1 November 2020
Penulis —  Pecah Utak

Romansa Jepara

Aku seorang wirausaha muda yang tertipu habis-habisan oleh mafia importir dari Malaysia.

Usaha furniture rotan sintetisku yang baru mulai berkembang terjebak kredit macet bank.. akibat.. raibnya 5 container full produk eksport di negri tetangga.

Ibu Murni.. wanita baik hati itu orang yang telah memberiku kesempatan untuk bangkit dari kebangkrutan. Bu Murni dan suaminya pemilik show room furniture besar di kota Jepara.. membantuku dengan suntikan modal.. membangun ulang usaha rintisanku.

Sudah 3 tahun kerjasama bisnis kami berjalan baik.

Tapi aku malah terbawa situasi dan tidak mampu mengontrol diri.

Namaku Hardi.. usia 25 tahun. Masih lajang.

Aku tumbuh dan besar dari sebuah yayasan yatim piatu.. setelah kedua orang tuaku wafat 20 tahun yang lalu.

Aku seorang yang energik.. supel.. dan cerdas.

Semua syarat untuk menjadi entreprenuer sukses ada pada diriku.

Hanya aku memiliki kelemahan soal mengelola syahwat dan fantasiku menyimpang.

Aku menyukai wanita setengah baya. Dan.. Bu Murni memenuhi semua ciri-ciri wanita idamanku.

Jujur saja.. pertamakali mengenal dan menjalin hubungan bisnis aku telah tergoda dengan

penampilanya.

Bu Murni wanita paruh baya berumur 45 tahun.

Tubuhnya tinggi sekitar 170cm dan besar.. lekuk tubuhnya sangat menarik.

Pinggangnya ramping untuk ukuran badannya yang besar.

Pinggulnya yang lebar dan padat meliuk dihiasi oleh bongkahan pantatnya yang bulat membusung.

Kesimpulannya.. keseksian tubuh Bu Murni bagaikan spanish guitar versi large.

Beliau menggunakan kaca mata dan wajahnya masih terlihat cantik.

Lehernya jenjang memanjang dengan rambutnya yang curly tergerai sebahu.. kulitnya putih bening.

Jika beliau mengenakan pakaian yang menjadi favoritku.. gaun bahan kaos merah dan rok abu-abu pas setinggi lutut.. menunjukkan pahanya yang panjang dan besar.. serta betisnya yang indah itu jantungku berdetak kencang.

Sudah terlalu banyak poto dan video tentang penampilan dirinya yang aku ambil secara diam-diam dengan blackberry tersimpan di dalam notebook di meja kerjaku.

Setiapkali selesai memperhatikan seluruh gambar dan video-video itu perasaanku makin menggila.

Sebenarnya pola pikir.. mental dan aktifitasku sehat. Keseharianku disibukkan oleh usaha

mengembangkan bisnis.. menjalankan strategi marketing yang cerdas dan efektif dan membangun

network.

Tidak jarang aku bertemu dengan wanita-wanita cantik yang kebetulan aku jumpai dalam perjalanan dan proses bisnis.. tapi mereka luput dari perhatian.

Setiapkali aku menjumpai Bu Murni di show roomnya atau ketika dia mengunjungi pabriku perhatianku bercabang.

Suami beliau seorang perfeksionis yang terkadang membuatku tidak nyaman.

Dia memiliki semua karakter pecundang yang sangat aku benci.

Usaha mereka ini sebenarnya totally dibesarkan dan hasil warisan dari suami Bu Murni yang pertama yang telah wafat.

Pak Jono.. seorang penderita diabetes akut dan tergantung oleh suntikan insulin.

Dari pernikahan yang kedua ini.. 15 tahun yang lalu.. Bu Murni tidak memperoleh anak.

Mbak Shinta.. anak perempuanya yang telah menikah dan memberikanya seorang cucu laki-laki berumur 5 tahun adalah anak dari suaminya terdahulu.

Mungkin karena aku cemburu.. atau memang karakter Pak Jono yang membuatku tidak nyaman.. tanpa merasa bersalah aku membiarkan diriku terjebak dalam fantasi tidak senonoh terhadap istrinya.

Lalu aku mengenal mbak Nonik.

Penjaja Jamu gendong asal Solo yang mulai rutin menjadi langganan pegawai-pegawaiku dipabrik semenjak 2 bulan yang lalu.

Well.. sebenarnya aku tidak suka minum jamu.. tapi aku concern dengan penampilan mbak Nonik.

Wanita berumur 35 tahun ini berpostur tinggi besar.. lemu.. sekilas mirip postur Ibu Murni.. tapi wanita ini lebih tinggi.. gemuk dan kulitnya agak gelap.

Wajahnya biasa saja.. hidung pesek.. pipi chubby.. rambut tidak terlalu terawat..

Secara keseluruhan parasnya memang tidak terlalu jelek.. hanya ndeso.

Tentu saja dia selalu mengenakan pakaian kebaya berikut kain selendang dan bawahan batik khas penjual jamu.. lekuk tubuhnya terlihat jelas.

Besar dan padat..

Sesekali aku teringat Bu Murni setiap menatap mbak Nonik.

Meski bagian bokongnya tidak sebanding dengan keindahan milik Ibu Murni.

Hingga pada suatu hari aku melihat wanita ini sebagai objek pelampiasan.

Dari obrolan-obrolan beberapa pegawai aku mengetahui.. ternyata mbak Nonik mengerjakan ‘side job’.

Sebagai seorang janda dengan 2 anak.. untuk menjalani kerasnya hidup dia melayani beberapa tawaran laki-laki hidung belang dengan harga tertentu.

Tapi tidak semua tawaran dia terima.. mungkin untuk mencari aman.. atau melakukanya hanya ketika dia menginginkanya.. atau juga di saat tuntutan materi yang mendesak.

Butuh waktu 1 bulan untuk meyakinkannya menerima penawaranku.

Dengan iming-iming imbalan yang cukup besar untuk amatir sekelas dia.. akhirnya mbak Nonik bersedia.

Sabtu sore.. aku menjemputnya di depan Indomaret.. somewhere di ujung kota Jepara untuk menjaga supaya tidak ada orang yang aku kenal.. baik pegawai.. relasi atau teman-temanku mengetahui kebejatanku.

Butuh perjalanan 1 jam lebih untuk mencapai sebuah resort lumayan lux di kota dingin nan sepi di Cilimus.. Kuningan.

Aku membooking mbak Nonik all night long.. hingga keesokan paginya.

Malam menjelang.. mbak Nonik baru saja selesai berpuas diri mandi dibathub.

Makanan telah tersaji di ruang tamu mini di dalam cottage.

Udara yang dingin menggigit membuat kami makan dengan lahap.

Aku memperhatikan wanita ini seksama.

Dengan rambut tergerai hingga ke bahu dan kimono biru gelap yang dikenakannya.. mbak Nonik terlihat cukup menarik.

Bukan sekali ini aku kencan dengan wanita nakal.. tapi obsesiku tentang Bu Murni membuat malam ini terasa beda.

Kami hanya mengobrol basa basi soal makanan dan cuaca.. tidak membahas apa yang akan terjadi malam ini.

Setidaknya kami sama-sama paham bahwa keberadaan kami di sini untuk alasan masing-masing yang personal.

Permainan dimulai satu jam kemudian.

“Sudah siap mbak..?” Ujarku tanpa basa basi.

“Yo wis.. siap kok mas..” Jawabnya santai.

Lampu ruang tamu dan belakang telah aku matikan. Hanya tersisa dua lampu tidur kecil di dua sisi ranjang.

Kami saling bertatapan dalam suasana redup.

Jantungku berdetak.. aku membayangkan wanita tambun di hadapanku ini adalah ibu Murni.

Aku menariknya duduk berdampingan di ujung ranjang. Aroma lehernya wangi.. aku mencium dan memainkan lidahku di sana.

Kemudian kedua tanganku menjamah bahu dan lingkaran pinggangnya.

Sekejap kemudian aku meraba dan mencium seluruh tubuh bagian atasnya dengan nafas memburu.

Mbak Nonik membaringkan tubuhnya.. masih dengan kedua kakinya menapak lantai ubin yang sedingin es.

Kimono itu telah terlepas ikatanya hingga terlihat bra.. bagian perut dan celana dalamnya.

Bagian yang masih menutup pahanya itu aku singkap. Paha dan pinggul yang besar itu menantangku.

Kecupan-lecupanku langsung membalurinya.. bahkan onggokan selangkangan mbak Nonik tidak terlewatkan.

Tercium aroma khas vagina yang mulai mencair.

Ringkas cerita.. kami telah siap tempur.

Aku dalam posisi menindih sebagian tubuhnya dengan kemaluan berdiri di muka vagina mbak Nonik yang berbulu lebat dan besar.

Dengan tangan kiri.. aku mengarahkannya masuk.

Dalam.. sangat dalam.. hingga wanita yang usianya 10 tahun lebih tua dariku ini meringis..

Aku mendesis terpapar kenikmatan.

Selanjutnya aku menghajar mbak Nonik dengan beringas.

Mataku terpejam sambil menghentak-hentak kejantananku.. membayangkan wanita yang aku garap ini adalah ibu Murni.

Terbayang wajah cantiknya mengerang dan tengah dilanda kenikmatan bersamaku.

Awalnya masih terlihat semburat senyum di bibir mbak Nonik.

Tapi tak lama kemudian wajahnya berubah.

Kedua alisnya mengkerut.. gurat wajahnya seperti tengah menahan sesuatu yang membuatnya terpedaya.

Tubuh bongsor itu tergoncang-goncang hebat di bawahku.

Mungkin 10 menit telah berlalu.. keperkasaanku belum usai merambahi kewanitaannya.

Mbak Nonik berpeluh dan gelisah di bawahku.

Dia menikmati ranjang panas ini dengan daya tahan yang baik.

Aku adalah mesin seks sejati..

Seluruh wanita yang pernah aku gauli selalu menyerah dalam hitungan tidak lebih dari 10 menit.

Aku bagai banteng ketaton menghajar.. meliuk-liuk penuh tenaga..

Dan kejantananku bagai tonggak kayu.. keras mengaduk-aduk liang kenikmatanya.. secara bertubi-tubi tanpa jeda.

Akhirnya.. wanita ini terpaksa menyerah ketika kami berganti posisi..

Aku menghajarnya dari bawah. Hujaman penisku meruntuhkan pertahanannya..

Kucengkram keras bulatan pantat besar itu.. hingga selangkangan mbak Nonik tidak bisa bergerak.. terjajah garangnya senjataku.

Wanita ini menjerit melengking tinggi.. pinggul dan pantatnya mematung dan kejang.

Seraya kepalanya terhempas dalam dekapan di dadaku.

Aku malah menusuk dan menekan vaginanya lebih keras.

“Mass.. massssss.. uuuhhh.. aduuuuhh..!” Serunya sambil merintih.

Terasa vaginanya bergolak.. dan cairan hangat itu mengalir deras membasuh penisku.

Selanjutnya dia terkulai lemah di sampingku.

Dadanya yang besar naik-turun.. nafasnya tersengal.. matanya terpejam..

Wajahnya berkilauan oleh peluh yang masih mengalir dari dahi.

Aku bangkit berdiri.. mengenakan pakaian seadanya.. membiarkanya terkapar di ranjang.. beristirahat sejenak.

Tiga batang Marlboro putih telah kandas di asbak. 15 menit aku duduk di luar..

Udara makin terasa menggigit di pinggir kolam renang depan cottage.

Aku kembali masuk untuk menyelesaikan yang tadi tertunda sesaat.

Mbak Nonik baru saja keluar dari kamar mandi.. wajahnya sedikit segar tersapu air.. rambutnya kembali rapi terurai.

Kimono biru itu kembali tertutup rapat hingga ke leher.

“Dingiin banget ya mas..!?”

Serunya sambil menunjukan wajah menggigil.

“Iya mbak. Itu ada air panas.. kalo mo bikin teh atau kopi..” Jawabku.

Kami berdiri berhadapan.. wanita ini terlihat lebih besar dan tinggi dari diriku yang sedikit kurus.

Mbak Nonik menyodorkan secangkir teh hangat di depanku.. sambil menyeruput sedikit teh dari cangkir di tangannya.

“Mas kuat juga.. hehe.. Gak nyangka.. tak pikir sampeyan yang kalah duluan..” Lanjutnya.

“Aku baru 25 mbak.. jangan dipanggil mas..” Jawabku sambil mengulum bibir.

“Walah.. cah piyik toh.. Kok mau-maunya ngajak saya.. wis tuir ngono mas..”

“Hehe.. gak liat umur mbak.. kalo sudah nafsu yaa tetep aja..” Jawabku.

“Gimana.. bisa lanjut lagi..?” Lanjutku tanpa basa basi.

“Yaa iso.. mbak siap aja ngeladeni..” Jawabnya sambil tersenyum.

Mbak Nonik telah melepas kimononya.. pakaian itu terkulai di lantai.

Terlihat tubuh besarnya yang montok dari belakang.

Bagaimanapun tubuh Bu Murni lebih seksi.. Pinggangnya ramping.. dan bulatan pantatnya lebih menantang..

Tidak seperti wanita ini.. pinggangnya sedikit menggelambir.

Tapi setidaknya hasratku akan terpuaskan malam ini.

Jam 9 malam.. kami bersiap kembali dalam peraduan yang saru.

Mbak Nonik telah baring telentang.. tidak ada bra dan cd lagi menutupi.

Aku langsung menindih dan menjalari seluruh tubuhnya dengan ciumanku.

Wanita ini kembali bangkit gairahnya.. sementara senjataku siap mengacung keras.

Aku langsung membuka lebar kedua pahanya yang besar.. kedua tanganku menahanya dengan kuat pada kedua sisi tubuhnya.

Mbak Nonik membantuku.. menuntun kepala penisku menuju vaginanya.

Jleggh..

Dengan sekali menekan.. seluruh batang penisku itu masuk merangsek ke dalam liang vaginanya.

Mbak Nonik wajahnya kembali tegang.. aku membiarkanya terdiam beberapa saat.

Kembali terasa vagina itu basah. Kemudian tanpa membuang waktu aku menyodok-nyodok kejantananku dengan keras.

Jepitan kemaluan mbak Nonik segera membuatku kembali terbuai kenikmatan.

Makin nikmat makin cepat dan kasar.. aku menghentak-hentak selangkanganya.

Kedua tanganku berpindah mencengkram kedua sisi bantal di samping kepala mbak Nonik.

Kaki wanita tambun itu melingkar tergantung pada pinggangku.

Dia kembali merintih..

Sekejap saja aku sudah membuatnya makin belingsatan.

Tapi kali ini aku pun terpapar kenikmatan mendekati akhir.

Nafasku mendengus hangat.. dan bayangan wajah Bu Murni sekelebat menghinggapi benakku.. aku terpejam.

Rintihan mbak Nonik makin menjadi.. ritme gerakanku makin cepat.. jantungku meledak-ledak.. memburu puncak kegilaan.

Dan akhirnya aku meregang.. terasa aliran sperma itu bergerak naik..

Bayangan wajah Bu Murni makin terlihat jelas.. akhirnya ketika penis itu berhenti pada sodokan terakhir aku menggapai puncak.

Dan.. “Ahhhhhh.. ssshhh.. hoohhhh.. Buuu.. bu Murnii.. ooohhhhh.. ssshh..”

Aku mengerang hebat.. dan tanpa sadar menyebut nama wanita itu.

Cratt.. crattt.. cratt.. crett..!

Spermaku panas.. berkali-kali menghujam liang vagina wanita ini.. banyak.. sangat banyak..

Di bawahku mbak Nonik pun mengejang.. tangannya mencengkram pantatku.. dan menekan dengan kuat.

”.. Duuhhh.. massss.. uuhhh.. massss..”

Mulutnya merintih tiada henti.. matanya tegang menatap wajahku.

Cairan hangat kewanitaan mbak Nonik kembali mengalir melumuri batang penisku.

Kami kemudian terkulai lemas sambil berpelukan.

Terdiam beberapa saat… kemudian aku menjatuhkan tubuhku di sampingnya.

Satu dua tetes sisa cairan itu jatuh mengalir ke pangkal penisku. Jantungku masih berdegup kencang.

“Wahh.. siapa tuh mas yang disebut tadi..? Hayoo..!?” Seru mbak Nonik menggodaku.

“Yaaa.. wanita idaman saya mbak.. mirip-mirip mbaklah badannya..” Jawabku santai.

“Ealaaa.. ternyataaa.. Hehe..” Lanjutnya tanpa menyelesaikan kalimat.

“Yang tadi gak papa saya keluarin di dalem..?” Tanyaku.

“Gak papa mas.. rutin minum pil kok.. Biasanya saya gak mau kalo gak pake kondom..

Cuma dengan sampeyan.. gak tau kenapa.. pengen aja..” Jawabnya.

Sekejap saja Kami tertidur lelap.. tapi menjelang tengah malam kami terbangun.

Makan cemilan sambil ngobrol hingga jam 1.. selanjutnya pergumulan binal kami kembali terjadi.

Keesokanya menjelang tengah hari sebelum pulang.. kami kembali melakukan hubungan badan hingga tuntas..

Mbak Nonik menginginkan semprotan spermaku menyirami wajahnya..

Wanita itu terlihat puas.. entah apa yang ada di dalam benaknya.

Semenjak hari itu perzinahan kami terus berlanjut.. setidaknya satukali dalam sebulan kami bertemu.

Seperti ada peluang.. 2 bulan sesudah kencan panasku dengan mbak Nonik.. keluarga Bu Murni dalam prahara.

Seorang perempuan keturunan Cina dan anak perempuanya yang berumur 8 tahun.. mendatangi rumah keluarga mereka 2 minggu yang lalu.

Pak Jono tidak bisa mengelak.. bahwa mereka adalah bagian hidupnya yang selama ini tersembunyi dengan rapat.

Kekecewaan dan kemarahan Bu Murni tidak tertahankan.

Pernikahan mereka yang telah berlangsung sekian lama harus segera berakhir dengan tragis.

Perlahan dan pasti kedekatanku dengan beliau semakin erat.

Obrolan-obrolan kami tidak melulu soal bisnis.. aku telah menjadi limpahan cerita kesedihan wanita paruh baya ini.

Aku memanfaatkan situasi dengan siasat jitu.. agar Bu Murni bertambah simpati terhadapku.

Kerapkali.. setiap aku pergi beberapa hari keluar kota untuk perjalanan bisnis.. Bu Murni menghubungiku melalui pesan singkat.. sekedar bertanya kapan aku pulang.

Wanita ini makin membutuhkan kehadiranku.. artinya.. rencanaku berjalan dengan baik.

Cukup lama aku membiarkan situasi ini berlangsung hangat selama beberapa bulan.

Hingga ada saatnya aku mengambil keputusan untuk mengutarakan maksud hati.

Suasana malam minggu itu terasa tepat.. Bu Murni tengah seorang diri di rumah.

Anak semata wayangnye tengah berlibur bersama suami dan anaknya keluar negeri.

Aku datang ke rumah dengan membawa makanan jepang kesukaannya.

Kami mengobrol hangat selama beberapa jam.. membicarakan soal bisnis dan masalah pribadi beliau.

Saat menjelang aku pulang aku mulai mengutarakan proposal pribadi.

“Bu.. sudah berapa lama kita kenal..?” Ujarku memulai pembicaraan baru.

“Lumayan lama kan Di.. kenapa memangnya..? Mungkin ada 2 tahun yah..?” jawabnya santai.

“Sudah terlalu banyak hal yang kita sharing untuk mengenal satu sama lain..” ujarku mulai mengarahkan obrolan.

“Iya.. banyak. Ibu beruntung kenal kamu.. kamu baik..” Ujarnya sambil tersenyum.

“Bu.. mohon maaf.. kira-kira kalo saya ngomong yang sangat personal.. ibu bisa terima gak..?”

Jawabku. Jantungku sedikit berdebar.

“Yaa monggo.. Toh selama ini juga kamu banyak kasih saran pribadi ke ibu..”

“Mmm.. kalo saya bilang saya tertarik dan suka dengan ibu.. gimana..?” Suaraku sedikit bergetar.

Ibu Murni terkejut dengan kalimatku.. wajahnya sedikit aneh.. tapi kedewasaannya mengalir keluar.

“Kamu ngomong apa toh Di..? Nggak-nggak aja..” Jawabnya santai sambil tersenyum.

“Saya serius kok Bu..”

“Hehe.. kamu salah kalo berpikir kaya gitu D..

Sudahlah.. mungkin pikiranmu lg kacau atau sedang capek.. makanya ngelantur..” Sambungnya.

“Nggak kok Bu.. Terus terang sudah sedari awal kita kenal.. saya sudah menyukai Ibu..

Maaf yaa bu.. saya tau sikap ibu selama ini ikhlas sama saya..” Lanjutku.

“Mungkin saya keterlaluan.. tapi saya berusaha jujur loh bu..”

Ibu Murni terdiam beberapa saat. Sikapnya yang anggun dan kalem membuatku salah tingkah.

“Yo Wis.. sudah malem Di.. Kamu pikir-pikir dulu apa yang baru kamu bilang.

Kamu baik.. ibu nganggep kamu seperti anak.. bukan cuma rekan bisnis lagi..” Jawabnya.

Aku hanya tersenyum pahit.. tapi kemudian mengangguk.

“Baiklah bu.. sudah malem. Mohon maaf kalo saya lancang..” Jawabku

“Nggak papa kok Di.. yo wis.. sampe sesok yo..”

Malam itu berakhir dengan kekecewaan..

Aku pikir semua siasatku berhasil dan mengharapkan jawaban yang beda dari beliau.

Mungkin memang tidak mungkin dia menerima perasaanku.. wanita ini jauh usianya di atasku.

Beliau harus menjaga martabatnya sebagai wanita terhormat. Bodohnya aku.

Malam menjelang tidur.. tiba-tiba Bu Murni mengirimkan SMS.

“Di.. ibu minta maaf untuk kesalahpahaman ini.. Ibu harap kamu ngerti.. dan hubungan kita tetap seperti biasanya..”

“Iya Bu.. saya paham.. Justru saya yang mohon maaf.

Ibu bantu saya di saat saya down.. sekarang saya sudah mapan.. dan usaha saya makin besar..

Saya berhutang budi.. dan harus membalasnya dengan baik.

Tapi mohon ibu pahami.. bahwa perasaan saya bukan karena materi..

Itu murni feeling saya sebagai laki-laki untuk wanita yang saya sayangi..” Jawabku.

“Iya Di.. ibu paham kok.. slamat tidur..”

Satu minggu lebih kami tidak bertemu.

Di luar kebiasaan.. tapi satu duakali kami berbicara via telpon.. untuk urusan order dan supply barang.

Satu bulan berlalu.. aku mulai putus harapan untuk mendapatkan wanita idamanku ini.

Kami mulai jarang bertemu dan hanya berbicara untuk hal-hal yang penting soal bisnis.

Aku seperti laki-laki yang tengah putus cinta.

Terkadang aku sadar apa yang aku lalui ini adalah sebuah kebodohan.. menyimpang dan konyol.

Di tengah kegalauan ini aku masih satu duakali berkencan dengan mbak Nonik.

Wanita sederhana itu menjadi pelampiasan kekecewaanku.

Pernah satukali aku memaksakan kehendak.

Mungkin waktu itu mbak Nonik sedang tidak mood untuk melakukan hubungan intim.. aku sedikit memperkosanya di ruangan kantorku.

Dengan hanya menyingkap kain batik penutup tubuh bawahnya.. aku menggarap kewanitaannya dengan kasar dari belakang.

Spermaku berceceran di lantai ketika mbak Nonik berhasil menendangku ke belakang tepat di saat aku mencapai klimaks.

Semenjak hari itu wanita ini sulit untuk diajak bertemu.

Tapi.. tidak ada usaha gigih tanpa membawa hasil. Pada awal bulan kedua Bu Murni mulai berubah sikap.

Dia mulai intens mengirimku SMS.. terkadang juga makanan.. dan sesekali berkunjung ke pabrik.

Tanpa sungkan dia kembali menjadikanku curahan kegalauan hatinya.

Aku berusaha bersikap gentle.. seolah melupakan pristiwa sebelumnya.

Hubungan kami berangsur normal.

Satu minggu yang lalu.. akhirnya sesuatu yang aku impikan selama inipun terjadi.

Hari itu Jepara dilanda hujan badai sepanjang hari.

Aku terpaksa menunggu lebih lama di rumah Ibu Murni..

Jalan di ujung gang menuju jalan protokol tertutup runtuhan pohon.. dan air tergenang stinggi betis orang dewasa di sekitarnya.

Malam itu Bu Murni mengundangku makan malam.

Hanya ada pembantu dan sopir pribadi di rumah seperti biasanya.. merekapun telah tertidur.

Kami masih mengobrol di ruang tamu.. sudah jam 9.30 malam. Hujan masih turun deras di luar.

“Di.. kamu kapan mau nikah..? Umur sudah cukup loh.. bisnis kamu juga sudah mapan..”

Ujar Bu Murni memulai topik pembicaraan baru.

Aku hanya tersenyum..

“Belum ada yang cocok bu.. masih belum sreg..” Jawabku.

“Apa mau dicariin..? Tipe-tipe kamu seperti apa nih..?” Lanjutnya sambil tersenyum.

Wanita ini sangat cantik dengan senyum di bibirnya yang tipis dan mungil..

Kulitnya terlihat bercahaya pada pantulan sinar lampu dan baju merah hati yang dipakainya.

Rok abu-abu gelap setinggi lutut itu menambah keanggunanya. Terlihat lekukan betis dan pahanya yang besar dan indah.

“Loh Di.. kok ngelamun..?” Sergahnya menyadari aku tertegun beberapa saat.

“Eh iya bu.. tiba-tiba aja inget ada yang ketinggalan di kantor.. ibu nanya apa tadi..?

Ouw.. tipe saya yang seperti apa..?” Jawabku tergesa-gesa.

“Iya.. jadi yang seperti apa..? Ibu banyak punya keponakan loh.. cantik-cantik..” Lanjutnya.

“Mmm.. hehe.. bingung Bu. Yaa.. nanti-nantilah jawabnya..” Jawabku ragu.

“Loh kok bingung.. yang penting itu sifat dan karakternya, Di.. Soal cantik itu bonus..

Tapi untuk anak muda kayak kamu.. pasti ngeliat penampilan dulu ya..? Hehe..”

“Yaa.. gak juga sih bu. Kalo saya cari yang bikin saya nyaman.. dan dewasa cara brpikirnya..” Jawabku.

“O gitu.. Yo wis.. nanti tak coba-coba cari yang cocok..” Lanjut Bu Murni.

“Yaa.. gak usah repot-repot bu..” Jawabku. Tiba-tiba saja kenekatanku timbul.

“Loh kenapa Di..?” Ujar Bu Murni.

“Yang saya mau dari dulu sudah ada sih, bu.. tapi kayaknya gak bakal terjadi..” Aku coba memancing.

“Lho.. lho.. siapa toh..? Kok kamu gak pernah cerita..?

Kamu ganteng dan sukses gini.. kok bisa-bisanya ditolak perempuan..?”

“Hehe..” Aku cuma tertawa kecil kemudian diam.

“Kenapa Di..? Kamu gak percaya diri.. atau mungkin orangtuanya jadi hambatan..?” Lanjutnya.

“Bukan Bu. Yang bersangkutan gak mungkin bersedia nikah dengan saya..” Jawabku makin nekad.

“Kenalin ke Ibu.. biar ibu coba bicara sama dia..”

“Hmmm.. sekali lagi gak usah repot-repot kok Bu.. ibu juga pasti kenal..” Jawabku penuh teka teki.

“Loh siapa..!?” Tanyanya heran.

“Wanita itu.. yaa ibu sendiri..!”

Jawabku nekat.. wajahku datar.. menunjukkan bahwa aku sedang serius.

Beliau terdiam.. mungkin tiba-tiba saja dia teringat ucapanku beberapa bulan yang lalu.

Tapi masih tersenyum walau dengan sedikit getir.

“Apa yang kamu cari dari Ibu.. Di..? Menjanda duakali.. usia ibu juga sudah mau 46..

Kamu masih muda.. jauh di bawah usia ibu.. Mungkin belum memahami sepenuhnya apa yang kamu rasa..” jawabnya.

“Saya sudah cukup dewasa bu.. Cinta juga gak kenal umur.

Ibu orang baik.. semua yang dekat dengan ibu pasti merasa nyaman.

Di luar perasaan berhutang budi.. saya dengan kejujuran hati menyayangi ibu..”

“Tapi kamu masih muda Di.. masa depan kamu masih panjang.

Jiwa kamu masih fresh.. penuh semangat. Sementara ibu sudah layu. Cuma ingin menikmati sisa hidup.

Kalau pun ibu terima.. Ibu tau kamu baik.. tapi ibu tidak bisa mengimbangi kamu..”

“Ngimbangin apa nih Bu..? Saya pikir saya sudah cukup dewasa melebihi umur..” Jawabku.

“Di.. orang nikah juga salahsatunya untuk alasan fisik.. dan maaf.. untuk kepuasan seks juga.

Lihat Ibu dengan jernih Di. Ibu sudah tua. Ibu pernah muda.. punya bayangan jelas apa yang ibu rasa di usia kamu sekarang..”

“Maaf kalo jawaban saya lancang.. Bener seusia saya lagi-lagi.. sedang-sedangnya tertarik soal itu.

Justru awal mula perhatian saya tentang ibu karena alasan itu..” Jawabku.

“Maksudnya Di..?”

“Ibu masih cantik.. dan maaf.. saya suka dengan fisik Ibu..

Laki-laki mana yang tidak suka melihat penampilan ibu..” ujarku mulai menebar ‘rayuan’.

“Saya gembrot gini Di..! Ada-ada aja kamu..” Sergahnya.

“Di mata saya seksi kok bu.. Kelaki-lakian saya kadang bangkit tiap melihat ibu..” kataku makin nekad..

“Maksud kamu Di..?” Jawabnya heran.

“Saya laki-laki normal.. maaf bu.. saya juga tertarik sama ibu secara seksual..”

“Mmmm.. apa kamu gak berpikir ini aneh Di..” Jawabnya.

“Buat saya tidak Bu..”

Beliau tersenyum.. tapi kemudian diam hingga beberapa saat. Wajahnya menatap ke luar jendela.

Hujan masih turun dengan derasnya.

Aku terbawa suasana.. seperti tidak bisa mengontrol diri. Aku beringsut mendekatinya.

“Kamu mau apa Di..?” Ujarnya kaget.

Tanpa menjawab aku langsung mencium bibirnya dengan lembut.. dia tersedak kaget.

Tapi aku belum ingin melepaskan bibirku..

Aku mengulum bibirnya beberapakali.. sebelum akhirnya melepaskannya.

Wajah kami masih berdekatan.. aku menatap matanya tanpa berkedip.

“Kamu keliru Di.. kamu salah besar..”

Ujarnya sambil bangkit kemudian berjalan menuju kamarnya meninggalkanku.

Aku dilanda kebingungan.. tapi ini sudah terlanjur terjadi. Aku buru-buru bangkit mengikutinya.

Belum selesai beliau menutup pintu tanganku sudah bergerak menahannya.. kemudian aku meloloskan tubuhku masuk ke kamar itu.

Tanpa membuang waktu.. aku langsung mendorongnya ke dinding di belakang pintu.

Aku langsung menghujaninya dengan ciuman panas di bibir.. bertubi-tubi.. tanpa jeda.

Tanganku bergerak menutup pintu sambil tetap menciumi bibirnya.

Ibu Murni seperti terhipnotis dengan apa yang terjadi.. beliau hanya terdiam.

Aku menatap wajahnya lekat-lekat dalam temaramnya kamar.

Kembali aku melumat bibirnya perlahan.. terus perlahan.. hingga gerakan bibirku menjadi liar.

Bu Murni bernafas tertahan.. ciumanku telah bergerak turun menjelajahi lehernya yang putih jenjang.

Tanganku menggapai pinggangnya.. sementara tangan yang lain meraba sebagian perut dan pinggulnya.

Bu Murni tetap bertahan tanpa reaksi. Aku makin berani.

Kali ini bagian belakang kuping dan tengkuknya aku luluri dengan lidahku.

Terdengar nafasnya mulai berat.

Ketika aku bergerak menciumi pangkal dadanya Bu Murni menahan wajahku dengan tangannya.

“Sudah Di.. cukup.. kamu kebablasan.. sadarlah nak..” Sergahnya tersengal.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu