3 November 2020
Penulis —  Cemcem77

ASMARA GELAP

PART IV

RUMPUT-RUMPUT LIAR 1

Malam ini aku bersama Imran sedang menikmati wedang jahe yang dijual di pinggir jalan. Kuteguk sedikit wedang jahe yang mulai mendingin ditiupi udara yang terasa mulai memeluk tubuhku yang tak terbalut

sweater. Imran sepertinya paham ketika melihatku yang berbalut kaos casual berlengan pendek berwarna biru laut. Dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku. “Dingin,” ucapnya dengan seulas senyum manis dengan lesung pipi yang mengempis.

Aku tersenyum setelah ia memakaikan jaketnya di tubuhku. Aku sangat beruntung Imran hadir dalam kehidupanku, setidaknya hidupku sedikit lebih berwarna dan membaik dari sebelumnya. Tentu saja kehidupanku semakin membaik karena secara materi aku sangat berlebih berkat sokongan finansial dari kekasih gelapku.

Aku melihat arlojiku menunjukkan pukul 19.00 malam. Sudah setengah jam aku di sini. Menikmati malam berdua dengannya. Kami pun meninggalkan tempat itu beberapa menit kemudian. Aku menaiki kuda besinya (motor, red). Dia menancap gas pelan, aku memeluknya erat dalam dekapanku. Motornya berhenti di sebuah apartemen yang cukup megah.

“Apakah ini tempat tinggalmu?” Tanyaku.

“Ya …” Jawabnya singkat.

Kami naik ke tingkat 7 menggunakan lift. Kami berhenti di salah satu pintu. Setelah Imran membukakan pintu, ia mempersilahkan aku untuk masuk. Aku pun melangkahkan kakiku ke dalam apartemennya. Apartemen Imran adalah sebuah apartemen yang cukup mewah. Ruangannya tertata rapi dan bersih. Terdapat satu kamar utama memiliki ruangan yang luas dan dua kamar lainnya memiliki ruangan sedang.

“Bagaimana hubunganmu dengan Nara?” Tanyaku sambil membuka pintu balkon dan berdiri memandangi lampu-lampu kota.

“Begitu-begitu saja …” Jawab Imran yang sedang membuka kulkas.

“Bunda ingin kamu baik-baik dengan dia.” Kataku.

“Ya, kami baik-baik saja bunda …” Ucapnya sambil menenggak minuman mineralnya lalu berdiri di belakangku sambil memeluk pinggangku dari belakang. Lelaki itu menyangkutkan dagunya di pundakku. Semilir angin malam membelai wajah kami berdua. Aku melingkarkan tangan mengusap pelan rahangnya yang kokoh.

“Bagaimana dengan hubungan kita?” Tanyaku. Imran tersenyum. Lantas mengecup lembut telingaku.

“Kalau mendapat izin… Aku akan bersama bunda dan Nara selamanya …” Ucapnya lembut. Aku berbalik. Melingkarkan kedua tangan di lehernya. Dengan sedikit mendongak menatap mata elang itu. Temaramnya cahaya lampu balkon membuat Imran makin terlihat tampan. Imran memeluk pinggangku erat.

“Asmara kita adalah asmara gelap, sayang… Cinta kita adalah cinta terlarang …” Ujarku kembali. Aku sendiri berpikir bahwa hubungan ini bukan karena sebatas nafsu belaka namun ada sesuatu yang membuat hati kami saling menarik satu sama lain, ada hal yang tak bisa dijelaskan secara logika bila menyangkut permasalah ini.

“Asal tidak ada yang tersakiti, bunda …” Jawabnya mengingatkanku dengan komitmen kami. Aku menjinjit tumit, memberikan kecupan singkat di bibirnya.

Lalu Imran menggendong tubuhku. Dengan sebelah tumitnya menutup pintu balkon dan membawaku ke kamar tidurnya. Kalau sudah begini, aku tahu yang ia mau. Imran membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, sembari menatap mataku seakan meminta persetujuan melanjutkan ke tingkat lebih jauh. Aku membalas tatapan itu dengan sebuah anggukan yang menandakan aku menyetujui untuk melanjutkannya.

Tanpa aba-aba Imran mendaratkan ciumannya pada bibirku. Menciumku pelan, lalu melumatnya dan sesekali menyesapnya layaknya bibirku. Ciuman itu basah, menggelora dan panas. Rasa sensual yang tercipta karena dari awal bibir kami terbuka menghanyutkan. Kecupan Imran semakin basah dan menggoda. Imran manjakan tubuhku dengan penuh perasaan, menunjukan kasih sayang serta cinta yang dimiliki olehnya melalui cara dan sikap.

Pandanganku mulai kabur ketika bibir Imran bergerak turun menemukan sasaran yang lebih intens. Mengalirkan gelombang kenikmatan yang menyiksa dan teramat menggairahkan. Bukan cuma ahli dalam melumat bibir, Imran juga bisa membuat tubuhku menggelijang ketika memagut kewanitaanku. Sering kali membuat aku dibuat mengerang hebat dan tak terkendali.

“Aaaaaahhhhhh …!”

Aku mulai terengah. Dada polosku naik turun karena menarik dan menghembuskan nafas yang tidak beraturan. Bibirku terbuka, mengeluarkan deru nafas dari sana. Imran pun menggeram. Eranganku mungkin semakin membangkitkan hasratnya, membuat ia geram bukan kepalang lantas menggantikan peran lidah menjadi jari.

Imran meninggalkan selangkanganku, berpindah dari tubuh bawah menuju ke atas. Tubuh padatnya bertahan menggunakan tangan kiri, sementara sebelah tangannya yang lain sedang ‘bermian’ dengan tubuhku yang telah basah sempurna. Perlakuan manis Imran menghanyutkanku. Rasa nikmat membuat tubuhku serasa melayang tinggi.

Aku merintih, tubuhku melengkung di bawah tubuh kekar Imran yang menindihku. Kedua tanganku terulur dan mencengkram rambut Imran, menarik lelaki itu, mencari sesuatu yang dapat menjawab kebutuhan yang meledak-ledak dalam diriku. Rasa sensual mendominasi yang membuat detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Hingga kini saatnya Imran mulai untuk benar-benar melakukan sebuah penyatuan tubuh. Tubuhku terguncang. Imran terus mendesak pinggulnya, membenam benda keras itu ke dalam tubuhku. Tak ada jarak, tak ada sekat diantara kedua tubuh polos kami. Nafasku semakin terengah-engah saat Imran mengguncang hebat tubuhnya dan membawaku melayang menuju nirwana.

Merasa puas dengan posisi saat ini, Imran pun melepas penyatuan tubuh kami dan secara tiba-tiba menggendong tubuhku dan membawaku ke pinggiran tempat tidur. Imran duduk di pinggir tempat tidur dengan kaki menjuntai ke lantai dan memposisikan aku berada tepat di pangkuannya.

“Bergeraklah, bunda… Aku akan bergerak bersamamu.” Ucap Imran pelan.

“Kamu suka?” Tanyaku perlahan berganti menguasai permainan panas kami.

“Ya, bunda!!” Jawab Imran sambil memejamkan matanya menikmati sensasi yang diberikan olehku padanya. Ya, memang aku selalu berhasil membuatnya tergila-gila. Bukan hanya kemolekan, kepribadian dan tingkah lakuku. Tapi percintaan hebat yang selalu aku berikan pun, termasuk salah satu hal yang membuat Imran sangat kagum bahkan sangat memujaku luar dan dalam.

“Sayaanngg… Oughhhh… “Aku sedikit memekik saat dengan tidak sabarnya Imran mencengkram pinggangku dan membuat tubuhku berguncang naik dan turun di atas pangkuannya.

Desah nafas itu terdengar jelas memenuhi ruangan. Menembus keremangan malam. Mengisi setiap inci kamar apartemen berukuran besar ini, dengan aroma seks yang memikat. Dengan sensualitas menggairahkan, yang menguar kuat dari dua tubuh telanjang kami, yang kini sedang bergerak bersama demi mencapai puncak kenikmatan kami malam ini.

Sembari mengerang bahagia, aku mengangkat tubuh polosku dan mendongakkan kepalaku. Mataku tertutup sempurna sementara bibirku tersenyum puas. Aku menggoyangkan tubuh dengan lembut. Dengan gerakan yang menumpulkan logika dan membuatku menyerah kalah pada kenikmatan murni yang terpusat pada penyatuan tubuh telanjang kami di bawah sana.

Mataku masih tetap tertutup rapat, menumpukan tanganku ke belakang hingga tubuhku melengkung indah ke depan, sementara pinggulku bergerak lembut tanpa menggunakan logika. Dadaku tampak membusung sombong, seolah menantang Imran untuk menyentuhnya dan meremasnya lembut menggunakan jemari-jemari lentik miliknya.

Tentu saja, telapak tangan Imran kembali meraba dua gundukan indah milikku itu dan menangkupkannya di kedua tangannya. Imran segera meremas lembut buah dadaku dengan kedua tangannya dan memijatnya dengan gerakan yang membuatku semakin kehilangan kendali. Kemudian dengan bibirnya ia mengecup ringan ujung payudaraku dengan sikap menggoda, yang membuatku mendesah semakin tidak karuan.

Aku bahkan tak kuasa untuk melepaskan tumpuan tanganku di belakang demi mendekap tubuh berotot di hadapanku ini. Memeluk tubuh Imran dan menyelipkan jemari-jemari halusku di sela-sela rambut kekasihku ini. Menjambaknya kasar seolah aku sendiri sudah tidak mampu lagi menyadari tindakanku sepenuhnya. Satu-satunya hal yang memenuhi diriku adalah kenyataan bahwa Imran adalah orang yang sedang memberiku kenikmatan pada tubuhku saat ini.

“Aaaaaaaccckkkhhh …!!!!”

Aku mengerang tajam saat gelombang pelepasan itu datang menghampiriku. Tepat saat Imran menghisap kasar lekuk leherku. Nafasku tersengal hebat, sementara tubuhku mengejang dan tak seberapa lama langsung terasa lemas, puas oleh kehangatan yang keluar dari kewanitaanku. Tubuhku terasa basah, lengket oleh keringat dan cairan yang kini mengaliri tubuh kami, namun anehnya, aku justru merasa begitu seksi, dengan tubuh yang terasa hidup oleh gairah.

Mau tidak mau, aku harus berusaha mengatur kembali nafasku, berusaha memasukkan kembali pasokan normal oksigen ke dalam paru-paruku setelah kegiatan melelahkan yang baru saja dilalui. Sementara jantungku masih berdebar kencang, bertalu-talu beriringan dengan detak jantung lain yang kini sedang berada dalam dekapanku.

“Ini belum selesai?” Bisikku. Imran menggeser tebuhnya lalu mengangguk. “Oh… Yaaa ampuunn …” Lanjutku setengah terkejut.

Imran tertawa geli mendengar umpatanku. Aku bahkan masih berusaha mengatur nafasku sembari mempertanyakan apakah ini hanya perasaanku saja atau Imran memang masih belum selesai dengan diriku. Perlahan, aku menyadari kalau tubuhku memang masih terasa penuh oleh ‘perkakas’ Imran di bawah sana. Laki-laki ini hanya sekedar menahan dirinya, memberi kesempatan padaku untuk mengambil nafas, sebelum membawaku kembali dalam permainan kami, yang sebenarnya belum selesai.

Beberapa saat kemudian, kewanitaanku kembali berdenyut lembut, meremas hangat kejantanan Imran yang masih bersatu dengan tubuhku. Aroma seks yang menggoda itu masih menguar kencang di setiap sudut kamar tidur. Saat mata kami saling beradu, detak jantung kami kembali berdebar kencang, saling beriringan.

“Berbaliklah…” Bisik Imran, dengan suara serak sarat gairah, sembari memandang dalam mataku. Kemudian Imran mengangkat ringan tubuhku dan membalikkannya dengan lembut. Imran membantuku memposisikan diriku sedemikian rupa sehingga aku menungging dengan menahan dan menumpukan tubuhku pada kedua lutut dan siku tanganku.

Tanpa sadar, aku mendesah penuh perasaan mendamba, merasakan bibir Imran mencium tubuh belakangku dengan hangat. Dari pinggang hingga naik ke punggung dan berakhir di pundak kananku. Laki-laki itu memelukku dari belakang, dengan sikap posesif yang membuat jantungku kembali berdebar penuh antisipasi namun juga bergairah dalam saat yang bersamaan.

Dada bidang Imran terasa hangat menekan punggungku, sementara lengan-lengan kuat itu menyelinap masuk ke bawah lengan milikku. Aku pun mengerang bahagia merasakan kehangatan jemari-jemari Imran yang kembali menangkup payudaraku yang menggantung dan meremasnya dengan lembut. Mengusap puncak-puncak kecoklatannya, yang tampak menegang sempurna itu dengan ujung ibu jarinya, hingga membuatku harus menggigit bibir bawahku, menahan keinginan untuk segera kembali menggerakkan pinggulku.

“Aku akan melakukan dengan cepat …” Bisik Imran kemudian, sembari menggoda lekuk leherku dengan ujung lidahnya yang menimbulkan getar kenikmatan yang membuat tubuhku meremang bahagia. “Bunda, siap?” Lanjutnya. Sembari menutup mata dan menahan setiap getar gairah yang kini menjalari tubuh, aku menganggukkan kepala.

Aku mulai mendesah hebat sementara Imran menyembunyikan wajahnya pada lekuk leherku dan menggeram di sana, hanya sesaat setelah Imran mulai menggerakkan tubuh lelakinya. Hanya sesaat ia bergerak pelan, setelah itu ia bergerak cepat memenuhi janjinya untuk membawa kami berdua dalam percintaan panas selanjutnya.

Suhu di dalam kamar tidur apartemen ini sontak langsung memanas oleh tubuh telanjang kami yang kini bergerak bersama, dengan gerakan-gerakan primitif. Desah penuh kenikmatan kembali memenuhi dalam ruangan, memenuhi gendang telinga kami, yang semakin lama, bergerak semakin cepat, seolah tidak ada lagi hari esok untuk kami berkedua.

Suara senggama kami yang becek semakin terdengar seiring dengan beradunya dua alat kelamin dalam tempo tinggi. Kami mereguk sepuasnya kenikmatan badani dan aku merasakan sangat bahagia. Aku semakin larut akan belaian dan haus akan hujaman kejantanan Imran yang cukup membuat kewanitaanku kecanduan.

“Aaaahhh… Sebentar laggiii… Aaaaahhhh, Bun… daaa…” Ucap Imran sambil mendesah keras.

Tubuhnya berkedut cepat. Semakin lama semakin tidak terkendali seolah-olah kenikmatan itu terasa seperti menelannya hidup-hidup. Aku hanya bisa menutup mata. Meremas seprai tempat tidur di bawahku, yang sudah terlihat berantakan sejak kami memulai malam panas kami, demi menyalurkan kenikmatan. Di belakangku, Imran menumbukkan tubuhnya dengan cepat, menghisap kencang lekuk leherku dan meremas gemas gundukan payudaraku.

Hingga tubuh kami berkedua terkulai lemah yang pada akhirnya kami menyudahi semuanya. Rasa lelah membuat kami memilih untuk mengistirahatkan diri di atas tempat tidur. Kami menatap langit-langit kamar sembari mengatur nafas dan mengirimkan pasokan oksigen sebanyak-banyak ke rongga dada kami, setelah bekerja keras yang harus dilakukan oleh paru-paru masing-masing.

“Sayang… Apakah kamu bahagia?” Tanyaku.

“Segala halnya hari ini, kemarin, dan seterusnya, bahagia semua. Bahkan dengan melihat bunda manyun terus beberapa hari terakhir ini, aku tetap bahagia. Ada apa memangnya, bunda?” Tanya Imran. Dia bergerak memelukku.

“Kamu punya segalanya… Apa yang kamu mau pasti terlaksana… Kamu bisa mencari kebahagiaan yang lebih daripada bersama bunda …” Jelasku seraya mengusap wajahnya.

“Kebahagiaanku adalah kalau bunda bahagia …” Ucapnya yang terkesan lugu dan polos.

“Bunda ini orang tidak baik, sayang… Sedang kamu orang terbaik di dunia… Bunda rasa, bunda adalah orang yang tidak pantas buat kamu… Kamu terlalu sempurna buat bunda …” Perkataan itu tidak aku buat-buat tapi memang keluar dari hatiku yang paling dalam.

“Bagiku, bunda adalah orang yang paling sempurna… Bunda jangan lagi bicara seperti itu.” Ucap Imran sedikit sendu.

“Baiklah… Tapi ada satu permintaan bunda.” Kataku sambil tersenyum.

“Apa itu, bun?” Tanyanya.

“Kamu jangan sakiti hati Nara… Bunda berharap kalian bisa bersatu membangun keluarga.” Kataku.

“Baik, bunda… Apapun yang bunda inginkan aku pasti akan melakukannya.” Jawabnya.

“Janji …”

“Ya, aku berjanji …”

Kami pun ngobrol-ngobrol kesana kemari. Tak terasa waktu hampir jam 22.00 malam. Aku harus segera pulang karena suamiku sudah beberapa kali meneleponku. Setelah membersihkan dan merapikan diri serta berdandan, aku pun segera pulang. Imran mengantarkan aku kembali ke rumah dengan mobilnya.

-----ooo-----

Singkat cerita, sudah lima bulan terhitung sejak ‘deklarasi’ tentang hubungan kami, hubungan gelapku dengan Imran berjalan mulus, bahkan aku hanya merasakan bahagia saja tidak ada sedih maupun kecewa. Imran memang sangat baik padaku, dia sangat menyayangiku, meski dalam hatiku masih terganjal ‘keraguan’ tentang hubungan gelap kami ini.

“Ya pasti lah, Ka… Pacarmu itu pasti akan berubah… Pasti kamu akan ditinggalin… Mungkin dia insyaf, bisa juga karena kamu semakin tua dan sudah tidak menarik dan masih banyak alasan lain kalau dia itu akan ninggalin kamu… Jadi, aku saranin supaya kamu tidak main hati sama dia… Kalau kata aku sih, gunain dia untuk kepentinganmu saja mumpung masih hot-hotnya…

“Aku gak tega, La… Sumpah, dia baik banget… Rasanya aku gak perlu ngegunain dia, lah dianya sendiri yang selalu ngasih sama aku tanpa diminta …” Jawabku lalu menyuap makanan ke dalam mulutku.

“Ka… Aku punya ide …” Sahut Mala.

“Apa itu?” Tanyaku penasaran.

“Kita bikin usaha… Modalnya minta dari pacarmu itu …” Ucap Mala pelan tapi begitu bersemangat.

“Bisnis apa, La… Aku kurang ngerti berbisnis …” Responku sambil mengernyitkan kening.

“Kita bikin agency model, gimana?” Ucap Mala seraya memegangi tanganku. Aku tahu kalau Mala dulu pernah mempunyai agency model tetapi gagal.

“Kamu yakin?” Tanyaku ragu.

“Emang, aku pernah gagal… Tapi itu karena faktor modal… Sekarang kita punya modal yang unlimited… Aku jamin akan berhasil …” Jelasnya.

Perbincanganku dengan Mala berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Awalnya aku menolak niatan dari sahabatku ini, tetapi Mala begitu gigih meminta, membujuk, memohon, bahkan meratap padaku. Lambat laun pemikiranku berubah dengan alasan bahwa aku bisa mandiri yaitu mempunyai penghasilan sendiri sehingga aku tidak perlu lagi menerima pemberian Imran untuk masa yang akan datang.

Tak perlu menunggu hari esok, aku pun mengutarakan niatanku ini pada Imran. Sudah bisa dipastikan, Imran menyetujuinya bahkan terlihat sangat antusias. Dia menanggung segala biaya untuk membangun usahaku ini. Beberapa hari berselang, aku dan Imran membeli dua buah ruko di kawasan Timur kota atas nama diriku.

Lokasinya sangat strategis dan luas halamannya. Beberapa hari kemudian, aku renovasi ruko itu sehingga representatif untuk dijadikan kantor agency. Tidak lebih dari dua minggu kantorku pun selesai direnovasi dan diisi oleh barang-barang keperluan kantor serta sebuah ruangan pemotretan lengkap dengan segala perangkatnya.

Mala yang mempunyai pengalaman tidak sukar untuk memperoleh_job_Pekerjaan pertama yang kami dapat adalah dari perusahaan pakaian pria. Sesi pemotretan pun dilakukan dengan model Alvin dan Pram. Mau tidak mau aku teringat kembali dengan ‘kehidupan liarku’ bersama kedua pemuda itu. Aku hanya tersenyum saat mengingatnya dan perlu kuakui bahwa itu sangat menyenangkan.

Hari pun berlalu sesuai alurnya yang tetap dan tidak berubah. Sadar tidak sadar, aku pun kembali dekat dengan Alvin dan Pram. Perlu dimaklumi, karena kami setiap hari selalu bertemu. Hari-hari selanjutnya kedekatan kami diwarnai dengan kelucuan dan kenakalan. Sekat-sekat semakin terkikis dan terpangkas hingga tak jarang kami saling berpelukan, kami tidak merasa risih atas tatapan orang yang melihat keakraban kami di kantor.

Kuakui kalau Alvin dan Pram pandai merayuku. Bodohnya aku terbuai dengan rayuan gombal dari mulut manis mereka. Walau berkesan bercanda namun cukup mampu ‘memporak-porandakan’ hatiku. Belum lagi sentuhan-sentuhan nakal mereka di setiap sesinya begitu indah, ciptakan gemuruh hingga darahku mendidih. Tanpa bisa aku lawan akhirnya aku jatuh pada obsesiku sendiri.

Walau aku mencintai Imran dan masih bersemangat untuk ‘melayaninya’, namun keinginan untuk bersama Alvin dan Pram semakin menjadi-jadi. Entahlah, setan apa yang sedang bersemayam di dalam diriku ini tapi yang jelas aku telah berniat untuk menjalani semua yang ada di dalam benakku. Jahat ya memang jahat namun kejahatanku baru terwujud jika ada orang yang merasa tersakiti.

-----ooo-----

Suatu saat Mala mengajakku untuk melakukan pemotretan di sebuah kota yang terkenal dengan kesejukannya. Pemandangan alam yang indah merupakan tema yang akan dibuat Mala untuk sebuah iklan media cetak. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini karena Alvin dan Pram merupakan model yang akan menjadi pemeran utama dalam iklan tersebut.

Kami pergi ke Kota L dengan menggunakan travel. Selain Alvin dan Pram ada dua lagi model wanita dan tentunya Mala serta kameramen ikut bersama dalam perjalanan ini. Kurang lebih empat jam, akhirnya kami sampai di Kota L yang berhawa sejuk. Kami segera memesan hotel yang bisa dibilang cukup mahal. Maklum, semua sudah diatur oleh Mala.

Bagaimana angin sepoi-sepoi masuk tanpa permisi mengisi sejuknya ruangan ini, menambah rasa betahku terhadap kamar yang aku tempati ini. Kubuka koper lalu mengeluarkan alat mandi dan handuk kimonoku. Beberapa saat, aku telepon suamiku dan Alvin hanya sekedar mengabarkan kalau aku sudah sampai di tempat tujuan.

Kuhidupkan shower dan membasuhi tubuhku dengan air yang terasa dingin. Keletihanku hilang digantikan rasa segar yang memenuhi seluruh tubuh. Kusabuni tubuhku dengan sabun cair, kugosok rata seluruh bagian tubuhku yang ramping dan seksi ini (Bukan GR lho! Kuusap dan kugosok dengan sabun cair tadi dengan rata, kujongkokkan sedikit tubuhku dan kuangkat sebelah kakiku bergantian dan kukangkangkan di atas bibir bathtub agar memudahkan tanganku menggosok dan membersihkan lipatan selangkanganku. Tanganku yang satu lagi menggosok tubuhku bagian lain, kuelus-elus buah dadaku dengan lembut hingga terus terang menimbulkan rangsangan tersendiri bagiku. Libidoku tiba-tiba datang dan hasratku jadi memuncak, rasanya aku ingin berlama-lama menyabuni tubuhku, mataku yang lentik pun mulai sayu merem melek merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri hingga tanpa kusadari jariku kumasukkan ke dalam bibir vaginaku.

“Bunda… Bunda …!” Tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari luar kamar mandi. Aku tiba-tiba tersenyum saat aku mengetahui siapa yang memanggilku.

“Bunda lagi mandi… Tunggu sebentar …!” Kataku pada Pram.

“Aih… Bareng dong bunda …” Canda nakal suara Alvin di sana. Karuan saja aku ingin segera menyelesaikan mandiku dan ingin segera menggoda kedua pemuda itu.

“Tunggu sebentar… Ini mau selesai …” Teriakku.

Selesai mandi, kukeringkan badanku dengan handuk yang disediakan hotel dan kukenakan kimonoku. Bentuk kimonoku ini cukup pendek ukurannya. Ujung bawahnya kurang lebih hanya sejengkal saja dari pangkal pahaku, kalau aku membungkuk pasti belahan pantatku akan tersembul keluar, demikian pula bila aku duduk saat mengenakan kimono ini pasti onggokan daging di pangkal pahaku juga akan mudah terlihat, karena memang kimono yang kukenakan ini bukan untuk digunakan di luar, fungsinya hanya bisa digunakan di kamar setelah selesai mandi agar tidak kedinginan saja.

Aku keluar dari kamar mandi yang langsung disambut oleh tatapan gairan dari kedua pemuda itu. Mereka sedang duduk di atas sofa. Aku duduk di pinggiran ranjang yang sengaja memperlihatkan onggokan daging di pangkal pahaku sambil melihat kedua laki laki itu yang tersetrum gairah oleh tingkah lakuku.

“Wuh… Panas… Panas …” Celoteh Pram sambil mengipas-ngipaskan tangannya namun tetap matanya itu tertuju pada selangkanganku.

“Kalau panas… buka dong bajunya …” Kataku tanpa malu sedikit pun.

Keduanya serempak berdiri dari duduknya namun Alvin berjalan menuju pintu kamar hotel dan kudengar bunyi kunci pintu. Tak seberapa lama, pakaian mereka sudah tak lagi melekat, menyisakan dua tubuh telanjang lelaki yang tampan-tampan. Tanpa ragu kedua lelaki tersebut mendatangiku dan duduk mengapitku.

“Aku merindukan ini bunda …” Desah Alvin sambil mulai menyusupkan tangannya ke balik kimonoku. Buah dadaku diremasnya lembut.

“Ya bunda… Aku sudah lama ingin ngentotin bunda lagi …” Giliran Pram berkata mendesah dengan kata-kata kasarnya yang khas. Sementara tangannya sudah mengusap-usap pahaku.

“Ya… Sejak saat ini kita bisa begini lagi… Tapi ada syaratnya… Jangan sampai pacar bunda tau …” Kataku mengajukan persyaratan. Aku berkata demikian karena sesungguhnya Alvin dan Pram mengetahui kalau Imran adalah pacar gelapku.

“Ya bunda… Ooohhh …” Sahut Pram langsung melenguh.

Aku hanya tersenyum mendengar lenguhan Pram. Bibir dan lidah Alvin sudah menempel asik mempermainkan kedua putingku setelah melepaskan tali kimonoku dan melepaskan kimono itu dari tubuhku. Tiba-tiba Pram mengelus-elus punggungku dengan elusan menggoda sambil menciumi tengkuk. Aku menggeliat geli diciumi dari depan dan belakang.

“Sssshh… ikh kalian nakal deh…” Desahku sambil pegangan pada benda yang sudah sangat tegang di selangkangan mereka.

Tak tahan dipermainkan kedua laki laki tanpa bisa berbuat banyak, aku pun turun dari pinggir tempat tidur dan jongkok di depan mereka. Alvin mendekatkan kejantanannya ke mukaku, dua penis ada digenggamanku. Kusapukan penis Alvin ke wajahku lalu kujilati sekujur batang hingga ujung bahkan kantong bolanya.

Alvin mulai mendesis, dan bertambah keras desisannya saat penisnya memasuki mulutku dan langsung keluar masuk dengan cepatnya. Dipegangnya kepalaku dan dikocoknya mulutku seperti memompa ban sepeda. Meski agak susah karena penisnya cukup besar, kucoba mempermainkan lidah saat penis itu berada di dalam sekalian menyedotnya, desahan bercampur celoteh semakin keras.

Dua penis yang menegang sempurna telah terpampang jelas begitu dekat di wajahku. Aku hentikan kulumanku pada Alvin, kukocok kedua penis yang ada di kedua tanganku. Mempermainkan dua penis sekaligus seperti ini begitu

exciting, meski bukan pertama kali aku melakukan, tapi ini adalah rencanaku untuk main bertiga hingga sensasinya begitu berbeda. Aku merasa bak ratu yang sedang dilayani kedua pelayannya.

Bergantian aku mengulum penis Alvin dan Pram, sesekali kedua penis itu bersentuhan di bibirku, bahkan sengaja aku adu kepalanya. Perbedaan ukuran diameter kedua penis itu menambah sensasi tersendiri bagiku, baik saat kuremas maupun saat memasuki mulutku, pasti akan bertambah ketika bergantian memasuki vaginaku, pikirku.

Beberapa menit aku melakukan oral pada mereka, kini giliranku untuk menjadi_the real queen_Tanpa melepas kedua penis dari genggamanku, aku berdiri diantara mereka, Pram segera meraih kepalaku dan mencium bibirku, kami saling melumat dan bermain lidah. Aku sudahi ciuman itu lalu aku rebah pasrah di atas ranjang menunggu mereka bersamaan menggumuliku. Suatu sensasi yang luar biasa dicumbu dua laki-laki bersamaan.

Pram kambali menciumi bibirku, menyusuri pipi dan leher dan berhenti di kedua buah dadaku, sementara Alvin mendapat bagian pada paha dan vaginaku. Namun saat Pram mengulum putingku, Alvin bergeser naik dan mengulum puting satunya, aku menjerit kaget dan nikmat mendapat kuluman pada kedua putingku bersamaan.

Meski ini bukan pertama kali, tapi entahlah, kenikmatan selalu berbeda pada setiap event, kuremas remas kedua kepala yang ada di dadaku sambil mendesah lepas. Dan desahanku semakin tak terkendali ketika kedua tangan mereka bersamaan ikut bermain di daerah vagina, antara bermain di klitoris dan mengocok dengan jari tangan, aku benar benar serasa melayang, hanya geliat dan desah napas panjang yang bisa kulakukan.

Kembali mereka berbagi tugas, Pram mengulum kedua putingku bergantian, tak dipedulikannya sisa ludah temannya yang masih basah di putingku. Sementara Alvin dengan lincahnya menyapukan lidah dan bibirnya di vaginaku. Untuk kesekian kalinya aku menggeliat dan menjerit nikmat diperlakukan begitu bernafsu oleh kedua pemuda ini, sulit untuk dibayangkan kenikmatannya ketika dua lidah secara bersamaan menari-nari di puting dan vagina.

“Bro… Gue duluan ya …” Ucap Alvin yang terlihat memerah mukanya.

“No problem …” Jawab Pram santai.

Bersamaan dengan itu, Alvin sudah menggeser posisinya bersiap memulai babak pendahuluan. Aku hanya pasrah mengikuti permainan mereka sambil membayangkan penis Alvin itu segera memenuhi vaginaku. Alvin meminta temannya untuk bergeser ke samping. Kemudian Alvin menindih tubuhku, kami berciuman sambil menyapukan penisnya itu ke bibir vaginaku.

Kubuka kakiku selebar mungkin saat dia memulai gerakan mengocoknya, hanya beberapa kali kocokan pelan setelah itu berubah menjadi cepat dan keras sambil ditekankan ke pinggulku. Aku mendesah semakin keras, sesekali kulirik Pram yang nonton kami sambil memegangi kejantanannya, terlihat agak kecil tetapi lebih panjang dibanding penis yang sedang berada di vaginaku.

Kocokan Alvin semakin liar, aku tak sempat lagi memperhatikan Pram. Sorot mata Alvin begitu menyala penuh nafsu, tubuhnya menindihku, semakin rapat aku dalam dekapannya, seolah tubuh telanjang kami menyatu dalam ikatan emosi yang sama, saling memberi kenikmatan. Meski terasa begitu nikmat, aku tak mau orgasme duluan, perjalanan masih sangatlah panjang, apalagi masih ada penis lain yang menunggu, tentu cukup memalukan apabila minta istirahat hanya pada putaran pertama.

Mau tak mau, kocokan nikmat dari Alvin membawaku perlahan mendaki puncak kenikmatan, meski aku berusaha menahannya lebih lama. Sebelum terlanjur terlalu jauh, aku mengambil inisiatif, kudorong tubuh Alvin menjauh hingga dia rebah telentang, kunaiki tubuhnya, dengan posisi di atas aku bisa pegang kendali permainan.

Sambil tetap bergoyang dan mendesah, kupanggil Pram mendekat, sudah saatnya dia gabung, sudah cukup Alvin sendirian menikmatiku. Pram berdiri mendekatiku, kuminta dia berdiri di depanku. Pram berdiri di atas ranjang, kuraih penisnya dan kumasukkan ke mulutku. Dua penis mengisi lubang tubuhku bersamaan, atas dan bawah.

Mulanya agak kerepotan juga aku mengatur gerakanku meng-_handle_dua penis sekaligus, apalagi kedua penis itu bergerak cukup liar di lubangnya masing-masing. Perlahan aku bisa menguasai gejolak emosi dan gerakanku. Aku mulai bisa mengimbangi kocokan-kocokan itu, bahkan aku semakin berani aktif bergoyang pantat dan kepala. Kami semua saling bergoyang dengan irama permainan yang sama, tiga gerakan berpadu menjadi suatu sensasi dan kenikmatan yang sangat tinggi.

“Gantian …” Pinta Alvin setelah kami bertiga bercinta lebih dari 10 menit.

Pram memintaku dogie. Aku merasa ada yang kurang ketika penis Pram memasuki liang vaginaku, begitu beda dengan penis Alvin yang gede. Pergantian penis yang begitu cepat, hanya dalam hitungan detik, tentu belum bisa membuat vaginaku berkontraksi menyesuaikan besarnya penis Pram, serasa begitu longgar saat dia mulai mengocok, aku yakin dia juga merasakan hal yang sama, tapi aku tak berani menanyakannya.

Alvin mengambil posisi di depanku, bersandar pada sandaran ranjang, penis menantang tegak di hadapanku, siap mengisi mulutku. Dari belakang Pram sudah mulai mengocok dengan tempo tinggi, menyodokku dengan keras hingga sesekali penis Alvin terlempar keluar. Pram tak mau kalah, dipegangnya pinggulku dan ditekankan lebih dalam ke selangkangannya, aku benar-benar dalam tekanan kuat dari dua pemuda itu, namun semakin nikmat rasanya.

Cukup lama kami bercinta dengan posisi dogie seperti ini. Kuperkirakan sudah lebih 15 menit kami memacu adrenalin. Pram tak mau menuruti ketika Alvin minta bertukar posisi, “Tanggung” katanya tanpa menurunkan temponya. Dan benar saja, hanya berselang dua menit kemudian kurasakan penisnya membesar disusul denyutan kuat melanda dinding-dinding vaginaku.

Alvin bergeser ke belakangku, hanya sedetik setelah penis Pram dicabut keluar, liang vaginaku sudah kembali terisi penis Alvin yang besar itu, terasa perbedaan yang sangat menyolok dan serasa begitu penuh. Aku mendesah terkaget akan perbedaan yang begitu mendadak. Pram yang sudah kehabisan napas menyodorkan penisnya ke mukaku.

Penis Alvin sangat kuat dan keras menghunjam vaginaku, ditariknya rambutku ke belakang hingga penis temannya tercabut dari mulutku. Seperti menunggang kuda betina, dia mempermainkan gerakannya sambil meremas-remas buah dadaku yang menggantung berayun bebas.

Beberapa menit berlalu, mungkin total sudah lebih 40 menit kami bercinta bertiga, tapi tak tanda tanda puncak kenikmatan dari Alvin, apalagi Alvin pintar mengatur irama permainan, seringkali dia menghentikan gerakannya menahan supaya tidak orgasme. Perlu kuakui kalau Alvin lebih pintar daripada Pram dalam hal bersenggama.

Aku yang lelah menungging akhirnya terlentang. Kini Pram sudah ‘menunggangiku’. Aku merasakan panjangnya penis Pram. Begitu penis itu sudah masuk semua di dalam lubang kenikmatanku aku merasakan nikmat yang luar biasa. Penis itu begitu keras dan panjang, sampai-sampai menyentuh rahimku. Kemudian penis itu mulai digenjot perlahan-lahan sampai aku mengerang-ngerang menahan nikmat yang aku rasakan.

Remasan-remasan di bongkahan buah dadaku juga menyebabkan aku jadi lebih nikmat. Kurang lebih sepuluh menit berselang, Pram mencabut penisnya dari vaginaku. Kini Alvin yang menggantikan posisi Pram. Hujaman penisnya di vaginaku menimbulkan suara becek yang begitu merdu, aku sangat senang mendengarnya.

Begitulah, secara bergantian mereka ‘menggagahiku’. Entah sudah berapa kali mereka bergantian. Aku sudah tak mampu lagi berhitung karena nikmatnya aktivitas ini. Sedangkan aku sendiri yang disetubuhi dua orang bersamaan dan bergantian secara terus-menerus, tak dapat disangkal lagi, berulang kali kuraih ‘orgasme kecil’, meskipun puncak dari kenikmatan itu belum juga kuraih, karena sengaja.

Namun demikian, pertahananku tak bisa bertahan lebih lama lagi. Akhirnya tanpa bisa dicegah meledaklah segala emosi dan gairah yang terpendam. Aku menjerit histeris hampir menggigit penis Pram yang ada di mulutku kalau tidak segera kukeluarkan. Kubenamkan wajahku di selangkangan Pram saat vaginaku berdenyut hebat merasakan orgasme yang tertahan sedari tadi.

Mengetahui aku sedang orgasme, Alvin justru semakin mempercepat gerakannya. Aku semakin teriak histeris tetapi dia tidak peduli, dihentakkannya tubuhnya lebih keras ke arah tubuhku, tak tahu lagi rasanya antara nikmat dan geli. Kenikmatan ini sungguh dahsyat dan luar biasa. Kucengkeram lengan Pram kuat-kuat.

Tubuhku langsung melemas seiring hilangnya denyutan di vaginaku, tapi Alvin masih tetap mengocokku dan itu masih berlangsung beberapa menit kemudian sebelum dia menyusulku menggapai puncak kenikmatan. Denyutan penisnya begitu kuat menghantam dinding-dinding vaginaku membuat aku kembali menjerit. Inilah salah satu kenikmatan bercinta saat merasakan penis di vagina membesar dan berdenyut, apalagi bila disusul dengan semburan hangatnya sperma membasahi vagina.

Alvin mencabut penisnya. Aku terkapar telentang diantara kedua pemuda yang telah menyetubuhiku berbarengan. Tak kusangka Pram yang sudah_recovery_kembali bersiap menindihku. Vaginaku masih terasa tebal dan panas karena kocokan Alvin tapi aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa menangani kedua pemuda ini, timbul egoku untuk merasa lebih hebat dari mereka.

Kubuka kakiku bersiap menerima penis Pram, dia mengganjal pantatku dengan bantal hingga menantang ke atas dan dengan sekali sodok masuklah penis itu ke vagina. Dua penis bergantian mengisi vaginaku dalam hitungan detik, terasa sekali perbedaannya, baik rasa, ukuran dan irama kocokannya, mungkin kalau mataku ditutup aku bisa membedakan siapa yang sedang menyetubuhiku.

Alvin masih telentang dengan napas menderu sambil tangannya meremas erat tanganku ketika temannya mulai mengocokku dengan cepatnya. Seperti sebelumnya Pram tidak bisa terlalu lama bertahan, tak sampai tujuh menit kemudian dia sudah menggapai puncak kenikmatannya mungkin sensasinya terlalu berlebihan hingga dia begitu cepat menyudahi permainan.

Kami sama-sama telentang dengan napas dan degup jantung yang berdetak kencang, tubuh telanjangku dijepit kedua tubuh telanjang mereka. Ini sangat nikmat, bahkan aku sulit berfikir jernih karenanya. Bercinta bertiga telanjur membuatku ketagihan dan mengubah otak merasa selalu butuh. Bukan tanpa alasan, bercinta bertiga ternyata dapat membuatku ketagihan secara disadari atau pun tidak.

“Tante hebat dan menggairahkan …” Kata Alvin memecah keheningan. Aku diam saja, napasku belum normal dan vaginaku masih terasa berdenyut panas karena gesekan kedua penis mereka.

“Sepertinya dua orang nggak berat, mungkin perlu tambah orang lagi nih …” Canda Pram.

“Kalian edan… Dua aja udah ngos-ngosan… Nih liat, memek bunda masih panas.” Potongku sambil mencubit hidung Pram.

“Tapi mau kan?” Desak Pram.

Aku hanya tersipu malu. Entah karena masih terbawa suasana yang begitu liar atau karena aku memang ingin mencoba ‘something new’ atau perlu petualangan baru yang tak umum atau memang aku menikmati dikeroyok rame-rame seperti ini atau juga karena tingginya sensasi yang kudapatkan saat penis-penis yang berbeda bergantian mengisi vaginaku. Sebenarnya aku tidak menolak kalau tambah seorang lagi, tapi tentu saja aku malu mengatakannya.

“Apa itu berarti iya, bunda?” Teriak Pram dari luar kamar mandi.

“Tau ah …!” Teriakku sambil meneruskan mandiku.

-----ooo-----

Aku menatap keluar jendela hotel, langit biru kini telah ditutupi awan yang hitam lebat. Sebentar lagi mungkin akan hujan deras. Aku sudah sangat lama menunggu Alvin dan Pram yang sedang melakukan sesi pemotretan. Merasa jenuh di kamar hotel sendirian seperti ini, aku pun akhirnya keluar dari kamar untuk sekedar mencari suasana baru.

DEEUUGG!!!

Jantungku seperti mau copot saat melihat sorot matanya. Hatiku seakan diremas dan wajahku seakan ditampar dengan keras saat seorang laki-laki berjalan sedikit tergesa-gesa sedang menghampiriku. Ini benar-benar kejadian yang sangat tidak aku harapkan. Aku ingin sekali menghindar tetapi kakiku terasa kaku tak bisa digerakkan.

“Mbak… Mbak Eka …” Laki-laki itu menyapaku dengan raut wajah yang terkejut.

“Fer… Ferdy …” Kataku sangat pelan.

“Akhirnya aku bisa menemuimu, Mbak …” Katanya sambil melangkah satu langkah mendekatiku. Namun aku mundur satu langkah ke belakang. Aku pasang muka tidak bersahabat padanya. “Kenapa, mbak?” Lanjutnya keheranan.

Aku berlalu dari hadapannya. Aku lewati tubuhnya tanpa bersuara apa pun. Hatiku marah, kesal, berkecamuk ingin berteriak dan menyalahkannya. “Kenapa aku harus bertemu lagi dengan dia?” Makiku dalam hati. Aku percepat langkahku menuju pintu keluar. Aku bahkan tidak memperdulikan nafasku yang terengah-engah. Hal yang aku inginkan adalah segera menjauh dan meninggalkan Ferdy.

Bersambung

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu