1 November 2020
Penulis —  farhad_abbash

Saya Seorang Dukun

sekedar merelease ulang kisah lawas yang hangat… cukup untuk menghangatkan perkakas ki sanak sekalian

Saya Seorang Dukun

Pernah berpikir untuk jadi dukun? Sejak kecil saya tidak membayangkan punya niat menggeluti profesi yang rentan dengan dosa itu. Jadi kalau mendadak saya mandah dianggap dukun, pasti ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi dengan diri saya. Sesuatu yang hebat, sekaligus… Nah begini ceritanya…

Saya punya tetangga, sepasang suami istri yang kelihatan hidup cukup bahagia. Punya rumah lumayan besar dan dua pembantu. Tapi ada yang kurang dengan suami istri bernama Irawan dan Retno itu. Seorang anak. Padahal, mereka bilang dengan saya sudah menikah lebih dari 15 tahun. Usia keduanya, sekitar 36 tahun.

Cukup berumur. Tapi lantaran tidak punya anak, Retno sang istri yang berwajah manis dan bertubuh sintal itu, tetap saja menarik. Bahkan sangat menarik, sehingga bagi saya yang masih lajang meski sudah 30 tahun ini, wanita itu punya magnet sensasi yang kadang menggetarkan. Aura sensual yang merangsang.

Perasaan ini timbul sesudah kami mengobrol bertiga. Sang istri yang berlesung pipit itu, kadang tertawa dengan nada suara yang entah bagaimana, membuat saudara saya yang di dalam celana ini berdenyut-denyut. Sialan betul. Kok itu malah tidak terjadi ketika pacar saya kadang memegang anu saya jika boncengan sepeda motor.

Eh ternyata dimasa remajanya, wanita ini memang suka pentas.

Saya tadi sudah bilang, sejak kecil apalagi sekarang, amit-amit, saya tidak pernah terpikir untuk jadi dukun. Namun lucunya, mungkin karena sedang bersiasat untuk diam-diam kadang mencari cara menyanjung Mbak Retno, yang jujur saja memang saya kagumi, saya sering membuat semacam ramalan plus pemikiran-pemikiran yang cendrung futuristik mengenai tetangga saya ini.

Misalnya, saya katakan bahwa bentuk jari Mbak Retno menggambarkan dia sebagai wanita yang mudah tersinggung, ekslusif, punya kemauan keras, tetapi gampang terseok oleh orang-orang yang bermulut manis. Dia akan hidup bahagia jika menggeluti bisnis mode atau busana. Sedang suaminya yang punya tahi lalat di leher, serta di punggung tangan kanan, saya katakan tidak cocok bekerja di bidang percetakan dan sering merasa dirinya menyimpan banyak penyakit.

Lha hebatnya (asbun saya itu), ternyata mengena di hati keduanya. Setidaknya, begitu awalnya yang saya ketahui. Sampai kemudian saya sadar, itu boleh jadi bagian dari strategi yang mungkin juga disusun pasangan yang sangat menyukai saya, karena mereka anggap menarik dan humoris ini.

Suatu sore, Mas Irawan bicara serius dengan saya. Entah dapat bisikan dari mana, Si Suami yang sebenarnya ganteng tapi suka ketawa cekikikan seperti Leak ini, menyampaikan sesuatu yang akhirnya membuat jantung saya kontan bagai diguncang gempa.

“Dik Boby… jangan tersinggung ya.. kalau Saya punya keyakinan, bahwa Adik ini punya kemampuan supernatural tersembunyi. Soalnya, apa yang Adik katakan tentang Saya maupun Dik Retno selalu saja tepat. Dan menurut Istri saya, Dik Boby memiliki pengaruh tersembunyi yang sangat kuat.

Dik Boby ini punya kemampuan sebagai Dukun…?”

“Dukun..? Ya Tuhan..! Mas Irawan jangan main-main..” kata saya dengan terbelalak.

“Adik jangan pura-pura tidak tahu. Terus terang saja, Saya dan Istri saya perlu bantuan Adik. Khususnya Istri saya Ini, untuk masalah yang sedang dihadapi Istri saya sekarang. Kami sudah ke dokter tapi masih tetap juga gagal untuk memperoleh anak. Saya pikir dukun mungkin salah satu alternatif ketimbang tidak mengusahakan apa-apa.

Perkataan ini, sejenak menghentikan niat saya untuk mati-matian menyangkal dugaan konyolnya itu. Hubungan antara kata-kata dukun dengan istrinya itu, secara reflek membangkitkan pikiran kotor saya yang menarik, sangat menarik, sekaligus menggairahkan.

“Maaf Dik Boby… Saya dan Dik Retno, entah bagaimana, sekarang ini punya keyakinan, jika Adik mau memandikan Istri saya, maka Kami kemungkinan akan memperoleh sebuah harapan baru. Ini agak konyol dan mungkin tidak nalar untuk orang-orang sekelas Kita. Tapi pada saat Kita dihadapkan kepada jalan buntu, kadang Kita juga dituntut untuk memikirkan cara lain yang agak aneh agar bisa menemukan jalan lain yang sangat Kita butuhkan.

Rasanya itu tetap tidak nyambung. Tapi memandikan istrinya yang sintal itu, wow… Ini membuat jantung saya mendadak bagai diguncang gempa berskala tinggi.

“Maksud Mas Irawan… Saya harus memandikan Mbak Retno..?”

“Kau memang malu jika ada Aku, Tidak. Tidak begitu. Kau nanti hanya berduaan dengan Dik Retno. Tak usah sungkan, Kita sudah seperti bersaudara. Dik Retno juga sudah setuju. Yang penting, keinginan Kami ini bisa Dik penuhi. Kami sangat berharap. Percayalah, Kita harus bisa saling membantu karena Dik Boby, Saya anggap sudah seperti saudara sendiri.

Yah setelah berbasa-basi, bersilat lidah, dan saya bersikap sok alim, akhirnya rencana bodoh-bodoh pintar alias konyol dan seperti tidak masuk akal ini, disepakati akan dilaksanakan pada malam Minggu nanti. Saya akan memandikan Retno Cyntia Arumdaning yang sintal menggairahkan itu di dalam kamar mandi, tanpa kehadiran suaminya.

Agar saya tidak kelihatan konyol, karena datang ke rumah suami istri itu dengan celana yang menyiratkan penghuninya lagi bangun secara kurang ajar, maka saya sengaja memakai celana dalam agak ketat. Sehingga kalau Saudara Kecil saya ini nanti terus saja berdiri, maka dari luar, tetap akan tampak seperti tidak ada masalah apa-apa.

Mas Irawan kemudian menyuruh saya dan Mbak Retno yang kelihatan sangat malu, dan gugup, bahkan agak gemetar, masuk ke dalam kamar mandi. Sedang Irawan sendiri, mengatakan akan menunggu di kamar tamu.

“Atau nanti Saya akan keluar sebentar untuk cari makanan kecil…” ujarnya dengan wajah sungguh-sungguh.

Saya mencoba berbasa-basi dengan memaksanya ikut masuk ke dalam. Tapi lelaki itu secara tegas menolak. Jantung saya benar-benar berdebar-debar kencang dan penis saya sakit, karena seperti dipaksa tetap berada di dalam sebatang koteka, padahal dia lagi mekar-mekarnya.

“Tapi Saya memandikan Mbak Retno tetap masih harus dengan pakaian kan..?” tanya saya berpura-pura menolak jika wanita ini telanjang, padahal otak kurang ajar saya bertentangan dengan itu.

“Saya pakai sarung..” kata wanita manis yang sepasang buah dada montoknya terkadang saya hayalkan sambil bermasturbasi ria itu, mewakili suaminya menjawab.

Saya memandangnya sambil tersenyum.

Setelah kami masuk ke dalam kamar mandi, Irawan menutup pintu itu dari luar.

“Saya percaya dengan Dik Boby, Saya sudah anggap Adik seperti saudara sendiri. Sekarang Saya mau ke pasar, beli makanan kecil untuk nanti. Kira-kira satu jam mungkin…” katanya.

“Bah gila betul orang itu. Ini nantinya bakal jadi apa…? Konyol betul saudara saya yang satu itu.” batinku.

“Apa Saya memandikan Mbak dengan pakaian begini…?” tanya saya kepada Mbak Retno yang terlihat terus berusaha menghindari tatapan saya karena malu.

“Terserah Mas saja. Tapi apa nanti tidak basah..?”

“Oh betul juga…” kata saya sambil membuka baju dan celana panjang saya dengan nafas sesak serta tubuh bagai meriang panas karena nafsu yang meradang naik.

Untungnya, Mbak Retno memilih membelakangi saya, sehingga tidak melihat betapa bagian depan celana dalam ketat saya seperti menyembunyikan sebuah senter. Wanita sintal itu kemudian duduk di atas sebuah bangku kecil yang tampaknya memang sudah disediakan di dalam WC yang cukup luas dan mewah itu. Mbak Retno hanya mengenakan sarung yang dikenakan dari atas payudaranya yang montok.

“Maaf kalau Saya agak gugup, Mbak…?” kata saya dengan suara rada gemetar.

Mbak Retno mengangguk. Posisi duduknya, saya arahkan menghadap ke kaca besar di depan.

“Saya minta Mbak memejamkan mata dan menghayati proses ini, sambil berdoa semoga apa yang Mbak inginkian tercapai…!” tambah saya sambil mengambil gayung di samping bak dan mulai menyiram tubuh sintal itu.

Baru sekarang saya bisa menyaksikannya secara dekat. Bau harum tubuhnya yang merangsang, membuat badan saya semakin panas dingin. Siraman demi siraman saya lakukan, sehingga sekujur tubuh yang menggairahkan itu benar-benar basah kuyup. Lalu saya mulai mengusap-usap bahunya. Sentuhan tangan saya kelihatannya membuat Mbak Retno agak tersentak.

Dia kemudian menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa, ketika saya minta maaf. Matanya terus dipejamkan, sehingga saya bisa meyaksikan kondisinya yang luar biasa menggairahkan. Saya lupa, apakah mengusap dan memijat tubuh sintal ini juga menjadi kesepakatan saya dengan Mas Irawan. Yang pasti, saya melakukannya.

Entah berapa menit, sampai kemudian sarung wanita itu terlepas. Mbak Retno menutupi kedua buah dadanya yang montok itu, namun kemudian dia melengguh saat tangan saya menyelusup dari belakang menggantikan tangan itu. Tubuhnya bergetar. Saya tidak tahu, bagaimana persisnya perasaan wanita ini. Dan saya juga lupa memperhitungkan, apakah ada kemungkinannya dia menjerit memanggil suaminya, jika ulah saya berlanjut semakin gila.

Bersambung…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu