2 November 2020
Penulis —  Eros92

Di Antara Istri-Istri Pakcik dan Bunda

  1. Tante Zie

“Alex?! Sama siapa?” tanya Tante Zie di ambang pintu depan yang baru dibuka.

“Sendirian Tante,” sahutku sambil mencium tangannya, lalu Tante Zie cipika-cipiki padaku.

“Kenapa gak ngajak temanmu yang tempo hari diajak ke sini itu?”

“Dali maksud Tante?”

“Mmm… iya,” sahut Tante Zie setelah sama-sama duduk di sofa ruang tamu.

“Dia sedang ujian Tante.”

“Lalu kamu sendiri kok gak ujian?”

“Dia beda fakultas denganku, Tante.”

“Ohya… lupa… dia kan anak psikologi ya?”

“Iya.”

Tante Zie mengangguk-angguk dengan senyum di bibir tipisnya. “Dia itu supel ya. Diajak ngobrol apa aja nyambung. Kapan-kapan kalau dia gak sibuk, ajak main ke sini Lex.”

“Boleh. Mungkin Minggu depan bisa kuajak ke sini.”

“Jangan Minggu depan sih.”

“Kenapa Tante?”

“Besok sore pamanmu giliran nginap di sini. Biasa… giliran istri kedua.”

“Ohya?! Jadi bebasnya sebelas hari lagi ya?”

“Iya. Kamu kan udah tau jadwal gilir istri-istri pamanmu. Tanggal satu sampai tanggal sepuluh giliran istri pertama. Tanggal sebelas sampai duapuluh giliran tante. Tanggal duapuluhsatu sampai akhir bulan, giliran istri ketiga.”

“Enak istri ketiga dong. Kalau bulannya yang tigapuluhsatu hari, dia jadi kebagian sebelas hari.”

“Iya. Tapi kalau bulan Februari yang cuma duapuluhdelapan hari, berarti dia cuma kebagian delapan hari. Hihihihihiii… biarin aja beda sehari sih gak apa-apa, Lex.”

Aku terdiam. Seolah diingatkan bahwa pamanku yang biasa kupanggil Pakcik itu punya istri tiga orang. Istri yang pertama bernama Salma, istri kedua Tante Zie ini dan istri ketiga bernama Monik.

Di antara ketiga istri Pakcik itu, aku merasa paling akrab dengan istri keduanya itu. Entah kenapa, aku senang main ke rumahnya, karena ia terasa sangat terbuka menerimaku. Apakah karena ia senang bermain catur denganku? Entahlah. Lucu juga, perempuan hobbynya main catur. Jago pula mainnya. Sehingga aku sering kalah kalau main catur dengannya.

Bukan cuma itu. Ia juga senang main tenis meja alias pingpong. Dalam permainan tenis meja pun aku sering dikalahkan olehnya. Cara memegang betnya berbeda denganku. Ia memakai cara pen holder grip. Bola spinnya selalu berbahaya, membuatku sering salah pukul, karena sulit sekali menerima bola yang berputar kencang begitu.

Bukan cuma itu. Kalau aku bertamu ke rumahnya, Tante Zie seperti pamer dalam hal masak- memasak. Terutama masakan Italia dan Belanda. Lalu menyuguhkannya padaku. Akibatnya, aku jadi selalu kenyang dengan makanan orang bule, yang kalau di resto-resto pasti mahal harganya.

Pakcik itu adik Bunda. Tapi aku merasa lebih akrab dengan Tante Zie daripada dengan Pakcik. Bahkan yang sering memberi uang jajan pun Tante Zie. Sementara dengan Pakcik, untuk bertemu saja sulit. Maklum dia seorang pengusaha, yang selalu sibuk dengan urusan bisnisnya.

Tante Zie itu punya tubuh yang seksi di mataku. Tinggi montok, dengan bentuk tubuh mirip gitar. Usianya masih muda, tigapuluh tahun pun belum. Sementara usia Pakcik sudah kepala empat.

Kuakui Pakcik itu jagoan dalam memilih perempuan untuk dijadikan istri-istrinya. Karena kalau kunilai secara objektif, ketiga istri Pakcik itu cantik-cantik. Tapi menurutku, Tante Zie itu yang paling cantik. Kulitnya pun putih bersih. Tapi sayangnya, ia belum dikaruniai anak seorang pun. Tidak seperti Tante Salma yang sudah punya anak dua orang, sementara Tante Monik pun sudah punya anak dua.

“Sudah lama kita gak maen pingpong Lex. Maen yuk,” kata Tante Zie membuyarkan terawanganku.

“Boleh,” sahutku sambil melangkah ke arah kulkas di ruang makan, “Tapi mau minum dulu Tante. Aku haus neh.”

“Iya. Ambil aja sendiri, ada soft drink baru tuh di kulkas,” kata tante Zie sambil bangkit dan melangkah ke dalam kamarnya.

Memang ada bermacam-macam juice botol di dalam kulkas. Mungkin itu yang dimaksudkan soft drink baru. Kuambil orange juice dan kubuka tutup botolnya. Lalu kunikmati isinya di ruang makan.

Setelah menghabiskan orange juice itu aku melangkah ke garasi, karena meja pingpong itu terletak di sana. Meja pingpong itu hanya dilipat kalau Pakcik datang. Karena pada waktu Pakcik sedang menggilir istri yang lain, tiada mobil tersimpan di garasi itu.

Sambil menunggu Tante Zie, kupasang net di meja pingpong itu.

Beberapa saat kemudian Tante Zie muncul, dalam pakaian olah raga. Baju kaus putih, celana pendek putih pula. Tapi… adakah yang salah di penglihatanku? Sepertinya Tante Zie tidak mengenakan beha, karena pada baju kausnya ada dua tonjolan kecil… apakah itu puting payudaranya?

Sebagai cowok yang baru berusia18 tahun, tentu saja aku berdebar-debar melihat “sesuatu” yang lain dari biasanya itu. Tapi cepat kuusir pikiran ngeres itu, karena aku segera sadar bahwa Tante Zie itu istri pamanku sendiri.

Sesaat kemudian aku harus konsentrasi pada bet yang kugenggam, karena permainan tenis meja dengan Tante Zie sudah dimulai.

Jujur, aku selalu saja kewalahan kalau sedang bermain tenis meja dengan istri kedua Pakcik itu. Karena smash-smashnya selalu keras dan terarah, sementara top spinnya sulit untuk kukembalikan. Sehingga baru setengah set saja aku sudah mulai keringatan.

“Permainanmu mulai ada peningkatan Lex,” kata Tante Zie waktu kami berganti tempat, “Sering latihan ya?”

“Jarang juga Tante. Di rumah kan gak ada mejanya. Cuma sesekali main di rumah teman.”

Lalu kami main lagi. Dan… aku kalah lagi.

Namun aku tidak kecewa dengan kekalahanku. Karena aku menyaksikan sesuatu yang sangat mendebarkan. Bahwa Tante Zie juga sudah bercucuran keringat, maklum siang itu hawa Jakarta sedang panas-panasnya.

Apa yang kulihat? Dengan bercucuran keringatnya Tante Zie, membuat pandanganku semakin jelas. Bahwa di balik baju kaus putih yang sudah basah oleh keringat itu, aku bisa melihat dengan pasti, bahwa Tante Zie tidak mengenakan beha. Namun berkali-kali aku membuang muka, karena malu. Takut Tante Zie menegurku kalau ketahuan aku memperhatikan bentuk baju kaus yang basah kuyup itu.

“Istirahat dulu ah,” kata Tante Zie sambil meletakkan betnya di atas meja kecil yang terletak merapat ke dinding garasi. Lalu duduk di sofa yang berdampingan dengan meja kecil itu.

Aku mengangguk sambil menyeka keringatku dengan kertas tissue yang kuambil dari atas meja kecil itu.

“Sekarang tanggal berapa ya Lex?” tanya Tante Zie ketika aku melemparkan kertas tissue bekas ke tempat sampah.

“Tanggal sepuluh, Tante.”

“Nah… duduklah di sini,” kata Tante Zie sambil menepuk kulit sofa yang didudukinya, di sebelah kanannya.

Aku pun duduk di sebelah kanannya.

“Besok kan pakcikmu datang. Tanggal duapuluh satu akan menggilir istri ketiganya. Jadi… tanggal duapuluhdua kamu ajak si Dali itu ke sini ya.”

“Iya Tante. Tapi… kenapa Tante serius gitu sama si Dali? Ada sesuatu yang penting?”

Tante Zie tersenyum. Gila, sejak kapan aku suka melihat senyum istri muda Pakcik itu?

“Kamu bisa merahasiakan hal ini gak?”

“Rahasia apa Tante?”

“Jangan sampai pakcikmu tau.”

“Ooo… beres itu sih. Dijamin rahasia Tante takkan bocor. Emangnya rahasia apa Tante?”

“Kamu kan tau, Pakcik hanya sepuluh hari di sini, sementara duapuluh hari berikutnya tante sering merasa kesepian tanpa memiliki obat untuk melipurnya. Tante gak mungkin pakai obat penenang, narkoba dan sebangsanya kan? Jadi… tante cuma menelan rasa sepi ini dengan perasaan pilu.”

“Iya Tante… tapi… maaf ya… apa hubungannya antara perasaan kesepian Tante dengan Dali?”

Tante Zie tersenyum lagi. Menepuk lututku sambil berkata, “Tante mau jadikan dia obat kesepian. Hihihihiiii… kamu setuju kan?”

Aku cuma bengong. Tapi aku sudah mengerti apa tujuan Tante Zie yang sebenarnya. Dan aneh… mendadak tumbuh perasaan cemburu di hatiku. Cemburu kepada Dali yang bisa membuat Tante Zie tertarik padanya. Padahal aku juga bersedia untuk dijadikan “obat” kesepiannya.

Waktu aku masih terdiam, Tante Zie berbisik ke dekat telinga kiriku, “Kalau kamu berhasil membujuknya agar mau jadi pacar gelap tante, pasti tante akan ngasih hadiah spesial untukmu.”

“Apa hadiahnya Tante?” tanyaku sambil menatap matanya yang bergoyang.

“Kamu mau dikasih hadiah apa? Motor?”

“Nggak ah. Motor kan udah punya.”

“Terus mau apa? Duit yang senilai harga motor baru?”

“Nggak juga.”

“Terus mau apa dong? Terus terang aja. Jangan malu-malu.”

“Mmm… aku mau adil aja. Apa yang Tante mau berikan pada Dali, berikan padaku juga.”

Tante Zie mencubit perutku, membuatku tergeliat sedikit. “Kamu kan keponakanku, Lex.”

“Keponakan Pakcik.”

“Iya. Tapi… mmm… memangnya kamu mau juga jadi pacar gelap tante?”

“Mau… mau banget,” sahutku nekad.

“Ya udah. Setelah kamu bisa membujuk Dali, aku akan memberi hadiah untukmu juga.”

“Ma… maaf Tante… hadiahnya anu kan… mmm…”

“Sex,” sahut Tante Zie sambil mencubit perutku lagi, “Nanti tante hadiahkan sekujur tubuh tante untukmu setelah Dali jadi pacar gelap tante.”

Entah kenapa, baru mendengar ucapan Tante Zie itu saja, diam-diam ada yang ngaceng di balik celanaku…!

Dan aku semakin nekad. Tak takut seandainya Tante Zie marah. Kataku, “Hadiah untukku sekarang aja Tante. Mumpung Pakcik belum datang.”

“Iiih… kamu… !” Tante Zie menepuk bahuku, “Belum kerja udah minta upah duluan.”

“Soal Dali mah gampang Tante. Dia kan sahabat terdekatku. Pasti aku berhasil bujuk dia dan membawanya ke sini nanti.”

Tante Zie menatapku dengan senyum. Lalu berkata, “Tapi badan tante penuh keringat gini. Tante mau mandi dulu ya. Atau… kamu mau mandi bareng sama tante?”

“Mau,” sahutku spontan, “Tapi kata orang mandi setelah berolahraga itu berbahaya, Tante.”

“Kalau mandinya pakai air dingin, iya gak boleh. Kita kan mau mandi pakai air panas.”

“Iya… iya deh…”

Lalu aku mengikuti langkah Tante Zie ke dalam kamarnya, karena pasti ia akan mengajak mandi di kamar mandi pribadi yang terletak di dalam kamarnya. Ketika aku sudah berada di ambang pintu kamar mandi pribadi itu, Tante Zie memijat hidungku, dengan mata dan bibir bernada menggoda, “Gak nyangka kamu punya pikiran khusus pada tante,” ucapnya.

“Tante pakai kaus yang… yang menggoda sih. Bikin aku sadar… bahwa Tante cantik dan… dan seksi sekali,” sahutku.

Tante Zie tersenyum. Tampak sorot senang mendengar pujianku. Lalu ia menarikku ke dalam kamar mandi. Menutupkan kembali pintunya dan menaikkan ujung baju kausnya, sampai toket kirinya terbuka penuh, sambil berkata, “Kamu jadi penasaran pengen lihat ini ya?”

“Duh Tante…” cetusku sambil mendekatkan wajahku ke toket kiri istri muda Pakcik itu.

Tante Zie justru membusungkan toket kirinya ke wajahku… sampai pentilnya menyentuh bibirku…!

Ditantang seperti itu membuatku makin pede. “Payudara Tante indah sekali,” kataku sambil menangkap toket gedenya dengan kedua tanganku, lalu mulutku menangkap pentilnya. Mengemutnya dengan sepenuh gairahku.

Dan terasa tangan Tante Zie membelai rambutku.

Sebenarnya aku sudah punya jam terbang yang lumayan banyak dalam hal perempuan. Karena sejak aku masih di SMA pernah punya rahasia besar, yang masih belum berani mengungkapkannya di sini.

“Buka dulu dong bajumu,” kata Tante Zie, “Nanti kalau basah gimana? Emangnya bawa baju ganti?”

“Tante sendiri kok belum dibuka-buka?” sahutku sambil memberanikan diri memegang kedua pergelangan tangan Tante Zie.

Tante Zie menatapku dengan bola mata bergoyang manja. Lalu menyahut, “Bukain sama kamu aja.”

“Boleh,” aku mengangguk sambil memegang ujung baju kaus putihnya, lalu menariknya ke atas, sampai terlepas dari kedua tangannya, lalu terlepas dari kepalanya.

Gila… baru bertelanjang dada saja Tante Zie sudah sangat merangsang bagiku. Karena sepasang toket Tante Zie itu, indah dan merangsang sekali…!

Tapi sebelum aku sempat melakukan yang lain, Tante Zie mendorong dadaku sambil berkata, “Sekarang buka pakaianmu dulu. Tante sih baju kebasahan juga gak apa-apa. Tapi kamu… kalau pakaianmu basah nanti, gimana bisa pulang?”

Aku tersenyum. Lalu kuikuti perintah istri muda Pakcik itu. Kutanggalkan celana dan kemeja sportku. Hanya celana dalam yang masih kubiarkan melekat di tubuhku.

Setelah menggantungkan celana panjang dan kemeja sportku, dengan senyum di bibir kuhampiri Tante Zie yang masih mengenakan celana pendek putihnya.

“Kok celana dalamnya gak dilepaskan sekalian?” tegur Tante Zie sambil memegang kedua bahuku, “Emang kamu kalau mandi selalu pakai celana dalam seperti orang kampung?”

“Tante sendiri masih pake celana itu…” sahutku canggung.

“Kan nunggu dilepasin sama kamu. Ayo lepasin deh,” sahut Tante Zie sambil mengelus daguku.

Sambil membungkuk dan dengan tangan agak gemetaran, kuturunkan ritsleting celana pendek putih Tante Zie. Lalu aku berjongkok di depan wanita muda berkulit putih cemerlang itu, untuk menurunkan celana pendek putih Tante Zie.

Ya… sambil berjongkok inilah aku menurunkan celana pendek putih Tante Zie. Perlahan-lahan tampaklah bagian tubuh Tante Zie yang tadi tertutup oleh celana pendek ini. Ketika celana pendek itu sudah sampai di pangkal pahanya, alangkah kagetnya aku… karena ternyata di balik celana pendek itu tiada benda apa-apa lagi, kecuali kemaluan Tante Zie yang tercukur bersih itu…!

O Maaak! Ingin aku menciumi kemaluan yang tampak bersih dan tembem itu. Tapi aku takut rahasiaku terbongkar, bahwa aku sudah berpengalaman dalam soal perempuan.

Karena itu, aku hanya berani menyentuhnya dengan telapak tangan. Itu pun tak bisa lama, karena Tante Zie menjewer telingaku sambil berkata, “Mandi dulu lah… setelah mandi nanti kamu boleh mainin punya tante sepuasmu.”

Dengan hati tak sabaran, aku melangkah ke dekat kapstok. Melepaskan celana dalamku di situ, lalu menggantungkannya di samping baju dan celana jeansku. Dan langsung sadar bahwa batang kemaluanku ngaceng berat, sehingga aku berusaha untuk menutupinya dengan kedua tanganku waktu kembali menghampiri Tante Zie yang sudah telanjang bulat di bawah pancaran shower air hangatnya.

“Mau nyabunin punggung tante gak?” tanya Tante Zie yang sudah memegang botol sabun showernya.

“Mau Tante… sangat mau…” sahutku sambil memungut botol shower body soap itu.

Karena tangan kananku dipakai untuk memegang botol body wash, tangan kiriku dipakai untuk menampung curahan sabun cair, aku tak bisa lagi menutupi kontolku yang ngaceng berat ini. Pada saat itulah Tante Zie melihat bentuk kontolku yang kata orang tergolong “giant size” ini.

“Waaaw…! Alex…! Punyamu segede dan sepanjang ini?!” seru Tante Zie sambil memegang batang kemaluanku. Tak cuma itu. Tante Zie berjongkok di depanku sambil mengamati kontolku dari jarak yang sangat dekat. Dan berkata, “Gila… punyamu jauh lebih panjang dan lebih besar daripada punya pakcikmu…! Hihihihiii… punyamu ini pasti enak, Lex.

Lalu ia menciumi puncak kontolku, membuat desir nafsuku semakin menjadi-jadi.

“Wah… tititmu ini kalau tante emut pasti sesak di mulut tante… gede banget sih…” kata Tante Zie sambil mengelus-eluskan kontolku ke pipinya.

Ini membuatku semakin tak kuat menahan nafsuku. Untunglah Tante Zie berdiri lagi, berhadapan denganku, dalam keadaan sama-sama telanjang bulat. Dan tiba-tiba saja ia memelukku erat-erat. Menciumi pipiku dan bahkan bibirku. Kelabakan aku dibuatnya. Maklum, semuanya ini tidak seperti biasanya. Semuanya ini di luar dugaanku.

Lalu Tante Zie memutar kran shower air panas lagi., sambil melingkarkan lengan yang satu lagi di pinggangku. Air hangat memancar lagi, membasahi kepala dan tubuh kami.

Di bawah pancaran air hangat ini, Tante Zie melingkarkan lengannya di leherku, sementara aku mendekap pinggangnya dengan erat. Dan kini aku tak mau pasif lagi. Berkali-kali kupagut bibir Tante Zie, yang selalu disambut dengan sedotannya yang membuat lidahku terhisap ke dalam mulutnya. Di saat lain aku yang menyedot lidahnya yang sudah berada di dalam jepitan bibirku.

Pada waktu membilas air sabun di tubuh kami, Tante Zie berkali-kali memegang kontolku. Terkadang sambil bergumam, “Gak nyangka punyamu segede dan sepanjang ini. Tadinya tante ngira pendek kecil seperti punya pakcikmu.”

“Aku juga gak nyangka, dalam keadaan bugil gini, ternyata tubuh Tante mulus sekali,” sahutku, sekadar untuk mengimbangi omongan istri muda Pakcik itu. Pada saat itulah aku memberanikan diri untuk memegang kemaluan Tante Zie. Bukan cuma menyentuh biasa, tapi juga menyelinapkan jariku ke dalam celahnya yang hangat dan agak licin itu.

Bersama Tante Zie di bawah siraman air hangat ini menyenangkan sekali. Betapa tidak. Untuk pertama kalinya aku bisa leluasa menyentuh apa pun yang Tante Zie miliki.

Sebenarnya aku sudah tak sabar lagi. Ingin segera memasukkan kontolku ke dalam memek Tante Zie yang tembem dan bersih dari jembut itu. Tapi aku berusaha menahan diri, agar tidak mengacaukan acara yang tak pernah kurencanakan ini.

“Kamu pengen ngentot tante kan?” tanya Tante Zie tiba-tiba.

“Kalau dikasih, pasti mau Tante.”

“Ya udah. Kita selesaikan aja mandinya. Nanti kita lanjutin di atas bed.”

“Iya Tante. Hihihiii… pasti asyik nanti.”

Selesai mandi, Tante Zie benar-benar menelentang di atas bednya, sambil mengusap-usap memeknya, sambil berkata, “Ayo… kalau mau ngentot tante, entotlah sepuasnya.”

“Iya Tante… tapi aku pengen jilatin memek Tante dulu. Boleh kan?”

“Boleh… tentu aja boleh. Kamu sering nonton bokep kali ya? Makanya udah punya niat penbgen jilatin memek segala.”

“Iya Tante. Di film-film bokep kan gak lepas dari main oral sebelum bersetubuh yang sebenarnya,” sahutku sambil merayap di antara sepasang paha Tante Zie yang direntangkan lebar-lebar, seolah mengucapkan selamat datang buat mulutku yang mulai mendekati kemaluannya.

Dengan tangan agak gemetaran kuusap-usap kemaluan tanpa jembut itu, lalu kungangakan sampai bagian dalamnya tampak jelas di mataku. Ujung lidahku pun mulai menyapu-nyapu bagian yang lembut dan berwarna merah muda dan mengkilap itu, sementara Tante Zie mengelus-elus rambutku dengan lembut.

“Iya Lex… jilatanmu enak sekali Lex… “Tante Zie mulai bergumam, “Oooooh… oooo… ooooh… iya Leeex… ininya nih… itilnya ini juga jilatin Lex… iyaaaa… duuuuh… ini enak sekali Leeeex…”

Kujilati terus memek Tante Zie, bibir luarnya, bibir dalamnya dan itilnya juga… dan justru ketika aku semakin fokus untuk menjilatinya saja, Tante Zie semakin mengejut-ngejut sambil merintih-rintih perlahan, “Aleeex… ini enak sekali Leeeexxx… iyaaaaa… itilnya aja jilatin Lex… aduuuuh… ini luar biasa enaknya Lex.

Sebenarnya aku masih asyik menjilati kemaluan Tante Zie. Tapi karena Tante Zie ingin agar kontolku cepat dimasukkan ke dalam memeknya, aku harus mengalah.

Aku berlutut di antara sepasang paha Tante Zie.

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu