1 November 2020
Penulis —  dracomalfoy2

Mbak Narsih

Dalam kisah sebelumnya aku telah menceritakan perubahan hidupku yang drastis setelah kematian ibuku. Aku terpaksa ikut Mas Pras saudara semata wayangku, sebagai pengganti kedua orangtua ku yang sudah tiada. Aku harus beradaptasi dengan isteri Mas Pras yang judes dan galak. Karena kepepet aku berusaha bertahan di neraka itu, tetapi karena kompor meledak itu pula Mbak Narsih, kakak iparku itu akhirnya mau menerima keberadaaanku. Kebetulan saja aku sebagai anak laki-laki punya keterampilan memasak yg diwariskan almarhumah ibuku. Dari kenyataan itulah Mbak Narsih tidak lagi menganggapku cah lanang isane opo

Saat-saat yang selalu teringat dan terukir mendalam dalam hatiku adalah kemesraan sesaat yang kurasakan ketika merawat Mbak Narsih. Pribadi yang keras dan menakutkan itu suatu saat berubah menjadi seorang yang sangat lembut yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Rasanya aku sedang bercumbu dengan singa betina yang setiap saat bisa menjadi ganas dan mematikan. Ada rasa takut bercampur nafsu birahi yang berkobar.

Sifat dan watak Mbak Narsih itu sudah mendarah daging, merupakan sifat bawaan, tak kan pernah berubah selama hidupnya. Jika dia baik dan lembut itu hanya sesaat, seakan-akan lupa. Dalam keadaan normal, watak aslinya itu keluar dan itu berarti aku kembali hidup dalam suasana terror mental. Sedikit saja kesalahan yang aku buat, sengaja atau tidak.

Pasti dia marah. Cuci piring tidak bersih apalagi cuci gelas, mudah sekali ketahuan kalau tidak bersih. Gelas tidak boleh bau amis atau bau sabun. Kalau itu terjadi, semua gelas di rak diturunkan dan dicuci ulang semuanya, SENDIRI. Mulutnya ngomel menyindir dan memakai ungkapan-ungkapan yang menyakitkan perasaan.

Eee, paringana kuwat. Memang aku nggak kuat bayar pembantu. Ya, nyuci sendiri. Keliatannya saja bersih. Mata bisa ditipu, hidung nggak bisa ditipu. Mulutnya terus nyerocos disertai suara benturan-benturan gelas berkelotakan seakan mau pecah. Kasar sekali. Berisik sekali. Aku bertahan.

Sudah bosan ikut kakaknya. Di sini harus kerja. Bisa saja makan tidur, kan punya pembantu. Pulang sekolah belajar, dengerin radio. Wah, enake, jadi murid teladan.

Aku diam saja. Orasinya berkembang dari masalah gelas, ke masalah lain yang semuanya bikin panas hati. Mana berani aku menjawab? Bisa saja aku melawan, tapi itu berarti mengakhiri hidupku sendiri. Ke mana lagi aku harus hidup? Aku ingat almarhum ibuku yang lembut dan penuh kasih. Aku hanya bisa menangis dalam hati.

Tak ada lagi kasih sayang ibu. Biasanya Mbak Narsih terus mendiamkan aku hari itu. Sebelum beliau ngajak omong, aku belum berani menyapa. Dalam situasi perang dingin seperti itu, aku dibuat mati langkah karena semua pekerjaan rumah, sudah dia kerjakan. Mbak Narsih pada dasarnya ibu rumah tangga yang rajin.

Aku jadi semakin tidak enak saja. Belanja, masak, cuci piring sampai ngepel, semua sudah diberesi. Ah, masih ada, Ada pakaian kotor (termasuk pakain dalamnya) segera ku bawa ke sumur umum. Lega rasanya, masih kebagian sedikit pekerjaan. Itu artinya aku menang. Sehabis mencuci, Mbak Narsih, menyapa aku.

Enak ya? Semua pekerjaan sudah beres? aku tidak menjawab. meskipun masih terdengar keras, namun aku sudah merasa tenang, paling tidak aku sudah disapa. Lalu esok hari suasana sudah normal lagi.

Dalam situasi dimarahi, aku merasa hidup sendiri. Bahkan saat ada Mas Pras pun, Mbak Narsih tetap menyerang. Seakan Mbak Narsih mencoba menunjukkan bahwa aku tidak beres kerjanya. Sayang, Mas Pras termasuk kelompok sukutri (suami takut istri). Di situlah hidupku benar-benar tertekan. Anehnya, di saat seperti itu pula, aku teringat atau suka mengingat saat-saat manis bersama Mbak Narsih.

Saat dia minta dicumbu. Kubayangkan matanya yang redup dan rntihannya yang memilukan saat memperoleh kenikmatan dariku. Rasanya tidak mungkin beliau bisa bersikap sekasar itu saat ini. Sampai jauh malam mata tak bisa dipejamkan. Kuingat tadi siang saat aku pura-pura, belajar (karena semua pekerjaan sudah diberesi) aku sempat melirik sebentar saat Mbak Narsih mandi di luar kamar mandi, karena kamar mandi dikuras.

Dia menyabuni payudaranya yang bulat dan mulus itu dengan bebas, seakan-akan hanya dia saja yang ada di rumah ini. Membayangkan penampakan siang tadi dalam kesunyian pekatnya kamarku, tak terasa mulutku berbisik litih. Oh, Mbak Narsih

Aku tidak habis mengerti, kenapa di setiap saat beliau marah-marah, cara duduknya atau cara berpakaiannya di rumah seenaknya sendiri. Kalau tiduran di sofa, pahanya dinaikkan di meja tamu, dibiarkan tersingkap lebar. Aku berjalan menunduk saja saat menuju kamarku. Aku tahu Mbak Narsih mengamati langkah-langkahku sampai aku masuk kamar.

Siang itu seperti biasanya sesudah mengangkat semua jemuran, beliau tidur siang. Kamarnya tidak ditutup, sehingga hampir seisi tempat tidur itu terlihat jelas dari luar kamar. Meskipun tertutup kelambu, aku tahu beliau tidak mengenakan pakaian apa pun. Cuaca Semarang bawah memang panas. Kelambu hanya untuk menghindari nyamuk saja.

Dulu Mas Pras belum punya kipas angin. Terlalu mewah untuk kehidupan waktu itu. Dengan cara demikian mungkin beliau merasa nyaman. Sambil makan siang berkali-kali aku mencuri pandang kea rah kamar. Nasi dengan sup yang begitu banyak kuah terasa susah ditelan. Konsentrasi makanku terpecah, selera makan jadi hambar.

Aku terlalu dini untuk mengalami pengalaman sex orang dewasa. Sehingga aku ketagihan untuk terus merasakan lagi. Aku berharap Mbak Narsih membuang guling yang dipeluknya, biar kulihat bukit kembarnya yang putih dan kemaluannya yang merah jambu dan basah itu. Seperti tahu yang aku inginkan, Mbak Narsih sekarang melepaskan gulingnya dan menjepitnya dengan kedua pahanya.

Sehingga terlihat jelas apa saja yang tadi ingin kulihat. Susunya berdesakan terhimpit kedua tangannya. Pahanya terbuka karena terganjal guling dan mataku tak lepas memandang hutan lebat yang kurindukan itu. Lama sekali sendok terhenti di depan mulut tak segera kumasukkan. Aku menelan ludah. Hilang nafsu makan.

Rasanya seperti ada yang menarikku untuk mendekat ke pintu kamar yang terbuka lebar itu. Agak menyamping aku melihat ke dalam, menghindari pandangan Mbak Narsih kalau tiba-tiba beliau terbangun. Aku berjingkat mendekati dinding sebelah kanan pintu. Pemandangan indah semakin jelas. Seandainya saja, kelambu itu tak ada, pasti kemulusan kulit nya akan semakin nyata.

Kuberanikan diri melongokkan sedikit kepalaku melihat ke dalam. Mbak Narsih mendengkur halus. Enak sekali tidurnya. Ah, wajah yang sangat cantik. Alisnya yang hitam tebal jadi semakin indah jika matanya terbuka. Kakak iparku ini memang mirip sekali dengan Cici Faramida. Saat tertawa, barisan giginya yang rapi dibalik bibirnya yang tipis menambah kecantikannya.

Aku tak tau sebabnya, kenapa tubuhku menggigil. Gigiku gemeletuk seperti kedinginan. Degup jantungku semakin kencang. Mukaku terasa panas. Ada dorongan yang sangat kuat tak tertahankan untuk terus mendekati tempat wanita cantik itu pulas tertidur. Napasku memburu. Batangku sudah menegang sejak masih di meja makan tadi, kini semakin mengeras saja.

Ketakutanku akan sikap galaknya dikalahkan dengan berkobarnya nafsu remajaku. Pelan-pelan kutarik kelambu sialan yang menghalangi pandanganku. Srrrrrttt! Pelan dan halus kutarik. Lagi, srrrrtttt! Nah, sekarang lebih jelas. Oooohhh. Putihnyatubuhnya yang mulus itu indah sekali. Tak terasa mulutku berbisik lirih, Ohhh Mbak Narsih.

Aku kaget sendiri mendengar suaraku itu. Lebih terkejut lagi saat kudengar suara Mbak Narsih, seperti orang mengigau, Kuuuun, sini! Aliran darahku seperti berhenti. Aku jadi takut sekali. Tapi aku juga penasaran, jangan-jangan aku salah dengar. Mau keluar dari kamar sudah terlambat. Aku hanya berhenti terpaku dengan kaki menggigil. Sini. jangan berdiri saja. Matanya masih terpejam, tapi jelas kulihat mulutnya bergerak.

Kamu sudah pengin. Kun. Mbak Narsih memiringkan tubuhnya membelakangiku. Dari nadanya sepertinya dia tidak marah. Berkurang sedikit ketakutanku. Tapi aku tetap diam di samping tempat tidurnya.

Kuuuunnnn.. sekarang suaranya lebih keras, tapi posisinya masih memunggungiku. Kuperhatikan bongkahan pantatnya yang bulat. Putih mulus. Agak ke bawah kulihat warna hitam bersembunyi di balik nya. Ayoooo Kuuuntunggu apa lagi. Kini aku yakin dia memanggilku.

Ya, Mbak. senang sekali aku disapa kembali. Aku merasa bahagia dan damai. Kuberanikan diri mendekat dan duduk di pinggiran kasurnya. Mbak Narsih masih diam. Tanganku sudah gemetaran ingin menyentuh pantatnya. Kusentuh pelan dan kurasakan hangaaaat sekali kulitnya. Kuelus pahanya sambil kutunggu reaksinya.

Masih tetap diam. Tapi tidak ada penolakan. Kuelus pahanya yang putih mulus itu dan kurasakan bulu-bulu lembut halusnya. Kehangatan kulitnya sangat terasa mempengaruhi diriku. Aku jadi gerah sekali dan ingin membuka baju. Kulempar keluar saja bajuku dan jariku kembali beraksi. Kini kuberanikan diri menuju sudut htam di arah bawah pantatnya.

Aaahhh kenapa basah sekali? Ujung jariku masuk pelan-pelan ke lubang yang hangat dan licin itu. Makin ke dalam semakin panas. Kudekatkan mukaku untuk melihat lebih jelas bagian yang paling menarik itu. Inilah yang selalu terbayang dalam kesendirianku. Kini terlihat nyata dalam jarak sangat dekat. Bau yang khas dari bagian ini merangsang nafsuku semakin berkobar.

Timbul keberanian untuk menarik tubuh molek yang sedari tadi diam dan pasif itu. Kutarik pahanya, ke arahku sehingga tubuh molek itu kini terlentang, Lubang kenikmatan itu merah merekah dengan daging merah jambu yang mungil menonjol di atasnya. Kusentuh lembut daging aneh itu dengan lembut. Dia menggeliat.

Ketika itu aku belum punya pikiran untuk menjilat benda itu. Belum pernah kulihat film BF atau gambar porno. Aku terlalu lugu saat itu. Jadi melihat tempik wanita dewasa, merupakan sesuatu yang baru, sangat mengasyikkan. Aku bermain-main dengan klitoris nya yang semakin membesar itu.

Begitu dekatnya mukaku ke lubang itu sehingga napasku yang panas terasa oleh Mbak Narsih. Tiba-tiba tangan Mbak Narsih menekan kepalaku. Hasilnya mulutku dan bibirku bersentuhan dengan bibir, nya. Kuuuunnnn.. pakai lidahmu sajaoohhhh

Kujilat tempik Mbak Narsih. Sama sekali aku lupa bahwa lubang itu biasanya untuk kencing. Rasanya asin, tapi membikin ketagihan. Semakin dalam lidahku menjilat, geliat tubuhnya semakin menghebat. Aku jadi bersemangat.

Kuunnn. Itilkuitilku.. jilat terus.. kujilat daging merah itu dengan rakus. Seprei jadi kusut carut marut karena diacak-acak oleh gliatan tubuh nya yang semakin liar. sampai tiba-tiba badan Mbak Narsih menegang, pantatnya diangkat dan.. cairan hangat menyemprot dari lubang itu. Seperti susu cair yang hangat.

Kini Mbak Narsih duduk matanya sayu memandangku. Aku yang biasanya takut bertatapan mata, kini kutatap juga matanya. Kukagumi matanya yang lebar dengan bulu mata yang melengkung indah. Tak ada kesan galak sama sekali. Mata indah itu, mata Mbak Narsih yang sbekumnya menakutkan. Aku merasa diajak berdamai.

Kenapa kamu panggil namaku, Kun? dia bertanya lembut. Kamu kangen. ya Kun?

Maafkan aku ya Mbak. aku sering buat Mbak marah wajahku ditariknya mendekat. Aku dicium.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bibir Mbak Narsih mengulum bibirku. Lidahnya terjulur menerobos bibirku. Kusedot dan kurasakan basahnya mulutnya. Aku berciuman dengan cara yang belum kukenal. Anehnya aku merasa bahagiaaaa sekali. Tanpa kupikirkan sebelumnya, tanganku sudah meremas bukit-bukit empuk yang menempel hangat di dadaku. Kucari ujungnya yang mulai mengeras itu. Kuremas lembut. Setelah bibir kami lepas, bibirku mendapat sasaran baru. Ku sedot putting itu seperti bayi netek. Tangan Mbak Narsih membelai rambutku. Matanya tak lepas dari susunya yang sedang kuhisap itu. Bila susu kiri aku hisap, maka yang kanan kuremas-remas. Terusss. oohhh

Sambil menikmati sedotanku, tangan mbak Narsih melepaskan celanaku dan memegang batangku.

Keras sekaliKun. Dia berbisik mesra. Iiiiih.. panjang banget.

Kulihat ke bawah, jari-jarinya yang putih itu mengelus-elus batangku yang hitam. Ujung helm itu disentuh-sentuh lembut membuat aku belingsatan.

Aduuuuu. Mbak.. aku nggak kuat gelombang dahsyat bergulung-gulung datang. Seperti tak mendengar rintihanku, gerakan tangannya malah semakin cepat. Saat pertahananku hampiir jebol, dia berhenti. Ada rasa kecewa tertahan. Kenapa berhenti. Kulihat Mbak Narsih mengamati batangku dengan gemas. Ditempelkannya ke wajahnya yang ayu dan putih. O, seperti ini, hmmmmahhh.

Kamu memang nakal, Huuuhh.. dipukul-pukulkannya kemaluanku ke hidungnya, ke pipinya. Ooohhh besar sekali.! Aku sendiri heran, kenapa tongkolku bisa sebesar dan sepanjang itu. Wajahnya memerah dikuasai nafsu birahi yang tinggi. Tak kukira sebelumnya, beliau mau menjilati kepala helm yg kini memerah itu. Urat-urat di sepanjang batangku menjadi bertonjolan dan berkedut-jedut. Mata beliau semakin liar dan hap. dimasukkannya seluruh batang itu ke mulut beliau yang terlalu indah buat tongkolku yg hitam itu. Dikulum keluar masuk sampai batangku basah. Air liur bening membasahi helm ku. Beliau mendorong lembut tubuhku hingga aku terjerembab ke kasur. Mataku tak lepas memandang kagum dan heran dari aktifitas mulut wanita cantik ini. Tak terlukiskan nikmatnya Puas makan lontong hitamku, kini beliau jongkok dan memegang batangku diarahkan ke lubang kenikmatan yang sudah amat basah itu. Cairan putih memenuhi bibir tempiknya yang putih itu. Begitu gagah batangan ku memasuki lubang sugawi. Tangan beliau mengarahkan dan menggosok-gosokkan helm itu ke kacang ajaib disertai desisan kenikmatanSsssshhhhmata beliau konsentrasi penuh ke sana dan. blessss. aaahhhh. hampir bersamaan aku dan beliau mengerang, meraskan penderitaan yang sama. Badanku tampak kecil dibandingkan pantatnya yang super lebar. Bibir tempiknya merekah lebar diterjang benda panjang hitamku. Mbak Narsih aktif menarik maju mundur semakin lama semakin cepat. Kadang-kadang beliau mendongak menahan rasa nikmat yang melanda syaraf-syarafnya. Kadang diputar-putar pantatnya, menimbulkan denyutan-denyutan yang luar biasa nikmat. OhMbakterus Mbakenak sekalii. ooohhh

Enak. Kun. adddduuuhKunpunyamu kok bisa begini.. ssshhhhsssss terus menerus kata-katanya tak berhenti.. seperti bicara tanpa kesadaran..

Gerakannya semakin liar dan semakin cepat. Aahhhh.. oohhh.. uuuuu beliau menangis sambil menambah kecepatan gerakannya. tongkolku jadi sakit karena terlau tegang dan panas. Tiba-tiba semua gerakannya berhenti danserrrrr. Cairan hangat membanjiri kemaluan dan perutkuBeliau melepas batangku dan terguling ke sampingku. Aku. le. mes.. ba. nget. Kun.

Meskipun kecewa karena aku belum puas, melihat wajahnya yg kuyu dan lemas, aku iba.

KeselMbak kuelus wajahnya dengan penuh perasaan. Saat itu aku merasa sayaaaaaang sekali pada wanita yang galak itu. Kucium pipinya, dan.. kuberanikan mencium bibirnya. Kami berciuman mesra sekali. Direngkuhnya badanku, kini aku rebah di atas badannya yang licin bermandi peluh. Cukup lama kami berciuman sampai tangan beliau mencari-cari batangku dan diarahkan ke lubang itu lagi. Masukkan.. saja, Kun.. aku mau lagi..

Dalam posisi bersimpuh kumasuki lubang kenikmatan itu. Kulitnya yang basah oleh peluhm menjadi berkilat dan keliatan indah sekali. Kamar yang agak gelap itu menjadi terang oleh pantulan cerahnya kulit putihnya. Aku terangsang sekali. Pelan-pelan aku gerakkan maju dan mundur. Lubang itu agak kering sekarang. Merasa tidak nyaman. Aku cabut keluar dari lubangnya. Aku bermaksud berdiri di samping kasur. Kuuuun.. kok dilepas. ayo. beliau merintih memohon. Biasanya dia main perintah dan harus dipatuhi, sekarang singa betina itu merintih memohon. Aku tidak menjawab, langsung turun sambil menyeret kedua kakinya ke tepi pembaringan. Kubentangkan lebar kedua pahanya. Pangkal pahanya tampak merekah menantang. Aku sengaja tidak segera memasukkan tongkolku, aku ingin dengar rintihannya, jriku mempermainkan daging itilnya saja.

Kuuuun.. ayo.. jangan main-main itu.. cepet masukmasukooohhh. Puas aku mendengar rintihan beliau. Kuarahkan batangku ke lubang iu danblessss. Ternyata lubang itu kini sudah basah lagi. Beliau mengangkat tinggi-tinggi kakinya sehingga tanganku terbebas tidak menyangga lagi. Kini aku raih kedua bukit kembarnya yang terpantul-pantul karena goyongan tubuhnya yang kusodok-sodok.

Enaaak. Kun.. Enakya.. Kun? mulutnya terus nyerocos tapi matanya terpejam.

Aku bergerk maju mundur dengan irama pelan. Kunikmati setiap gerakan. Kurasakan makin pelan aku menggerakkan, tongkolku terasa digigit atau dijepit oleh bibir beliau.

Kun cepet sing jeruuuuuoooh.. oohhhsing jeru..

IyaMbaaaaakk.. ini. Mbak. aaaahhh..

Udara kamar terasa semakin panas. Keringat sudah membanjir.. nafsu sudah sampai kepala.

Kupercepat gerakan, makin lama makin cepat dan tusukan semakin dalam.

Plak plak plak. kreet. kreeet.. suara daging beradu dan kerenyit tempat tidur mengiringi tarian birahi aku dan beliau. Jepitannya semakin kenceng dan denyut-denyut diujung kemaluanku semakin terasa. Mbaaaaakkkk. iki. piyeeeee addduuuh.. Aku sudah sampai di ujung perjuangan.

Tungguuuuakuuu. ke. lu. arKunnnnn. Pantatnya berputar liar dan tangannya mendorong pantatku sampai mepet. CrooottttzzSeeerrrr. Kami mencapai klimax bersama.

Kupeluk Mbak Narsih. Kurebahkan kepalaku di atas susunya yang empuk.

mBaaak.. aku sayaaaang sama Mbak Narsih.

Mbak Narsih tidak menjawab, tetapi ganti memeluk erat tubuhku. Aku berharap semoga beliau tetap seperti ini. Tidak marah-marah lagi. Tetapi aku menyadari kenyataan seperti orang Semarang bilang. watuk iso mari, nek watak. kapan marine? Watak adalah kodrat manusia yang tidak mampu manusia mengubahnya.

Sudah sebelas hari Mas Pras belum pulang. Selama itu pula aku bersikap sangat hati-hati, tidak ingin kena marah lagi. Aku ingin memelihara suasana damai dengan Mbak Narsih. Setelah kejadian santap siang itu sikap beliau baik. Tapi aku tetap hormat dan takut. Beliau juga tak pernah bicara soal itu.

Kamu hitung, to Kun? Mbak Narsih heran. Ternyata aku peduli dg Mas Pras. Sekarang dia melihat aku yang masih memompa lampu.

Aku kasih tanda tuh di kalender. Alasan sebenarnya aku memberi tanda karena ingin mendapat kepastian, kapan aku bisa masuk sekolah lagi. Aku menunjuk kalender di dinding kamar tamu. Mbak Narsih berdiri mendekat dan memperhatikan dengan cermat kalender itu.

Kok kamu tulis DM. DM, DM, apa sih artinya Mbak Narsih menatapku heran.

Aku terkejut, addduuh! Itu artinya kan damai. Tapi aku harus ngomong apa??? Kemungkinan ini tak kuduga sebelumnya. Sambil mencantelkan lampu aku berpikir keras mau jawab apa. Sialnya karena silau dan gugup, tak juga mau nyantel-nyanthel kolong lampu ini ke tempatya.

Ayooo, apa Kun? Mbak Narsih tak sabar menunggu jawabanku.

Daripada aku bohong kena marah lagi, yaaa lebih baik.

Artinya damai, Mbak. Aku menjawab lirih sambil melepaskan pelan-pelan lampu yang sudah nyantel itu. Karena aku melihat ke atas Mbak Narsih tidak tahu pucatnya wajahku.

Daa. mai? Mbak Narsih mengerenyitkan dahinya. Damai gimana maksudmu, Kun?

Mmm. Sambil memijit-mijit tengkukku yang tidak pegal aku memandang Mbak Narsih malu-malu.

Ayo, awas kalau bohong! beliau berdiri berkacak pinggang. Wah, gawat!

Maaakk. sud saaaayaa, ya damai dengan Mbak Narsih. Akhirnya aku memilih jalan lurus.

Lho, aku kan selalu damai sama kamu? sekarang beliau duduk di dekatku dan memandang lurus mataku. Apa aku kamu anggap musuhmu?

Bukan begitu, Mbak. Aku beringsut mundur, secara reflek aku takut. Justru aku senang selama sebelas hari ini Mbak Narsih tidak marah sama aku. Aku merasa bahagia, kok Mbak.

Kenapa mundur-mundur, takut ya? Kalau tidak salah kenapa takut? nada uaranya tidak galak lagi.

Siapa takut, Mbak. Ini, aku berani maju. Aku mendekat lagi bahkan lebih mepet.

Mbak Narsih tersenyum geli melihat sikapku. Uuuu. cah nakal. dipijitnya hidungku dengan gemes. Aduuuu Mbak, sakit malam itu suasana terasa mesra dan menyenangkan. Sampai jam sebelas malam kami berdua ngobrol akrab. Sepertinya Mbak Narsih menunggu Mas Pras, tapi beliau tidak bilang apa-apa. Mbak Narsih sudah menguap dan masuk ke kamar tidurnya.

Petromax saya matikan kuganti lampu tempel. Aku pun masuk kamar, segera tidur nyenyak dengan mimpi indah. Aku tidak tahu bahwa jam dua belas malam Mas Pras datang. Dalam mimpiku aku bertemu cewek cantik. Cewek yg belum kukenal itu tanpa malu-malu mendekati aku dan menciumi aku. Bajuku dibuka lalu celana ku diturunkan.

Aku sekarang tinggal memakai celana dalam. Dalam alunan musik dangdut cewek itu meluk-liuk kan tubuhnya mengikuti irama sambil melepas pakaiannya satu persatu. Kemaluanku menjadi tegang. Apalagi saat dia mendekat dan mengelus-elus penisku dengan lembut, rasanya nikmat sekali Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang berat menimpa badanku dan kemaluanku terasa basah dan hangat.

Mataku menatap kabur pada bayangan di atas wajahku di kamar ku yang gelap itu. Beberapa saat pandanganku menjadi jelas bahwa itu wajah Mbak Narsih. Aku bermaksud membuka mulut dan bertanya tetapi mulutku dibekap. Ssssst..! beliau menyuruh aku diam. Badanku yang kecil itu merasakan beban yang lumayan berat dari tubuh wanita dewasa itu.

Kuuuunpuasi akuuuu. beliau merebahkan diri di atas tubuhku dan berbisik di telingaku. Aku berusaha menahan berat tubuhnya. Badannya panas sekali. Bau keringatnya yang khas menyeruak membangkitkan nafsuku. Kudorong tubuhnya ke samping, kini aku berhadap-hadapan dengan beliau dalam posisi miring.

Kamussshhh. kamu di. ooouuhdi atasssss. Kun.. segera kuturuti perrmintaan beliau. Aku merasa lebih leluasa melancarkan gerakanku. Kini aku mendengar music dangdut yang kudengar dalam mimpi tadi. Mbak Narsih menyalakan radio kecilku, yang gelombangnya tak pernah pindah dari radio swasta spesial dangdut.

Kapan pula beliau masuk kamarku? Pertanyaan yang tak perlu dijawab, karena situasinya dalam keadaan perang. Di kamarku yang remang-remang, kulihat di bawahku sesosok wanita cantik, yang berhari-hari aku rindukan kehangatan tubuhnya. Mbak Narsih merindukan kehangatan suaminya, dan aku ketagihan merasakan kehangatan tubuhnya.

Meskipun keinginan itu menggebu, tapi aku tak berani meminta. Aku anak kecil. Aku hanya numpang hidup. Pokoknya aku di posisi yang lemah. Kini tiba-tiba saja kesempatan itu datang. Setelah memperoleh kesadaran penuh, timbullah dorongan hasrat yang sangat kuat. Aliran darahku terasa semakin cepat. O, Mbak Narsih, kamu adalah mimpi terindahku setiap malam.

tusukanku semakin mantap. Kurasakan sudut-sudut liang rahimnya yang hangat. Memperoleh serangan balik yang dahsyat, Mbak Narsih memutar-mutar pantatnya. Pandangan matanya liar, mulutnya menganga, kadang-kadang menyeringai menahan kenikmatan yang merambati ujung-ujung syarafnya. Wajah cantiknya berubah ganas dan buas.

Sssshh. Jangan berisik. Kkkuuunnnh. hhffff. nantiMas Prassss.. bangbangngun.. tersengal-sengal Mbak Narsih memberitahu aku. Hah? Ada Mas Pras? Edan tenan. Aku kaget sekali. Tak terasa gerakanku melambat dan berhenti.

Ayooo.. kenapa. terussskeburu bangun dia. Diangkat-angkatnya pantatnya. Kembali kulancarkan seranganku semakin cepat. Kurebahkan tubuhku di dada nya yang putih dan empuk itu. Kini jelas kulihat wajahnya. Rambutnya awut-awutan. Napasnya yang panas menerpa wajahku. Mas Pras sudah pulang Mbak? tanpa menghentikan gerakan aku bertanya

Sudah, Kun.. ah Masmu payah. Kuhisap-hisap putingnya sambil kuremas bukit empuk yang putih itu. Tak tahan diisap dipeluknya tubuhku erat, sambil mencurahkan keluhan hatinya

Aku belum apa-apaMasmu sudah keluar.. langsung loyo dan tidur

Aku nggak bisa tidur, lalu nyetel radiomu. beliau berhenti ngomong lalu mencium bibirku. Kami berciuman dalam kesunyian malam dan iringan irama dangdut. Suara radio ini dimaksudkan untuk menutupi kegaduhan di kamarku ini. Setelah bibir kami lepas. Aku turun dari tempat tidur diikuti Mbak Narsih. Beliau langsung berdiri membelakangiku, pantatnya yang besar itu disodorkannya. Sudut kemaluannya yang gelap itu kontras dengan bokongnya yang putih. Kuarahkan penisku ke sana. Karena terlalu naik, tangan beliau membantu menuntun ujung tongkolku ke arah yang tepat. Lagi-lagi kurasakan kehangatan yang nikmat itu. Kubenamkan semakin dalam. Lubang itu terasa lebih sesak sekarang. Belum pernah aku dalam posisi begini. Batangku yang panjang terasa bisa masuk lebih dalam. Mbak Narsih merintih keenakan. Terusssss., Kun.. cepet ke.. aahhh. cepet. ayo kamu juga keuarkan.. Aku pun sampai di ujung perjalanan, makin lama makin cepat. Lubang Mbak Narsih kali ini sudah becek sekali dan, Kuuun.. aaaahhhhhhh.. dipeluknya aku dengan sangat erat dan penisku terasa dijepit oleh benda lembut dan hangat yg berkedut-kedut. Kubenamkan dalam-dalam kemaluanku dan memancarkan cairan hangat ke liang senggama Mbak Narsih. Serrr. serrr.. ser. Mbaaaakkkk. Aduuuu.. aku keluar. Beberapa saat kemudian beliau menghentikan semua gerakan, terduduk lemas di tepi tempat tidur. Setelah memperoleh kekuatan kembali, beliau beranjak keluar, menuju ke kamar mandi. Aku duduk di sofa kamar tamu menunggu beliau keluar dari kamar mandi. Masih bertelanjang, Mbak Narsih kembali ke kamarnya.

Aku segera mencuci peralatanku dan kembali ke kamarku.

Aku duduk di tepi tempat tidur dan merenung. Ada apa ini? Kucoba untuk merangkai-rangkai berbagai kemungkinan. Mas Pras tengah malam pulang. Pasti beliau sangat lelah. Mbak Narsih yang lama menunggu kedatangan sang suami, mungkin minta oleh-oleh. Karena factor kelelahan atau sebab lain, tugas Mas Pras belum tuntas. Wanita yang haus ini sudah lama berpuasa, tentu nafsunya berkobar-kobar. Ibaratnya bertepuk sebelah tangan, Mas Pras masih lelah. Lalu tidak mampu memberi kepuasan. Kira-kira begitu. Akibatnya, karena tidak puas, ibaratnya makan belum kenyang, lalu nambah. Mungkin, beliau ke kamarku, mempermainkan burungku, sehingga tegang. Begitu bisa dipakai, segera dimasukkan dan dipompa. Saat itulah aku terbangun. Aku juga tidak tahu penyebab sebenarnya. Aku tidak berani bertanya. Hanya saja badanku terasa pegal-pegal sekarang. Aku jatuh tertidur dan.. bangun kesiangan.

Aku takut keduluan Mbak Narsih. Segera aku bangun dan km dapur menyalakan kompor. Merebus air dan mencuci beras. Untung, beliau masih tidur. Kalau kedapatan aku bangun kesiangan, semua pekerjaan pasti beliau selesaikan dengan cepat dan rapi. Aku bisa mati langkah dan siap didiamkan berhari-hari. Lega rasanya. Sampai aku selesai mencuci pakaian dan nasi sudah masak mereka belum bangun. Aku ambil uang belanja di lemari dapur dan beli sayur ke warung. Pulang dari warung Mbak Narsih dan Mas Pras sudah bangun. Aku menyapa dengan sopan, Mas, tadi malam ya pulangnya?

Heeh, gawekna kopi, le! Mas Pras minta aku buatkan kopi. Kuseduh kopi kental tanpa gula. Itu minuman favorit nya. Kutaruh beberapa bongkah gula jawa di mangkuk kecil.

Wah, pinter kamu Kun. Uenake.. kopi pait karo ngemut gula jawa. Katanya sambil menyeruput kopi hitam itu. O, iyaa kamu jadi sekolah nggak?

Aku tersenyum gembira, Jadi, Mas. Besok Senin Mas Pras masih di rumah?

Pokoknya sudah kuberikan dananya dibawa mbakyumu. Minta saja. maksudku kuminta Mas Pras antar aku cari sekolahan, tapi mungkin beliau sudah harus kerja lagi. Ya, sudah nggak apa-apa Yang penting aku pasti sekolah.

Kenapa harus sama Mas-mu, malu ya dianter mbakyumu tanya Mbak Narsih, biasa nadanya galak, aku sudah terbiasa dengan sifatnya itu.

Mboten, Mbak aku menjawab sopan dan menyatakan bahwa diantar Mbak Narsih aku juga mau

Karena semua pekerjaaan pai itu sudah kelar. Aku kembali ke kamar, untuk.. tidur. Lelah sekali badanku setelah berjuang keras semalam. Dari kamar kudengar mereka terus berbincang-bincang.

Dik, keliatannya berat badanmu tambah ya? kudengar suara Mas Pras yang nge-bas.

Kok tau?

Itu rokmu pada kesempitan.

Mas Pras, sekarang harus percaya. Harus yakin. Sepertinya Mbak Narsih serius.

Maksudmu kamu bener-bener bisa hamil? masih datar suara Masku.

Biar aja apa kata dokter, apa kata tabib, sinshe boleh berteori, Aku sudah berhenti 2 bulan lho Mas. Lihat, nih perutku. Lho, tambah lebar. Wudelkutambah monyong. Kubayangkan, pasti Mbak Narsih, membuka roknya dan memamerkan perutnya yang putih mulus itu.

Dik Narsih.. Sungguh bahagia aku hari ini.. akhirnya aku bisa. oh tak ada lagi suara mereka bicara. Pasti merekakalau nggak berciuman ya berpelukan.

Makanya, jangan lama-lama perginya, Mas itu suara Mbak Narsih. Lalu sepi lagi. Peristiwa selanjutnya aku tak tahu, karena aku tidur sampai siang.

Tiga gari Mas Pras di rumah. Pagi itu dia harus berangkat. Jam lima pagi, kernetnya datang memberi tahu kalau muatan sudah dinaikkan. Sudah ditutup deklit, tinggal berangkat.

Kun, kamu cari sekolah yang deket-deket saja. Ngirit. Kalau bisa ar yang masuk siang, Biar ada yang membantu mBakyumu. Dia hamil, Kun. Aga Mbakyumu jangan sampai kelelahan. Mas Pras berpesan sambil mengacak-acak rambutku dengan mesra.

Inggih, Mas. Saya antar sambil membawakan koper berisi pakaian Mas Pras ke truk yang sudah diparkir di ujung gang. Lik Tarjo, kernet setia, memarkir truk itu di situ.

Pagi itu juga aku diajak Mbak Narsih mencari sekolah buat aku. Aku pakai seragam SMP Negeri Dua Jogja, dan Mbak Narsih.. ya ampun.. cantik banget. Pakaiannya sederhana, tapi cocok sekali dengan kulitnya dan tubuhnya yang tinggi semampai. Rambutnya yang agak kemerahan, menambah cantik wajahnya yang oval dihiasi biabir tipis, hidung bangir dan bulu mata yang lentk.

Ada sebuah SMP Swasta di jalan Raden Patah. Masuk siang. Tidak jauh dari rumahku. Di kantor SMP itu Mbak Narsih menjadi pusat perhatian para guru, terutama bapak-bapak guru. Kalau kepergok Mbak Narsih mereka sedang memandangi dengan kagum, mereka terenyum ramah. Yang tidak enak kalau mareka melihat aku, pasti dengan pandangan curiga.

Kalau adiknya kok tidak mirip. Kakaknya cantik, adiknya jelek, gelap lagi. Tetapi kalau pembantunya kok selalu digandeng. Mungkin begitu yang mereka pikirkan. Saat wawancara kulihat Bapak Gur yang berkaca mata minus itu berkali-kali melirik ke belahan dada, Mbak Narsih yang terlihat, karena bajunya berkerah lebar dan rendah.

Aku tidak peduli. Yang penting aku sekarang sekolah lagi.

Bulan Juli, aku sekolah lagi. Sementara itu perut Mbak Narsih sudah semakin besar. Banyak pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan lagi. Satu-satunya yang wajib dikerjakan adalah mengepel lantai. Menurut Bulik Saodah tetangga depanku, itu baik untuk proses persalinan nanti. Jam sebelas pagi, semua pekerjaan harus sudah selesai.

Praktis tenagaku sudah terkuras habis paginya. Di sekolah tinggal sisa-sisa tenaga. Erring aku berjuang keras melawan rasa mengantuk yang tak tertahan saat jam pelajaran. Sisi baiknya mengulang di kelas yang sama terasa amat mudah. Apalagi SMP swasta itu menurut penilaianku levelnya jauh di bawah SMP ku di Jogja.

Pulang sekolah sampai di rumah hampir maghrib. Melihat rumah gelap, yang pertama kulakukan adalah menyalakan lampu pompa. Aku kasihan sama Mbak Narsih. Beliau nggak bisa menyalakan lampu Petromax. Masih berpakain seragam, kutengok keadaan dapur, jemuran dan kamar mandi untuk mengetahui mana yang belum beres.

Wis Kun, nanti saja ngisinya. Kamu lelah. Lemut sekali beliau menyapaku.

Cuma untuk mandi aku, kok Mbak. Aku segera mandi. Rutinitas seperti itu terjadi setiap hari.

Aku biasa mengerjakan peer dan belajar sampai malam. Jarang aku bisa ngobrol-ngobrol lagi. Aku benar-benar tenggelam dengan situasi baruku. Banyak guru yang kukenal baik dan mereka suka padaku. Sebenarnya aku biasa-biasa saja. Tetapi karena banyak teman yang bodoh dan nakal, maka di situ aku dianggap anak yang sopan dan pandai.

Dengan pertnya yang semakin membesar beliau sering menemani aku mengerjakan peer atau belajar. Sering beliau mengajak bicara, tetapi aku menjawab seperlunya, karena aku konsentrasi ke pelajaran.

Saat itu sedang banyak ulangan. Aku sedang tenggelam dalam keasyikan belajar. Kuakui aku memang kutu buku. Matematika adalah pelajaran favoritku. Aeperti biasa, beliau duduk di sampingku, aku sibuk menulis dan mngerjakan soak-soal atau menjawab peer. Aku heran, kenapa sejak tadi Mbak Narsih tidak bertanya.

Mbak, kalau sudah ngantuk sare dulu, to? aku berbasa-basi sambil menoleh. Aku terkejut melihat mata beliau basah. Air matanya mengalir di piinya yang sekarang tampak tembem.

Mbak,. kenapa? aku menghentikan aktifitasku.

Nggak apa-apa. teruslah belajar, kamu memang anak rajin, tekun dan baik. Jawabnya diserati isak tangis tertahan. Apa maksudnya, ya?

Kamu dan Mas Pras sama saja, ya. Semua sibuk. Kini tangisnya pecah. Aku bingung. Sebagai anak-anak aku belum bisa memahami perlunya memberi perhatian pada orang tua. Tetapi kini aku sadar, bahwa selama ini, aku melupakan kehadiran Mbak Narsih. Hatiku tersentuh oleh isak tangisnya. Secara naluriah kupegang tangannya.

Mbak. Maafkan Kun. Aku bener-bener keterlaluan. Aku salah, Mbak.. tak bisa kulanjutkan kata-kataku. Dadaku penuh keharuan. Mataku jadi panas dan basah. Kupeluk beliau dengan penuh perasaan menyesal. Mbak Narsih tetap menangis dan sikapnya pasif sekali. Kucium tangannya, kuciumi pipinya diaaaam saja.

Aku menjadi serba salah. Karena malam semakin larut dan Mbak Narsih tidak juga masuk kamar, masih tetap duduk di sofa. Aku ambil inisiatif. Kuambil selimut dan bantal. Kurebahkan beliau di sofa. Menurut saja. Kuselimuti diam saja. Malam itu aku menunggui beliau tidur di sofa, aku tidur di karpet di bawah sofa.

Aku jadi tau, bahwa orang hamil itu suka bermanja-manja. Suka minta yang aneh-aneh. Mulai hari itu aku lebih banyak memperhatikan keadaan beliau.

Kun, aku pengin dimandiin seperti waktu aku sakit dulu itu, lho

Baik, Mbak. Aku siapkan air hangat dan lap pel. Kumasukkan kursi kayu ke kamar mandi.

Tanpa ada rasa malu sedikitpun beliau langsung telanjang di hadapanku. Lucu juga melihat bentuk tubuhnya. Perut maju, pantat semakin lebar. Putting susu jadi hitam dan lebar kini bongkahan bukit kembar yang putih itu semakin melebar saja. Kupandangi semuanya itu dengan pebuh kekaguman. Apa bisa orang hamil itu digituin ya?

Aku berpikiran ngeres. Badanku terasa panas dan penisku semakin mengeras. Kini beliau sudah duduk. Segera kuguyur tubuhnya dengan air hangat. Tibunya kini bercahaya bagai dilapisi kaca. Kusabuni punggungnya. Pantatnya.. Penginnya aku menyabuni bagian depan. Susunya sangat menantang untuk disentuh, tapi aku masih jaim.

Mbak Narsih rupanya tidak sabar dengan sikapku yang sok jaim itu. Dipegangnya tanganku yang membawa sabun. Di arahkan ke dadanya. Saat kusabuni, benda kembar itu terayun-ayun. Aku tau beliau paling suka kalau sambil diremes, Bener juga, beliau mendongak ke atas menahan nikmat.

Kini tangaku berada diperut beliau. Aku jongkok di hadapan beliau. Kemaluan beliau Nampak jelas. Ditumbuhi rambut jarang. Kusabun perutnya dulu, makin lama makin turun. Akhirnya sampailah jariku di tepi hutan Tak sabar jariku segera menyentuh si merah kecil. Begitu kena sentuhan, desisnya semakin jelas terdengar.

Kamu duduk di situ. Mbak Narsih berdiri. Aku duduk di kursi dengan batang tegak teracung.

Mbak Narsih pelan-pelan mengarahkan pantatnya dan duduk dipangkuanku.

Lho, Mbak. nggak apa-apa? tapi sebagai jawaban pantat nan putih itu semakin turun. Satu tangan beliau memegang penisku mengarahkan ke lubangnya. Masuknya si hitam ke lubang kenikmatan itu disertai desisan yang punya lubang. Oohhhh. sssssh Pantat beliau naik turun diiringi bunyi cropcrop.

Enak.. banget Kuuuun.. hhh. hhh.. hhhh..

Aku mengambil gayung lalu kuguyur badannya yang penuh sabun itu. Aliran air hangat itu menambah nikmat persetubuhan aneh itu. Kuguyur lagi sambil kugosok punggung dan pundaknya. Begitu terus menerus sambil aktif naik turun beliau tetap kumandikan. Dari pantulan cermin di kamar mandi, kulihat susunya terayun-ayun indah saat pantatnya aktif naik turun.

Aaaahhhhterussss. kamu pinter. Kun.. gerakan naik turunnya melemah, kelelahan juga akhirnya. Sekarang Mbak Narsih duduk di bibir bak mandi yang cukup rendah dan lebar. dibukanya lebar-lebar kedua pahanya. Lubang kenikmatannya yang sudah amburadul itu menganga. Sikunya bertelekan di tembok. Sambil berdiri kumasukkan lagi tongkat ajaib yang disukai Mbak Narsih itu.

Dalam posisi tengadah seperti itu kukira lubang itu akan semakin lebar dan kendor. Tetapi aneh, malah tambah seret dan menggigit. Kamar mandi itu menjadi ajang pertempuran aneh Perutnya yang membuncit bergoyang-goyang saat kusodok-sodok. Baru tau aku sekarang. Ternyata orang hamil, masih suka main, Menurutku malah lebih hot

Kuuuuunnn.. jangan.. tinggalkan Mbak Narsih

Tidak lagiMbak.

Addduuuuukono kuwi Kun. enaaaaakkkkk.

Mbaaaaak. Tempikmu.. anget banget, Mbak..

Teruussssyang dalam.. dalam.

Mbaaaakkkk.. aku nggak tahan lagi. ayo Mbaak.

Ooohhhh. ssshhhaku. akujugahampiiiiirr. Ku uun

Mbak Narsih memutar-mutar pantatnya dan aku menghunjam semakin dalam. Gelombang kenikmatan datang bergulung-gulung. nafas kami berdua terpantul berisik oleh dinding kamar mandi beratap seng. Keringatku membanjir demikian pula Mbak Narsih. Bau sabun wangi yang bercampur bau keringat menimbulkan suasana aneh yang sangat merangsang. Akhirnya tak kuat lagi kami menahan datagnya tsunami kenikmatan itu. Pancaran spermaku terasa deras menyemprot dinding rahim beliau yang juga banjir. Karena licin, tubuh Mbak Narsih kepleset nyemplung utuh ke bak mandi. Untung bak mandinya rendah dan berisi penuh air, sehingga tidak terasa sakit. Kubantu untuk mentas. Kini aku sendiri mandi jebar-jebur membersihkan diri. Mbak Narsih membantu menggosok punggungku. Handuk kita pakai berdua. Masih bugil, kutuntun Mbak Narsih ke kamarnya. Beliau tidak ambil ganti pakaian malah tiduran. Aku ditariknya untuk ikut tidur. Padahal sudah jam setengah sembilan pagi.

Kun.. bawa sini manukmu

Mau apa Mbak..

Tak banyak bicara. Segera mulutnya menciumi burungku yang kini tegang lagi. Melihat benda ini bertambah panjang dengan cepat, tak sabar Mbak Narsih memasukkan ke dalam mulutnya. Aku jadi berkelojotan. Rasanya geli-geli nikmat..

Kun, puasi aku. Kamu biarkan Mbak Narsih kesepian sejak kamu sekolah. Ayo hari ini kamu nggak boleh masuk. Adduuh, padahal ada ulangan dan aku sudah belajar mati-matian.

Memang benar-benar gila sex wanita satu ini. Pagi itu aku melayani beliau sampai jam sebelas. Belum belanja, belum masak. Pagi yang melelahkan. Seharian beliau bermanja-manja. Makan minta disuapi. Mandi harus ditunggui. Mengingat pesan Mas Pras, ku rela tidak masuk hari itu.

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan