2 November 2020
Penulis —  hardimash

Jatah Sopir

Berbagi kisah nyata, bosss. Ini pengalaman beberapa minggu lalu. Gaada fotonya. Takut buat ngerekam.

langsung aja ya

---

Ponselku berdering. Kulihat ada panggilan masuk dari Mbak Iza, tanteku. aku menduga, itu pasti soal anak perempuannya yang baru saja masuk SD, yang selama aku libur kuliah dititipkan pada keluarga besarku. Sepupuku itu memang lebih betah berada di rumah keluarga besarku karena ia punya lebih banyak teman ketimbang di kompleks rumahnya sendiri.

Belum lama ini Mbak Iza memang pindah rumah, karena Om meninggal sekitar setahun yang lalu. Ia merasa sungkan untuk tetap tinggal di rumah sebab ia bukan keluarga kandung kami. Sebetulnya, keluargaku tak mempermasalahkan hal itu, toh, ia juga sudah jadi bagian dari keluarga. Tapi bagiku itu agak merepotkan, tiap hari aku jadi berkewajiban mengantar-jemput anaknya dari rumahnya yang baru ke sekolah.

Dugaanku benar. Ia memintaku mengantarnya ke Semarang untuk menjemput anaknya yang sedang studi wisata di sana. Rencananya, dari Semarang, kami langsung bertolak menuju Salatiga dan menikmati akhir pekan di sana. Untuk rencana itu, ia meliburkan biro arsitek warisan suaminya dan menyewa sebuah mobil keluarga.

Esoknya, aku dan Mbak Iza berangkat dari Semarang kira-kira pukul 4 sore. Menurut rundown yang diberikan sekolah, studi wisata berakhir pukul lima, dan kami menjemput mereka tepat ketika studi wisata itu selesai. Aku menurut saja dengan rencana itu, meskipun kemudian faktanya studi wisata selesai tepat ketika Maghrib, tak sesuai dengan yang telah dijadwalkan.

Sial sekali. Aku sama sekali tak suka dengan segala bentuk keterlambatan. Prinsip itu kuterapkan juga di organisasi kampus. Aku tak punya kewajiban untuk menunggu orang yang tak tepat waktu. Tapi aku menyimpan gerutuan itu mengingat tak enak juga rasanya jika rencana Mbak Iza dan anaknya batal hanya karena terlambat beberapa jam.

Perjalanan malam selalu jadi hal yang sulit bagiku. Kemampuan mataku terus menurun selama kuliah, kini ukuran minus kacamata yg kugunakan sudah ada di angka 2, dan aku juga harus berkendara di jalanan dengan mobil-mobil malam yang kelewat berani itu. Selama menyetir aku berkonsentrasi penuh dan nyaris tak ada percakapan diantara aku dan Mbak Iza, kecuali soal jalan mana yg harus kuambil supaya cepat sampai di salah satu tempat wisata alam di Salatiga.

“Tempatnya seperti Lembang di Bandung. Kamu pernah ke sana?”

“Belum, mbak”

“Yasudah, nanti langsung cari tempat nginap ya”

“Silakan”

Di homestay kecil dengan dua kamar itu kami menginap. Ia meminta anaknya untuk segera tidur kalau ia merasa lelah. Benar saja, sehabis mandi dengan ibunya, ia langsung tidur. Aku tak langsung tidur. Duduk di kursi panjang dengan satu meja kecil tampak menyenangkan. Lagipula hawa sejuk Salatiga yang berada di dekat pegunungan tak boleh kulewatkan.

“Kamu kaget, Rud?”

“Kaget juga, mbak. Tapi bagiku tak masalah. Merokok tak punya urusan dengan jenis kelamin,”

“Baru-baru ini aku merokok. Tak punya pelampiasan lain. Kau tahu, berat hidup sendiri,”

“Aku mengerti”

“Aku masih baru awal 30, ditinggal suami, dan tak tahu apa2 soal bisnis warisan Om kamu itu. Kutinggalkan bisnis itu jelas pilihan bodoh,”

“Tentu. Punya persiapan lain, mbak?”

“Ada. Tapi aku menunggu modalnya cukup. Aku tak ingin bekerja kantoran,”

Aku tertawa. Ia tersenyum. Seperti tahu maksudku, katanya, “kau tak perlu kerja kantoran kalau memang tak ingin. Aku yakin itu membosankan, sebab kamu harus hidup seperti mesin.”

Senyumnya malam itu tampak menyenangkan. Obrolan kami terus berlanjut sampai larut malam, berbatang rokok kami habiskan, dan ia meletakkan kepalanya di pundakku. Aku mencoba melingkarkan tangan kiriku di pinggangnya, tangan kananku memegang tangannya, kemudian aku mengecup ubun-ubunnya. Tentu saja ia kaget.

Ia segera melepasnya, tapi tanganku menahannya untuk lepas. “Jangan,” katanya sambil menatapku. Aku tahu maksudnya, mata kami bertemu dan ia kemudian mengangguk, ia bangkit dan segera menuju kamarnya, sementara aku masih di teras tak percaya dengan apa yang kulakukan barusan. Satu bagian diriku menolak bertindak lebih jauh, sedangkan bagian diriku yang lain sudah berontak meminta ijin untuk dimasukkan kandang.

Aku menoleh ketika gagang pintu diputar dan bagian bawah pintu berderit ketika berimpitan dengan lantai, pintu nyaris sepenuhnya terbuka. Astaga, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia sudah setengah telanjang. Hanya ada bra di dadanya dan celana dalam model g-string di pinggulnya. Aku yang masih diam karena terkejut segera ia dorong dan jatuh terduduk di atas sofa.

“Kau kira untuk apa aku mengajakmu ke sini?”

“Tapi,” belum selesai jawabanku, ia segera menciumku lagi. Kali ini ia berusaha membuka lidahku agar lidah kami juga ikut bertaut. Tamparan kedua mendarat di pipi yang sama.

“Kalau kau tak mau, aku akan segera tidur,” ia melepas tangannya dari leherku. Dengan cepat kuraih pinggangnya, menahannya agar tak pergi, dan segera membalas perlakuannya tadi. Ciuman itu rasanya sudah terlalu lama, karena ketika aku melepas ciuman itu aku baru menyadari kaosku sudah tanggal dan dua buah susunya menggantung bebas di depanku karena ulah tanganku yang merayap di punggungnya.

Tanganku segera bergerilya mencari daerah baru. Aku sudah seperti penjajah yang menemukan daerah jajahan baru kemudian mengerahkan segala cara untuk mengekspoitasinya. Kini aku memegang kuasa atas tubuhnya. Kepalaku turun ke dua bongkah benda bulat di depanku, menghisap dan sesekali menggigit satu putingnya bergantian.

Mbak Iza mendesah. Sesekali ia menjambak rambutku, atau menekan kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Aku yg gelagapan justru meremas bokongnya kuat-kuat, sambil sesekali kutepuk untuk mengingatkannya bahwa aku juga perlu bernapas. Aku bisa saja mati kegirangan karena kaget dan kegirangan setengah mati untuk pertama kalinya merasakan bersetubuh, apalagi dengan tanteku sendiri, atau aku mati kehabisan napas di dadanya.

Tanganku juga bergerak berusaha menurunkan celana dalamnya. Mengetahui aku kesulitan karena posisi duduknya tepat berada di atasku, ia segera mendorongku untuk jatuh ke samping. Posisi ini memungkinkan kami sama-sama melepas apa yang masih ada di tubuh kami. Aku melepas celana dalamnya, Mbak Iza melepas celana jins dan segala yang menutupi badanku.

“Aku yakin aku tak akan kecewa dengan ini,” kata Mbak Iza memegang dan meremas kontolku kemudian segera menjilatnya. Ukurannya tak seberapa, kira-kira hanya antara jempol yang direntangkan ke samping hingga ujung jari telunjuk, atau kira-kira 13 cm, ukuran kontol normal orang-orang sini. Rasanya ngilu-ngilu senang.

Apalagi ketika kepala kontolku dikecupnya, dan lubang kontolku dijilat-jilatnya kepalaku segera tahu bagaimana rasanya terbang. Tak lama, sebagian kontolku sudah maju-mundur dalam mulutnya, dan tak sekalipun tersangkut di gigi. Ngeri juga membayangkan kontolku kena gigi kemudian rasa ngilunya justru membuatku gagal bercinta.

Rasanya nikmat sekali sampai aku tak sadar kalau aku sudah memegang kepala Mbak Iza, memaju-mundurkannya seenakku sendiri, dan sesekali menekannya dalam-dalam hingga ke pangkalnya. Aku baru sadar ketika ia menepuk bokongku, dan mendengar suara sengguk hampir muntah.

“Kau hampir saja membunuhku,” katanya. Ia bangkit dan segera meraih bibirku dengan bibirnya, dan lidah kami beradu lagi. Asu. Ini sama saja dengan aku menjilat kontolku sendiri, meskipun secara tidak langsung. Rasa jijik itu terus terbayang bahkan ketika lidah kami beradu dan bertukar liur, aku merasa mual.

“Kau mau kita seharian berciuman, atau?” ujarnya dengan senyum nakal. Aku langsung mengambil posisi 69. Memek itu akhirnya tiba di depan mukaku. Pelan-pelan aku masih membukanya dengan tangan, dua jariku kutusukkan ke dalamnya, dan sesekali bergantian dengan lidahkku. Klitorisnya tak ketinggalan untuk kusergap dengan sekali sedotan kencang.

Akhirnya, momen misionari itu tiba, juga berarti momen pertama kali kontolku berhadapan dengan memek. Aku ragu sejenak. Aku melihat mbak Iza yang tampak mengerti keraguanku. Ia mengangguk, tersenyum, memberi isyarat agar aku mendekatkan kepalaku ke kepalanya.

“Aku takut, mbak”. Ia justru menggenggam kontolku dan mengarahkannya ke memeknya, beberapa kali memang gagal, tapi ia berusaha. “Ini akan jadi malam yang panjang,” bisik Mbak Iza.

“Blessss” suara kecil yang muncul ketika kontolku berhasil masuk ke memeknya. Walaupun hanya kepala kontolku yang masuk, aku sudah merasa ini nikmat sekali, jauh berbeda dengan alat bantu sex memek buatan yg kubuat dari sarung tangan karet yang dijepit dua gabus dalam satu tabung yang diolesi minyak.

(Ohiya, aku bertanya pada kalian, yang enak dari sex apa cuma di bagian kepala kontol ya?)

Badanku kubungkukkan agar lebih dekat ke badan mbak Iza, ia memelukku, dan tubuh kami seperti benar-benar bersatu. Pinggul mbak Iza digoyang-goyangkan mengikuti irama yang kubuat. Ia menjerit-jerit kecil, kadang-kadang jarinya mencengkeram erat punggungku, atau bahkan mencakarnya kecil. Perih di punggungku itu justru membuatku merasa makin bersemangat.

Ia mengartikannya sebagai isyarat untuk ganti posisi. Tangannya bergerak mencari ruang yang tepat bagi kami untuk melanjutkan permainan ini dengan aku berada di belakangnya. Aku kembali memompa. Kini gerakan pinggulnya tampak jelas di mataku, dan bongkahan bokongnya ternyata pas di tanganku dan aku tak tahan untuk tidak mencengkeram atau menepuknya.

“Plak. Plak. Plak.” Bunyi dari benturan paha depanku dan paha bagian belakangnya dan bokongnya yang mulai memerah. Di posisi ini, aku mengakui permainan ini sangat menyenangkan. Mbak Iza masih tetap menggoyangkan pinggulnya meskipun sesekali aku berhenti untuk menyambung kembali nafasku yang putus-putus.

“Ah, Rud, kenapa berhenti. Terus, Rud,” erangnya diiringi desahan. “Ohhhh, ahhh, my goshhh, ohhh.”

Kami berada dalam posisi ini sudah agak lama. Aku memompanya lagi, dan kali ini memeluknya dari belakang. Tanganku menggerayangi susunya yang pas sekali kugenggam. Sesekali kusodokkan kontolku keras-keras, dan ia menjerit lebih kencang daripada jeritan-jeritan kecilnya sedari tadi. Tubuhnya menegang, dan cengkeraman memeknya atas kontolku makin kuat, dan itu adalah momen paling nikmat dari permainan ini.

“Enak banget, mbak, shhhssshhh,” bisikku di telinganya. “Ganti kamu di atas dong, mbak,” lanjutku membisik dan mencubit kecil pinggangnya.

“Aku capek, Rud,”

“Yah”

“Ayodeh”

Kami memutar tubuh kami. Ia sekali lagi menggenggam kontolku dan mengarahkan kontolku ke memeknya. Kami tak lama dalam posisi ini, rasa nikmat di kontolku agak berkurang. Entah karena kami mulai kelelahan sehingga goyangan kami melambat atau apa, entahlah. Tapi dalam posisi ini, susu yang tadi menantangmu malah mengangguk-angguk seperti ia mengaku kalah.

“Jawab aku dengan susumu, mbak. Enak ngesex denganku?”

Ia tertawa. “Kamu ini ada-ada aja, shhh,”

“Ini mengangguk, aku anggap itu jawaban ‘iya’,” kataku sambil meremas susunya.

“Mbak ingin kesempatan yang lain?”

Ia tertawa lebih kencang. “Idih maunya,” kata Mbak Iza sambil mencubit pahaku.

Merasa posisi ini tidak memberi kontolku kebahagiaan tambahan, aku mendorongnya dengan tubuhku, ia jatuh dan aku berada di atas seperti posisi semula. Pompaanku kupercepat. Aku merasakan tubuhnya mulai menegang lagi, memeknya juga mulai berkedut. Aku menghentikan pompaanku, memberinya kesempatan untuk beristirahat.

Itu tampaknya berdampak. Ketika aku mulai memompa lagi, pinggulnya juga bereaksi atas genjotanku. Fokus pandanganku bergeser ke dadanya. Susunya bergerak maju-mundur mengikuti irama persetubuhan kami. Aku berpikir untuk iseng dengan menamparnya kecil. Ia justru menggelinjang. Kurasa itu kelemahannya.

“Mbak, aku kayaknya mau keluar, deh,”

“Uhh, terusin aja sayang, keluarkan di dalam. Jangan khawatir, aku ada pil,”

Pompaanku semakin bertenaga memanfaatkan sisa-sisa tenagaku. Jeritan mbak Iza juga kian kencang, tubuhnya menengang, dan memeknya kian berkedut. Ujung kontolku semakin gatal. Aku menghentak keras-keras genjotanku, sedangkan tubuh Mbak Iza sudah bergetar. Aku sodokkan dalam-dalam dan segala yang kupunya kutumpahkan di dalam memeknya.

“Aooohhhhhhhssss,”

Aku puas sekali, kemudian ambruk di atas tubuhnya. Lemas sekali, kontolku masih tegang, berkedut di dalam memeknya, dan kami berpelukan. Kulihat jam dinding, ternyata kami bermain tak sampai satu jam, tapi rasanya lelah sekali. Mataku tiba-tiba terasa berat.

Kudengar saklar lampu dipencet, adik sepupuku keluar kamar, “Mama ngapain?”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu