil memanggil namanya.

Tiga hari berlalu.

Sudah saatnya kami pulang. Mengingat tidak ada seorang pun yang menjaga rumah kami.

Kami berpamitan pada tante, tampaknya tante masih menginginkan kami untuk tinggal sementara disana.

Kugendong tas hitam besar tempat pakaian kami dan kumasukkan dalam mobil.

Kami melambaikan tangan kami dalam mobil kepada tante ketika kami beranjak meninggalkan tenpat itu.

Sesampainya dirumah.

Kulihat Naya sudah cukup lelah, aku merapikan ranjang agar ia bisa beristirahat.

“mah… Capek ngak?” tanyaku.

“kenapa sayang?” mama sedang membuka pakaiannya.

Aku yang sudah tidak berbusana, kini mendekati mama.

Belum sempat ia melepaskan pakaiannya, aku langsung menyergap payudaranya yang terbuka. Lalu kuhisap putingnya.

“ehh… Sabar sayang… Mama kan belum selesai buka baju..” kata mama seraya melepaskan baju dari lengannya.

“dia mau ajak aku ML takut mah… Perutku udah gede” kata Naya.

“ya sebenernya gak apa-apa sayang… asal jangan terlalu bersemangat.” Kata mama.

Mama yang sudah melepaskan bajunya kini merangkul leherku.

“di kasur aja yuk…” ajaknya.

Aku mengangguk.

Mama merebahkan diri dan membuka pahanya lebar-lebar. Naya duduk bersimpuh di sampingnya. Aku mengambil posisi duduk diantara kedua paha mama dan mulai memasukkan penisku kedalam lubang hangat itu.

“Mmmm.. Ahhhhhh…” mama mendesah.

Naya membuka pakaiannya dan mendekatkan wajahnya kewajahku.

Kami mulai berpagutan sementara aku memompa penisku memasuki vagina mama.

“maaf ya sayang… Ahh… aku masih takut ML sama kamu…” Kataku.

Naya tersenyum.

“gapapa sayang…”

Kami kembali berpagutan, sebelah tanganku meremas payudara Naya dengan lembut. Payudaranya kini makin membesar dan semakin kencang. Sementara sebelah tanganku yang lain meremas payudara mama.

Mama mengcengkeram tanganku yang berada di payudaranya.

“remas yang kuat… sayang… Ahhh… Ahhh… Ahhh” ia mendesah seirama dengan gerakanku.

Naya mengelus dadaku dengan telapak tangannya yang lembut. Sementara sebelah tangannya yang lain mengusap klitorisnya.

“Mmmhh… Ahh..” ia mendesah pelan dalam ciuman kami.

Suhu ruangan itu mulai menghangat. Rasa lelah setelah perjalanan tidak kurasakan lagi. Tergantikan dengan nafsuku yang menggelora.

Vagina mama mulai berdenyut. Ia mengcengkeram kuat lenganku. Kudorong penisku sekuatnya kedalam vagina mama. ia melenguh panjang.

“Ahhhhhhhh… Aaaaaaaaahhhh”

“cepet amat mah?” kataku.

“abis udah seharian gak ML… rasanya memek mama udah gatel pengen di masukin…”

Aku hanya tertawa kecil. Kucabut penisku dari vagina mama.

“kamu rebahan disini aja Nay… biar mama jilatin memek kamu…”

Naya mengangguk. kami kembali mengatur posisi.

Kini aku menusukkan penisku dari belakang tubuh mama.

Paha Naya sudah terbuka lebar. Mama menjilati klitorisnya dengan liar. ia mengulum dan menyedot tonjolan daging berwarna merah itu.

“mmmmmppppphhh… Ahhhhhh… Ahhhhhhhh…” Naya mendesah.

Aku masih sibuk menikmati vagina mama. kuhujamkan penisku dengan cepat, namun mama hanya mendesah karena sedang menjilati vagina Naya.

Jilatan demi jilatan menyapu kulit vagina Naya yang sudah licin. Mama memasukkan lidahnya kedalam lubang vagina Naya dan memainkannya disana.

“Ahhhhh… Ahhhhh…” suara desahan kenikmatan itu bergema dalam ruangan kamar kami.

Naya mengulurkan tangan ke klitorinya dan mulai mengusapnya dengan cepat.

“Mmmmmmaaahh… Ahhh… Ahhhh… Naya… mau keluar…”

Mendengar ucapan itu mama semakin menggila. Ia menekan wajahnya, memasukkan lidahnya semakin dalam ke lubang vagina naya. Lidah itu menyapu dinding-dinding lubang itu dengan liar.

Vagina mama mulai berdenyut lagi. Kurasakan cengkeramannya begitu nikmat di batang penisku.

“Ohhh.. Ahhhh.. Ahhh enak banget memek mama… Ahhhhh…”

Birahiku mulai memuncak. Penisku ikut berdenyut kencang.

“mmaahh… Ahhhh…” Naya memekik.

“Ahhhh.. Ahhhh. Aahhhh… Aaaaahhhhhhhhh…”

Diikuti dengan lenguhan mama.

Aku mempercepat gerakanku. Kuhujamkan penisku sedalam-dalamnya.

(sfx: Crooooooottt… Croooooootttt… Crooooottttttttt…)

Spermaku menyembur dalam rahim mama.

Tubuhku yang lemas sudah tidak dapat lagi kutopang.

Kini aku merebahkan diri diranjang. Berada diantara Naya, dan mama yang sudah kelelahan.

Aku memejamkan mata. Menjawab panggilan rasa kantukku.

Satu bulan berlalu.

Kini aku sedang duduk termenung di depan pintu persalinan ditemani mama dan tante Shelly.

Kami sedang menunggu kabar persalinan Naya. Aku sangat cemas saat itu. Aku hanya bisa berdoa semoga proses persalinannya tidak menemui kendala.

Pintu ruangan itu terbuka, seorang suster dengan pakaian berwarna putih keluar sambil membawa sebuah papan penjepit dan selembar kertas di tangan kanannya.

“keluarga ibu Naya…” Katanya.

Seketika itu aku langsung bangkit dan mendekatinya.

“saya suaminya sus… Gimana keadaan istri saya?”

“persalinanya sudah selesai, sekarang bapak tanda tangan dulu untuk formulir rawat inapnya ya…”

Aku menandatangani form itu tanpa membaca apa isinya. Aku tidak peduli, yang kuinginkan hanyalah menemui Naya dan anakku.

“terima kasih pak… Sekarang bapak tunggu disini… ibu Naya sebentar lagi didorong keluar.”

Aku kembali duduk di kursi ruangan yang terbuat dari plat besi itu. Kursi itu sangat dingin ketika kulit lenganku menyentuhnya.

“syukurlah… persalinanya lancar…” Kata mama.

“iya Sher… sekarang kamu udah jadi nenek lho…” Kata tante.

“biarpun udah nenek kan yang penting tetep sexy…”

Mereka tertawa bersama.

Aku hanya bisa tersenyu mendengarnya tanpa mengalihkan pandanganku dari pintu ruangan itu.

Tak lama pintu ruangan itu kembali terbuka.

Aku bangkit dari kursi panjang itu. Mama dan tante juga beranjak. Perlahan-lahan kami melihat sebuah ranjang didorong melewati daun pintu itu. Diatasnya kulihat Naya dan bayi kami berada disamping tubuhnya.

Kami bergegas menghampiriya. Kulihat Naya tersenyum.

Senyuman Naya begitu sejuk terasa di hatiku. Perasaan cemasku sudah hilang sepenuhnya.

Aku mengenggam tangan Naya yang dingin, mengucapkan kata-kata, betapa aku sangat bangga menjadi suaminya. Ia telah melahirkan seorang bayi perempuan. Cantik sekali seperti ibunya.

Kami bertiga berjalan mengiringi ranjang itu menuju kamar rawat inap.

Kamar itu cukup besar, dengan sebuah TV berada dinding. Aku mengucapkan terimakasih ketika perawat itu akan beranjak meninggalkan kami.

Aku duduk dikursi yang berada disamping ranjangnya.

“kamu udah siapin nama belum sayang?” tanya Naya.

“sudah…” jawabku.

“siapa?”

Saat itu aku hanya terdiam dan tersenyum.

“Reni… sama kayak guru aku di SMA dulu” kataku.

“Reni… nama yang bagus…” kata Naya. Ia kini mengusap kepala Reni dengan lembut.

Mama dan tante sekarang sibuk bercengkerama dengan Naya. Mereka tertawa dan tersenyum ketika aku beranjak dari kursiku menuju balkon diruangan itu. Aku menggeser kaca dan melangkah keluar. Udara siang hari itu tidak kurasakan panas walau matahari bersinar terang. Dalam hembusan angin aku berdoa, semoga kebahagiaan kami tidak lagi hilang.

Dua puluh empat tahun berlalu. Entah apa yang kami pikirkan, kini Evan dan Reni sedang berada di pelaminan. Cukup lama kami bersembunyi dari kenyataan bahwa kami melakukan hubungan sedarah dari mereka. Namun apa daya, mereka sudah dewasa. Mereka akhirnya mengetahui itu semua.

Apakah keputusanku salah, membiarkan hubungan terlarang ini tumbuh dalam keluarga kami?.

Entahlah, mungkin iya. Tapi keputusan ini tak pernah kusesali.

Apa yang telah berlalu dalam aliran sang waktu, menjadi kenangan indah sekaligus aib dalam keluarga kami. Mungkin diakhirat nanti kami tidak akan merasakan seperti apa indahnya surga.

Namun dalam kehidupan ini, kami bisa merasakan seperti apa surga itu sebenarnya.

Persetubuhan terlarang yang kami jalani masih berlanjut sampai saat ini, terkadang kami saling bertukar pasangan. Bahkan aku beberapa kali bersetubuh dengan anakku Reni.

Well… selama kami semua bahagia, kurasa dalam cerita kami tidak akan pernah tertulis kata akhir.

Selamanya…

akhir kata, sekian dari saya… jujur saya sangat berterima kasih atas semua support dan semangat yang diberikan oleh pembaca. kritik dan saran kalian benar-benar membuat saya berkembang.

mungkin ada diantara kalian yang kecewa dengan akhir cerita ini, tapi yahh.. apa mau dikata hahaha…

saya berusaha semampunya menghadirkan ending yang bahagia.

cukup lama memang prosesnya, maklum saya penulis pemula… belum bisa disandingkan dengan suhu-suhu yang sudah berkelana di dunia perlandiran hahahaha…

oh ya… pesan dari saya…

DONT TRY THIS AT HOME…

HAHAHAHAHA…

sampai ketemu lagi di cerita ane yang lain ya…

REGARDS…

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu