2 November 2020
Penulis —  Lanino

HANGATNYA SURGA DUNIA - kisah nyata

Terawangan masa laluku buyar ketika Mama sudah menghidangkan nasi goreng untukku. Mama sudah tahu benar nasi goreng seperti apa yang kusukai. Dan malam ini Mama lain dari biasanya. Ada 2 sendok dan 2 garpu di piringku. Nasi gorengnya pun lebih banyak dari biasanya.

“Mau sepiring berdua, Sayang?” Mama mengecup pipiku. Aneh… ada getaran khusus di hatiku. Senang rasanya diperlakukan mesra seperti itu oleh ibu tiriku. Dia memang ibu tiri yang baik. Tapi malam ini dia jauh lebih baik lagi.

Layaknya sepasang kekasih, kami lalu makan di piring yang sama. Terkadang saling pandang dan tersenyum.

“Nanti aku tidur sama Mama ya,” kataku setelah nasi goreng dilahap habis oleh kami berdua.

“Iya,” Mama mengangguk, “Tapi kalau ayahmu sudah pulang, jangan memperlihatkan sikap yang mencurigakan ya.”

“Tentu aja dong,” sahutku sambil menyeka mulut dengan kertas tisue, “Mama juga jangan memperlihatkan sikap yang bisa membuat papa cemburu.”

Ibu tiriku tertawa kecil. Lalu katanya, “Sebenarnya ayahmu cemburuan lho.”

“Mungkin karena perbedaan usia yang terlalu jauh,” lanjut Mama, “Makanya kita harus hati-hati. Harus rapi.”

Aku cuma mengangguk perlahan. Ibu tiriku tidak tahu bahwa aku sudah 2 tahun bisa memegang rahasia, bisa menjaga sikap, sehingga tiada orang tahu apa yang sudah kulakukan bersama Mbak Ning selama 2 tahun.

Dan yang jelas, aku merasa rumah orang tuaku ini seolah telah menjadi istana birahiku…

MALAM itu seolah jadi malam surgawi bagiku. Karena mimpiku telah menjadi kenyataan. Bukan hanya bisa menyetubuhi Mama, bahkan Mama tampak ketagihan. Dalam hal ini ada perasaan bersalah juga di hatiku, karena aku telah menghianati ayahku sendiri. Tapi semuanya sudah telanjur terjadi. Aku dan ibu tiriku pasti sulit menghentikannya.

Selesai makan nasi goreng, untuk pertama kalinya aku tidur bersama ibu tiriku. Tentu bukan cuma tidur. Kami lakukan lagi persetubuhan yang ketiga kalinya. Yang ketiga ini lebih edan-edanan. Kami bergulingan, saling remas, saling lumat dan kembali mengatur supaya mencapai titik kepuasan dalam waktu berbarengan.

Lalu kami sama-sama terkapar dalam kepuasan. AKhirnya kami tertidur sambil saling berpelukan dalam keadaan sama-sama telanjang bulat. Begitu nyenyaknya aku tidur, sehingga tak peduli lagi pada tubuhku yang tidak ditutupi sehelai benang pun. Bahkan selimut pun masih terlipat dengan rapi, tidak kami pakai untuk menyelimuti tubuh bugil kami.

Tapi pagi-pagi sekali, ketika hari masih gelap, aku rasakan yang lain pada batang kemaluanku. Ada elusan yang luar biasa enaknya, sehingga aku membuka mataku perlahan. Ternyata Mama sedang menyelomoti batang kemaluanku!

Aku terdiam dan berpura-pura tetap tidur. Tapi batang kemaluanku mulai menegang lagi. Ah, gila… permainan bibir dan lidah Mama terasa begini enaknya… sehingga nafsu birahiku bergejolak lagi dengan hebatnya.

Kemudian Mama berjongkok dengan kakinya berada di kanan kiri pinggulku. Rupanya Mama sedang berusaha memasukkan batang kemaluanku ke dalam memeknya.

Blesss… batang kemaluanku membenam lagi ke dalam liang memek Mama, disusul dengan penjatuhan dada Mama ke atas dadaku, sehingga aku pun membuka mataku.

“Katanya gak mau main di atas,” kataku sambil memeluk pinggang Mama.

“Demi kamu, mama lakukan semuanya,” sahut Mama sambil menggerak-gerakkan pantatnya naik turun, sehingga batang kemaluanku jadi keluar masuk di dalam mliang kemaluan Mama yang terasa hangat ini.

Dinginnya udara pagi tak terasa lagi. Kehangatan dan kenikmatan membuatku mulai berkeringat. Dan diam-diam aku teringat ucapan Mbak Ning beberapa bulan yang lalu, “Bersetubuh menjelang pagi begini enak lho Den.”

Kini aku makin membenarkan kata-kata Mbak Ning itu. Bahwa pada saat tubuh sedang segar-segarnya, setelah semalaman istirahat, aku mendapat “santapan pagi” yang sungguh lezat rasanya.

Mama tambah merangsangku dengan kata-katanya yng mulai agak jorok buat seorang wanita yang selama ini kusegani, “Enak ya ngentot subuh-subuh gini?” desisnya sambil mempergila ayuna pinggulnya. Sehingga batang kemaluanku seperti dibesot-besot ke atas ke bawah ke kanan ke kiri.

“Iya Mam,” sahutku mengimbangi, “ternyata memek Mama enak sekali…”

“Kontol kamu juga enak, sayang. Papamu kalah jauh… dudududuuuuuuhhhhh… enak sekali sayang… iiiih… aku bisa jadi tambah sayang sama kamu Ton…”

“I… iii… iya Mam… mmm… mmmh… enak Mam… ooooh… oooh…”

Tiba-tiba Mama menghentikan ayunan pinggulnya, “Wah, kalau posisi gini aku bisa cepat orga, Ton… ganti posisi ya.”

“Mama mau di bawah?” tanyaku sambil merebahkan tubuh ke samping ibu tiriku, sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang kemaluan ibu tiriku.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Mama terlentang sambil mengganjal pinggulnya dengan bantal. Lalu kedua kakinya direntangkan lebar-lebar. Sehingga kemaluan Mama tampak merekah, tampak kemerahan bagian dalamnya.

“Supaya apa diganjal bantal gitu Mam?” tanyaku polos.

“Biar bisa masuk semuanya,” Mama tersenyum sambil mengelus kemaluannya sendiri.

“Oya? Masukin lagi?”

“Iya sayang… cobalah… pasti beda rasanya.”

Aku tersenyum, lalu mengikuti petunjuk Mama, memasukkan batang kemaluanku ke dalam memek Mama yang sudah agak basah. Kemudian aku menahan tubuhku dengan kedua tangan tertekan di kanan kiri Mama, seperti tukang becak yang sedang memegang stang becaknya. Gila, Mama benar. Rasanya batang kemaluanku amblas sepenuhnya ke dalam liang kemaluan Mama yang mencuat ke atas.

“Wah… lebih mantap Mam…”cetusku sambil mengayun batang kemaluanku.

Mama pun mengangkat kakinya sampai melewati bahuku, sehingga kakinya menggantung di bahuku, sehingga makin leluasa aku membenamkan batang kemaluanku sedalam-dalamnya.

Sampai fajar menyingsing, aku masih mengayun batang kemaluanku. Keringat pun mulai bercucuran, berjatuhan ke perut dan dada Mama. O, sungguh pagi yang indah sekali.

Aku merasa bangga, karena dalam senggama di pagi ini aku berhasil membuat Mama dua kali orgasme. Aku memang jadi tangguh sekali. Karena dalam semalaman sampai pagi ini aku telah bersetubuh empat kali dengan ibu tiriku.

Seperti kata orang, “lama tidak begituan, begituan tidak lama”. Dan aku sebaliknya, “sebentar tidak begituan, begituan tidak sebentar”.

Tapi aku kasihan melihat Mama yang seperti sudah kepayahan disetubuhi olehku. Maka dengan berkonsentrasi agar cepat ejakulasi, akhirnya aku membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai menyeruduk ujung liang kemaluan Mama. Dan… bersemburanlah air mani dari zakarku, memancar-mancar di dalam liang kemaluan Mama.

Aku pun lalu ambruk ke dalam dekapan ibu tiriku.

“Aduuh… gila kamu… lama sekali, sayang…” kata Mama sambil mencium pipiku.

“Tadi masih bisa bertahan, tapi kasihan Mama kayak yang sudah ngos-ngosan gitu,” kataku sambil mempermainkan payudara Mama yang masih dibasahi keringat.

Tak lama kemudian Mama bangkit dari tempat tidur, “Mandi dulu Ton, biar seger badannya di sekolah nanti.”

“Iya Mam. Hari ini mau ngajar?”

“Iyalah. Ini kan bukan hari libur. Kamu juga mau sekolah kan?”

“Iya Mam.”

“Awas Ton… kejadian yang kita alami ini jangan sampai membuat kamu nggak lulus nanti.”

“Iya Mam. Justru kalau Mama nggak ngasih… mungkin jadi ingatan terus… bisa ngelamunin Mama terus, lalu lupa sama pelajaran.”

Ibu tiriku tersenyum. Lalu mencubit perutku sambil mengajak, “Mau mandi bareng?”

“Mau Mam. Kalau papa sudah datang kan gak bisa,” sahutku sambil mengikuti langkah Mama ke kamar mandi.

Begitulah, seperti sepasang pengantin baru, aku dan ibu tiriku mandi bersama. Menyenangkan sekali. Bisa saling sabuni di bawah semburan shower air hangat. Semuanya kami lakukan dengan mesra sekali. Semuanya indah, membuat kami lupa siapa kami.

Sejak peristiwa indah itu ibu tiriku semakin baik kepadaku. Selama Papa tidak ada, aku dan Mama habis-habisan melampiaskan nafsu birahi kami. Kapan saja aku mau, Mama selalu meladeniku. Padahal ujian tinggal sebentar lagi. Tapi aku tidak gentar. Aku bukan anak bodoh kok.

Namun setelah Papa datang, terpaksa kutindas-tindas kalau nafsuku sedang timbul. Karena tentu saja aku tidak berani berbuat yang aneh-aneh setelah Papa ada di rumah. Maka kucurahkan perhatianku kepada mata pelajaran, karena ujian semakin dekat dan semakin dekat saja.

Masa ujian pun tiba. Aku berhasil melaluinya tanpa kesulitan. Aku yakin, aku pasti lulus. Dan setelah ujian selesai, aku bisa bernafas lega.

Yang membuatku sulit bernafas, adalah kesempatanku untuk menyetubuhi ibu tiriku seolah sudah tertutup. Karena setelah Papa ada, aku jadi tak berkutik. Anehnya, ada desir cemburu di dalam hatiku. Karena mungkin ibu tiriku bisa meluipakan aku, karena ada ayahku yang bisa dijadikan pelampiasan hasrat seksualnya.

Memangnya gak ada perempuan lain? Mengapa aku harus membayangkan ibu tiriku terus? Bukankah ia milik ayahku?

Sebenarnya ada cewek yang mulai kudekati. Dia adik kelasku. Sinta namanya. Cantik orangnya. Tapi sedikit pun aku tak punya niat untuk memperlakukannya seperti kepada Mbak Ning ataupun ibu tiriku. Aku malah bermaksud ingin menikahinya, kalau sudah punya kerja nanti.

Aku dinyatakan lulus tapi aku gagal dalam UMPTN, sehingga aku pilih program D2 saja, biar cepat dapat kerja, cepat menikah dengan Sinta, karena diam-diam aku sudah sama-sama berjanji untuk menjadi pasangan hidup.

Pada masa aku mulai kuliah inilah, terjadi suatu perubahan di dalam rumahku, di dalam istana birahiku.

Adik ibu tiriku jadi tinggal di rumahku. Tante Vivi namanya.

Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Tante Vivi jadi janda. Padahal umurnya baru 24 tahun. Tapi sepintas lalu kudengar cerita dari Papa, bahwa adik ibu tiriku itu tidak pernah menikah secara resmi. Ia hanya menikah siri dengan seorang pengusaha. Dan setelah ketahuan oleh istri resmi pengusaha itu, Tante Vivi harus diceraikan, tiada ampun lagi.

Cerita yang sebenarnya aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, sejak bercerai dengan pengusaha itu, Tante Vivi jadi tinggal di rumahku.

Pada awalnya aku merasa kehadiran Tante Vivi sebagai gangguan. Karena hubungan rahasia dengan ibu tiriku jadi ada penghalang. Tentu saja aku tidak berani bersikap mesra kepada ibu tiriku di hadapan adik kandungnya itu.

Lalu kalau nafsu birahi sedang menggodaku, terpaksa kutindas-tindas, karena takut ketahuan oleh Tante Vivi.

Tapi Tante Vivi rajin sekali. Sejak ada dia, segala pekerjaan rumah Mama diambil alih. Dari mulai menyapu dan mengepel lantai sampai memasak di dapur, Tante Vivi yg mengerjakannya. Bahkan pakaianku juga dicuci dan disetrika oleh Tante Vivi. Padahal sudah sering aku melarangnya, agar pakaianku dicuci olehku sendiri.

Lama-lama aku jadi kasihan juga kepada adik ibu tiriku itu. Aku selalu berusaha membantu pekerjaannya, tapi dia melarangku. Dia bilang, “Tante biasa sibuk. Kalau gak ada kerjaan malah bisa melamun ke mana-mana.”

Sampai pada suatu pagi…

Kebetulan hari itu aku libur, gak ada kuliah. Papa sudah berangkat ke kantornya, Mama pun pergi ngajar. Agak kesiangan aku bangun. Di belakang kulihat Tante Vivi sedang mencuci kain seprai. Pada saat itulah mendadak saja ada yang berdesir di darahku. Karena Tante Vivi sedang berjongkok begitu, menyuguhkan pemandangan yang luar biasa asyiknya.

Tapi aku menyumpahi diriku sendiri, “Gila! Pikiran ini harus kuusir! Sudah ibu tiriku diembat, adiknya pula membuatku nafsu?! Sudah gilakah aku?”

Lalu bergegas aku masuk ke dapur, karena tujuanku saat itu hanya mau mengambil air minum.

Tapi, sambil minum teh manis panas di dalam kamarku, “si Jhoni” gak mau kompromi. Ngaceng terus. Pemandangan indah tadi betul-betul merangsang. Terlebih kalau kubanding-bandingkan antara Tante Vivi dengan ibu tiriku, memang Tante Vivi sedikit di atas ibu tiriku. Wajah ibu tiriku dengan adiknya itu tidak mirip sedikit pun.

Kalau aku menilai secara jujur, ibu tiriku layak mendapat nilai 7, sementara Tante Vivi layak mendapat nilai 7,5!

Tapi apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku ini? Mengapa aku seperti cowok kuper dan lalu memikirkan wanita-wanita di dalam rumahku sendiri?

Entahlah. Yang jelas waktu aku mandi di pagi itu, aku ingin bermasturbasi di dalam kamar mandi. Karena rasanya batang kemaluanku tegang terus. Biar jangan “naik ke otak” mending dikocok saja. Tapi saat itu ada yang tidak kupedulikan. Pintu kamar mandi tidak dikunci. Memang biasanya juga tak pernah dikunci, karena kamar mandiku bersatu dengan kamarku.

Aku tuangkan sabun cair ke tanganku, untuk ngocok!

Tapi sebelum niatku terlaksana, pintu kamar mandi terbuka tanpa kusadari, karena suaranya kalah oleh suara semburan air hangat dari shower. Tahu-tahu terdengar suara perempuan di ambang pintu kamar mandi, “Mana pakaian kotornya yang mau dicuci, Ton? Aawww… kamu… !”

Perempuan itu, yang tak lain dari Tante Vivi, terbelalak melihatku sedang memegang batang kemaluanku yang sedang ngaceng berat ini.

Aku terkejut karena menyadari bahwa diriku sedang bertelanjang bulat dan memegang batang kemaluanku yang sedang ngaceng berat ini…

Lalu pintu kamar mandi ditutupkan lagi oleh Tante Vivi. Kusangka takkan ada kelanjutannya. Karena itu selesai mandi aku santai saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh cuma dililiti handuk. Dan kulihat sesuatu yang tidak seperti biasanya. Kulihat Tante Vivi sedang menelungkup di atas tempat tidurku, sambil memijat-mijat punggungnya.

“Kenapa Tante?” tanyaku, lupa bahwa hanya lilitan handuk yang menutupi tubuhkuku dari perut ke bawah lutut.

“Nggak tau Ton… mendadak sakit perut,” sahut adik ibu tiriku.

Terdorong oleh rasa solidaritas, karena kusangka ada sesuatu yang darurat, aku menghampiri Tante Vivi. “Sakit perut kok mijitin punggung?” tanyaku heran.

“Sakitnya emang sampai ke punggung-punggung… tolong dong pijitin tante Ton.”

“I… iya…” sahutku tergagap, karena pergelangan tanganku digenggam oleh Tante Vivi. Tangannya terasa hangat, mungkin karena tubuhku dingin lantaran habis mandi.

“Pijitin apanya Tante?” tanyaku sambil melirik ke arah pahanya yang tidak tertutup dasternya. Kurasa daster Tante Vivi terlalu pendek, karena mempertontonkan sebagian besar pahanya.

“Punggungnya aja dulu, tapi tolong ambilin lotion di kamar tante. Mijitnya harus pake lotion. Bisa kan?”

“I… iya Tante.”

Karena kupikir keadaannya darurat, aku agak panik dan bergegas menuju kamar Tante Vivi. Hanya dengan badan berlilitkan handuk. Setelah mengambil lotion di meja rias, aku kembali ke kamarku, di mana Tante Vivi masih menelungkup di atas tempat tidurku.

Sesaat aku terpana menyaksikan kemulusan paha Tante Vivi. “Mmm… ka kalau ma… mau pake lotion, berarti ha… ha… harus dibuka dasternya, Tante…” kataku agak tergagap.

“Iya,” sahut Tante Vivi dalam keadaan tetap telungkup, “singkapin aja sama kamu, Ton.”

Tanpa berpikir panjang lagi kupegang ujung bawah daster adik ibu tiriku itu. Lalu kusingkapkan ke atas, sampai punggungnya terbuka. Dan… o my God! Apakah aku tak salah lihat?? Punggung Tante Vivi putih mulus. Tapi ada satu hal yang membuatku benar-benar terkejut… jelas sekali… Tante Vivi tidak mengenakan celana dalam!

Tentu saja ini mendebarkan, terlalu mendebarkan. Karena dalam keadaan telungkup seperti itu, aku bisa melihat tubuh Tante Vivi dari ujung kaki sampai punggungnya. Dan buah pinggulnya yang besar itu… ah… aku mulai sulit bernapas nih.

Aku jadi malu sendiri, karena pikiranku mulai ke mana-mana lagi. Tapi cepat kutindas pikiran tak menentu ini dengan mengalirkan lotion ke telapak tanganku, kemudian mulai mengusap-usapkannya ke punggung Tante Vivi, sambil memejamkan mata.

Aku mengerti apa yang sedang terjadi dalam jiwaku ini. Bahwa aku mulai diamuk oleh napsu. Tapi seandainya Tante Vivi tahu isi hatiku, apakah ia takkan marah atau menertawakanku? Ah, entahlah. Yang jelas aku berusaha melakukan pemijatan sebaik mungkin. Keahlianku ini memang boleh diandalkan. Karena sejak masih di SD aku sering disuruh memijati ayahku, kemudian beliau sering memberi pengarahan tentang cara memijat yang benar.

Keahlian terpendam ini mengundang reaksi dari Tante Vivi: “Ooooh… pijatanmu kok enak sekali, Ton… gak nyangka kamu pintar mijat… belajar dari mana?” tanyanya sambil tetap menelungkup.

“Gak belajar dari mana-mana,” sahutku, “cuma sering disuruh mijatin Papa… dan Papa sering ngasih petunjuk supaya benar mijatnya…”

“Enak Ton,” kata Tante Vivi lagi, “Rasanya kena semua urat pentingnya… tolong sampai ke kakinya juga ya… biar badanku seger lagi.”

“I… iya tante,” sahutku tersendat, karena diam-diam pandanganku berkali-kali tertuju ke arah buah pantatnya yang belum berani kusentuh. Tapi tanganku memang mulai bergerak ke situ… ke buah pantat yang besar dan menggiurkan itu…

Kutuangkan lagi lotion banyak-banyak ke telapak tanganku. Lalu kuusap-usapkan ke buah pinggul Tante Vivi dengan jantung semakin berdegup-degup dan perasaan tak keruan. Semakin degdegan ketika aku memijat-mijat buah pinggul Tante Vivi, karena kaki adik ibu tiriku itu malah direnggangkan, sehingga…

Ketika aku melanjutkan pijatanku di buah pinggul yang besar ini, Tante Vivi memujiku terus, “Enak Ton… pijatanmu enak Ton… iya ke situ terus Ton… enak…”

Ah, tahukah Tante Vivi bahwa aku sedang seperti edan-eling, karena tanganku sedang meluncur ke arah pangkal pahanya, berarti akan melewati bibir kemaluan yang agak terbuka itu… yang memperlihatkan bagian berwarna merah jambu di dalamnya itu!

Namun aku lalu jadi nekad. Tanganku mulai mengelus bibir kemaluan Tante Vivi, sambil menunggu reaksi. Mungkin dia akan marah. Ah, biarin aja. Aku mau pura-pura bego aja.

Tapi apa yang terjadi? Ketika aku mulai memijat pangkal paha dan sekali-sekali mengelus bibir kemaluan yang terbuka itu… Tante Vivi malah barkata, “Ih… enak sekali elusanmu Ton… iya di situ… terusin Ton… oooh… enak… enak Ton…”

Ini membuatku jadi berani. Jariku bukan hanya mengelus bibir kemaluan Tante Vivi di antara kerimbunan rambut kemaluannya yang semakin tampak lebat itu… jariku bahkan mulai merasakan ada yang basah dan hangat dan licin… kuelus terus… sementara Tante Vivi mendesah-desah sambil terus-terusan memujiku…

Dan tiba-tiba saja Tante Vivi berbalik jadi menelentang, sambil menyingkapkan dasternya tinggi-tinggi, sampai memperlihatkan sepasang payudara montoknya itu.

“Lanjutin Ton… sambil celentang gini pasti lebih enak…” kata Tante Vivi sambil memejamkan matanya. Sehingga aku semakin kebingungan. Tapi aku mulai juga memijit-mijit paha Tante Vivi, dengan perasaan semakin tak menentu.

“Naik terus Ton… bagian yang tadi kamu elus itu… enak sekali,” kata Tante Vivi tanpa membuka matanya. Apakah dia sengaja memejamkan matanya supaya aku tidak merasa canggung? Entahlah. Yang pasti, tanganku mulai berkeliaran di pangkal paha Tante Vivi. Dan mulai menyibakkan rambut kemaluan yang lebat itu.

Lalu tanganku mulai menyentuh bibir kemaluan Tante Vivi lagi. Dan Tante Vivi malah semakin merenggangkan kakiny, seolah sengaja memberi keleluasaan padaku untuk “mengurus” kemaluannya yang berbulu lebat hitam itu.

Aku mulai memperhitungkan semua kemungkinan. Mungkin Tante Vivi memang membutuhkan belaian dan cumbuan lelaki. Bukankah dia sudah menjadi seorang janda sekarang? Tapi aku takut dugaanku salah. Maka kulakukan semuanya dengan halus. Aku tak mau kelihatan bahwa sebenarnya aku sudah bernapsu sekali.

Aku mulai memusatkan kegiatan jari jemariku di sekitar kemaluan Tante Vivi. Mengelus bibirnya, terkadang menyodok sedikit ke dalam… hangat dan licin… paha Tante Vivi bergetar.

Tiba-tiba aku tak kuasa lagi bertahan. Wajahku mendekati kemaluan berbulu lebat itu. Lalu… kuciumi kemaluan Tante Vivi yang hangat dan merangsang itu. Dan terasa kepalaku dipegang oleh Tante Vivi. Kudengar pula suaranya, “Iya Ton… oooh… tante sudah lama tidak merasakan dibeginiin… iya Ton…

Pucuk dicinta ulam tiba. Aku benar-benar merasa dikasih lampu hijau. Maka dengan ganas kujilati kemaluan Tante Vivi, sehingga terasa tubuh adik ibu tiriku itu mengejang-ngejang… napasnya pun tertahan-tahan…

“Ton…” desis Tante Vivi terengah.

“Iya Tante?” kuhentikan dulu jilatanku.

Tante Vivi menarik handuk yang melilit di tubuhku, sehingga aku tinggal bercelana dalam saja. Lalu dengan ganas Tante Vivi menerkamku. Menciumiku sambil meremas-remas rambutku.

Tidak cuma itu. Sambil menggumuliku, diam-diam tangan Tante Vivi mulai merayap ke balik celana dalamku. Dan mulai menggenggam batang kemaluanku!

“Ton!” seru Tante Vivi tertahan, “Punya kamu kok gede gini? Waaaah… gak nyangka… sudah ngaceng pula… yok kita mainkan aja Ton…”

“Main apa Tante?” tanyaku pura-pura bodoh.

Tante Vivi membisiki telingaku, “Ngentot, sayang… wah… kontol panjang gede gini sih pasti enak…”

Aku cuma terdiam ketika celana dalamku direnggut oleh Tante Vivi. Juga pura-pura bodoh saja ketika ia menimang-nimang batang kemaluanku, seperti menemukan sesuatu yang sangat didambakannya. Lalu dengan binalnya Tante Vivi menelentang sambil meraih tubuhku, merentangkan kaki sambil menggenggam batang kemaluanku.

Tak tahan dengan semuanya ini, aku tak mau menunggu komando lagi. Kudorong kontolku kuat-kuat… dan… blesssssssss… terasa melesak masuk ke dalam liang kemaluan Tante Vivi, sedikit demi sedikit. Waktu baru masuk setengahnya, kutarik lagi batang kemaluanku, kemudian kudorong lagi lebih dalam dari tadi.

Tanpa menunggu komando lagi, aku mulai mantap mengayun batang kemaluanku, sambil mempermainkan payudara Tante Vivi yang montok dan masih sangat kencang itu. Tante Vivi seperti wanita yang sangat haus, lalu menikmati semuanya dengan ganasnya. Pinggulnya bergoyang-goyang erotis sekali, meliuk-liuk dengan gerakan seperti angka 8, membuat batang kemaluanku seperti dibesot-besot dengan edannya.

Pada satu saat Tante Vivi merengkuh leherku, kemudian menciumi bibirku, bahkan lalu melumatnya dengan penuh gairah. Aku pun tak tinggal diam. Kulumat juga bibir dan lidah Tante Vivi yang terasa hangat ini. Sementara gerakan batang kemaluanku semakin ganas bergerak-gerak seperti pompa manual, maju mundur dan keluar masuk di dalam jepitan liang memek Tante Vivi.

Semua ini memang tidak direncanakan. Sehingga aku seolah mendapatkan durian runtuh… malah jauh lebih enak daripada durian!

Maka ketika Tante Vivi semakin “ribut” merengek-rengek histeris, oooh Ton… oooh… enak Ton… oooh… oooh… maka aku pun mulai “mengimbanginya” dengan cetusan-cetusan jujurku, “Duuuh, Tanteee… memek Tante kok enak sekali, Tan… oooh… oooh… oooh… oooh…”

Cukup lama kami melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku pun mulai bercucuran. Sementara Tante Vuivi merintih-rintih terus.

Sampai pada suatu saat :

“Ini terlalu enak Ton… duuuh tante sudah mau keluar nih… emut tetek tante, sayang,” desah Tante Vivi sambil merengkuh leherku, mengarahkan wajahku ke payudaranya yang sebelah kiri.

Kuikuti keinginan Tante Vivi. Kusedot sambil kujilat-jilat pentil payudara kiri Tanbte Vivi, sementara tangan kiriku meremas-remas payudara kanannya.

Tiba-tiba sekujur tubuh Tante Vivi terasa mengejang. Pelukannya pun jadi erat sekali, seolah ingin meremukkan tubuhku. Lalu terdengar rengekan lirihnya, “Oooh… Tooon… tante keluar Tooon…”

Lalu terasa liang kemaluan Tante Vivi membasah dan menghangat. Bahkan terasa ada yang mengejut-ngejut di dalam liang vaginanya.

Maka gerakan batang kemaluanku jadi semakin lancar memompa liang memek yang sudah terasa becek itu, sehingga terdengar bunyi crek… crak… crek… crak… dari gesekan antara penisku dengan liang vagina Tante Vivi.

Tapi tak lama kemudian aku pun tak kuasa lagi menahan semua kenikmatan di pagi yang hangat ini. Lalu kubisiki telinga Tante Vivi, “Tante… aku mau keluar… lepasin di dalam boleh?”

“Iya,” sahut Tante Vivi sambil menggoyang-goyang kembali pinggulnya dengan gerakan yang gila-gilaan, mungkin sebagai sambutan pada ejakulasi yang akan kualami.

Belakangan aku tahu, bahwa ternyata Tante Vivi mau orgasme lagi untuk kedua kalinya.

“Aduuh Ton… aduuuh Ton… tante juga mau lepas lagi Ton… aduuuh tahan dikit, sayang… iya… jangan dilepasin dulu… iya… dudududuuuuhhh… Toooniiiii.”

Tante Vivi menggelepar lagi, sementara aku pun sudah membenamkan batang kemaluanku sedalam-dalamnya, sambil menyemprot-nyemprotkan air maniku di dalam liang memek Tante Vivi yang sedang berkedut-kedut. Oooh, ini benar-benar nikmat!

Kami lalu terkapar, berpelukan dengan keringat membanjir.

“Mmm…” Tante Vivi mencubit pipiku sambil tersenyum, “Kalau bisa tiap hari beginian sama kamu, tante gak usah nikah lagi.”

Aku cuma tersenyum.

“Kamu sudah pernah sama cewek lain ya?” tanya Tante Vivi waktu kami sudah duduk di atas tempat tidurku.

Aku tak mau munafik lagi. “Iya Tante,” sahutku sambil mengangguk, “Tapi sudah lama sekali.”

Tetap saja ucapanku berbaur dusta. Dan pasti aku tak mau mengaku bahwa perempuan yang pernah kusetubuhi itu adalah kakak Tante Vivi alias ibu tiriku dan pembantu yang baik hati bernama Ning itu.

Ternyata Tante Vivi tidak mempersoalkan masalah itu. Mungkin untuk zaman sekarang lumrah saja cowok sebaya aku sudah mengalami nikmatya memek cewek.

“Nanti malam pintu kamar ini jangan dikunci,” kata Tante Vivi sambil mengenakan kembali dasternya, “Tante pasti pengen lagi.”

“Jangan di sini, Tante,” cegahku, “Kamar ini kan berdampingan dengan kamar Papa dan Mama. Biar aku saja yang ke kamar Tante.”

“Janji ya.”

“Iya. Kalau Papa dan Mama sudah tidur, nanti aku ke kamar Tante.”

Tante Vivi tersenyum. Lalu mencium bibirku dengan mesra. “Sebentar lagi mamamu pulang. Semua ini harus kita rahasiakan ya Ton.”

“Iya Tante. Percaya deh. Aku juga kan takut dimarahi Papa.”

Lalu Tante Vivi meninggalkan kamarku, dengan senyum manis. Senyum seorang wanita muda yang sudah mengalami kepuasan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu