3 November 2020
Penulis —  ilyanis

Aku Pemuda Urakan dan Ini Perkawinan Kontrak-ku Dengan Ustadzah

Aku Andre, 25 tahun tinggal di salah satu kota besar di tanah sunda ini saat ini sedang menikmati masa-masa awal di dunia kerja. Baru beberapa bulan lalu aku menyelesaikan studi sarjanaku di salah satu kampus swasta di kota tersebut.

Belum genap 3 bulan, perusahaan menugaskanku ke luar kota untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Satu sisi aku senang mendapat tugas keluar kota, karena bisa sambil jalan-jalan, satu sisi agak-agak nervous, karena ini perjalanan dinas pertamaku untuk tugas professional. Celakanya lagi, bukan sebuah kota yang akan ku-kunjungi ternyata, melainkan sebuah desa di sebuah kabupaten terpencil.

Meski masih di tataran tanah sunda, dimana tempat aku lahir, mengunjungi desa terpencil nun jauh disana untuk sebuah tugas pertama adalah momok yang cukup terasa. Ditambah lagi perusahaan hanya memberikan tugas itu kepadaku, yang artinya tidak ada pegawai senior atau teman-teman lain kantorku yang akan mendampingi.

Setelah melakukan persiapan, bertanya sana sini ke kiri ke kanan kepada beberapa rekan kerja ku, aku cukup mantap untuk melaksanakan tugas ini. Oh ya, pekerjaan yang akan ku tangani ini berafiliasi dengan projek pemerintah di bidang infrastruktur bidang IT. Perusahaan kami mendapat area konsesi untuk membangun infrastruktur salah satunya di daerah terpencil yang akan ku datangi ini.

Duty day! Yes, hari itu pun tiba. Sebenarnya aku diarahkan senior maupun atasanku untuk menyewa kendaraan saat tiba di pusat kota (kabupaten ya tempatnya) agar mudah untuk operasional saat nanti melakukan kerja di daerah (desa) terpencil tersebut. Karena perusahaan tidak bisa atau tepatnya tidak memungkinkan untuk mengantarkanku dengan driver dari perusahaan.

Aku mengusulkan bagaimana kalau aku membawa kendaraanku sendiri kesana, perusahaan hanya menganti bahan bakarnya saja, biar lebih praktis. Dan selama tidak claim berlebihan terhadap kendaraan pribadiku tersebut dan tentunya tidak mengganggu pekerjaan, perusahaan mengijinkan. Dan akhirnya akupun berkendara dengan kendaraanku sendiri dari kota-ku ke kabupaten tersebut.

Aku mampir dulu ke kantor Dinas yang punya kepentingan terhadap projek ini dan meminta guidance lebih detil lagi. Setelah mendapat arahan, tupoksi dan perkembangan terakhir akupun segera meluncur ke lokasi. Disana, katanya aku akan di guide dan didampingi oleh staf pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, Lurah dan jajarannya (RT, RW dan tokoh masyarakat setempat).

Dan akhirnya akupun tiba menjelang gelap di desa tersebut. Fiuh, melelahkan. Iya melelahkan. Bisa dibayangkan 4jam perjalanan dari kota-ku ke kabupaten tersebut, hampir 2 jam meeting dengan staf Dinas, lalu menempuh perjalanan lagi dengan durasi kurang lebih 3 jam dengan medan yang lebih trengginas lagi, jalan yang belum diaspal maksimal adalah hal umum hal trengginas tersebut.

Saat ini aku sudah ada di kantor Lurah. Pa Kosim adalah nama sang Lurah. Syukur, aku disambut dengan sangat, sangat baik disini. Kopi, camilan dan tentunya makan siang (ga tau ini makan siang atau makan jelang malam) dihidangkan setibanya aku disini. Sebagai tugas pertama, kesanku sangat menyenangkan.

Sepintas, keadaan lingkungan desa ini sangat asri, sejuk dan relatif tenang dengan kondisi perumahan penduduk yang cukup jarang, dalam artian rumah-rumah disini jaraknya berjauhan tidak seperti di kota. Ya tentu saja hehe… Dan satu lagi mohon maaf, kondisi masyarakat rata-rata disini yang pendidikannya masih di bawah standard.

Bahkan, kalau kuperhatikan Pa Lurah Kosim pun sepertinya bukan seseorang yang mengenyam pendidikan tinggi, yah mungkin sebatas lulusan SMA. Aku berbincang banyak di hari pertamaku ini dengan Pa Lurah Kosim. Beliau di dampingini oleh 6 orang ketua RT di jajarannya. Ya obrolan kami seputar tugas yang akan aku kerjakan ini.

Malam itu aku tidur di rumah Pa Suhartono, beliau ketua RT 01. Kediamannya sekitar 200 meter dari kantor lurah dan relatif yang paling dekat dari semua jajaran kelurahan. Pak Lurah Kosim sendiri rumahnya 1 kiloan dari kantor. Di jalan, aku berbincang-bincang lagi Pak Suhartono, kami berjalan kaki ke rumahnya, sedangkan mobil ku titip di kantor Lurah, ada garasinya kok.

Karena kalau obrolan tentang pekerjaan kurang bisa ditangkap Pak Suhartono, akupun mengalihkan pembicaraan tentang keadaan di Desa ini. Hingga salah satu celetukan Pak Suhartono yang keluar adalah “Mas Andre, tas nikah sanes?” (Mas Andre udah nikah belum). Aku jawab belum. “Nikah atuh sareng orang die, gareulis di didieu mah.

“(Nikah atuh dengan orang sini, cantik2 disini). Akupun hanya mesem-mesem. O ya, obrolanku dengan Pak Suhartono dan beberapa staf Lurah sebelumnya tadi menggunakan bahasa Sunda. Dikarenakan aku tidak lancar berbahasa Sunda halus, mereka pun terbuka untuk berbicara bahasa Sunda yang agak kasar. Sebenarnya bahasa Sunda mereka halus-halus kok.

Setibanya di rumah Pak Suhartono, aku langsung merebahkan badan karena sudah sangat, sangat letih…


Aku memulai pekerjaan di hari keduaku ini dengan semangat, didampingi beberapa staf Lurah dan tentunya Pak Suhartono, ketua RT 01 sekaligus orang yang memberikanku tempat untuk beristirahat, mungkin sampai selesai pekerjaanku.

Hari keduapun sudah akan berakhir, dan saat ini sudah senja. Aku diajak Pak Suhartono untuk beristirahat dulu, dilanjut lagi esok hari. Sesungguhnya aku masih semangat kerja, tapi ya sudahlah, Pak Suhartono yang sudah lelah, aku jadi ga enak. Lagipula kalaupun aku melanjutkan kerja, aku kerja sendirian karena beberapa orang yang membantuku kerja sudah pula menyudahi pekerjaannya.

Setibanya di rumah Pak Suhartono, aku kaget karena cukup ramai oleh ibu-ibu. Saat aku pulang ke rumah Suhartono itu saat maghrib, yah sekitar 15 menit setelah Adzan maghrib. Kutanya Pak Suhartono.

Andre: “Naha rame kieu Pak, aya naon?” (Kenapa rame begini, ada apa)

Suhartono: “Oh iyeu, pangajian. Biasa, pamajikan. Jeun teuing. Mas Andre istirahat mah istirahat weh.” (Oh ini, pengajian. Biasa, istri. Biarin aja. mas Andre istirhat mah istirahat aja.)

Saat tiba itu aku langsung disambut Ibu Tarmiyah (Bu RT, istri Pak Suhartono).

Tarmiyah: “Hapunten Aa, aya pengajian yeuh. Kira2 ngaganggu henteu nya?” (Mohon maaf Kaka, ada pengajian nih. Kira2 mengganggu tidak ya)

Andre: “Ah henteu Bu, urang sugan nu ngaganggu mah yeuh” (Ah engga, saya kali yang mengganggu mah).

Tarmiyah: “Hapunten weh nya A, sok mun bade mandi, sembayang, istirahat, mangga mangga sok. Mun tos rapih, tas disiapkeun makan malem, ke bareng sareng si Bapak nyak.” (Mohon maaf aja ya Ka, silahkan kalo mau mandi, shalat, istirahat silahkan saja. Nanti kalo sudah selesai, sudah disiapkan makan malam, bareng aja dengan si Bapak yah).

Andre: “Muhun Ibu, hatur nuhun, hatur nuhun pisan.” (Iya Bu, makasih, makasih banget).

Akupun menjalankan apa yang Bu Tarmiyah arahkan, mandi, bersih-bersih, dan shalat. Shalat? Hmm… iya shalat, sesungguhnya aku ga pernah shalat hehe… Yah tapi jaim dong iya ngga hehe…

Sebagai info, saat kutanya Pak Suhartono umurnya berapa, ia tidak menjawab dengan pasti, maklumlah orang dulu, kurang hapal umur apalagi tanggal lahir. Tapi kutaksir pak Suhartono berumur sekitar 54-55th, sedang Bu Tarmiyah, istrinya sekitar 48-50th. Punya tiga anak dan semuanya sudah berkeluarga dan tidak tinggal dengan mereka, meski dua diantaranya masih tinggal di Desa tersebut, salah satunya hadir mengikuti pengajian dan membantu menyiapkan makan malam.

Saat makan malam dengan Pak Suhartono (kami makan malam berdua saja) di salah satu ruangan kami berbincang-bincang. Dan salah satunya nyerempet masalah yang pernah kami bicarakan, masalah kawin heuheu…

Suhartono: “Mas Andre sok tingali, gareulis pan. Sararoleh deui. Meunang sugan dijadikeun pamajikan mah. (sambil melirik ke ibu-ibu pengajian di ruangan lain)” (Mas Andre lihat, cantik2 kan. Soleh2 lagi. Bisa kali dijadiin bini mah).

Andre: “Ah bisa wae si Bapak (meski akupun ikut melirik)” (Ah bisa aja si Bapak).

Meski agak menyangkal, akupun sempat memperhatikan perempuan berpakaian serba hitam (gamis & jilbab hitam) yang tengah berbicara. Aku pun sedikit iseng dan memberikan diri bertanya pada Pak Suhartono.

Andre: “Ari eta saha pak (Menunjuk dengan dagu ke arah perempuan yang sedang berbicara itu)” (Kalo itu siapa Pak)

Suhartono: “Oh eta Ratna, nu ngajaran. Sok disebut Bu Ustad. Da urang mah Ratna weh nyebutna.” (Oh itu Ratna, yang mengajari. Suka disebut Bu Ustad. Saya sih nyebutnya Ratna aja, ga pake embel2 Bu Ustad maksudnya)

Waduh, akupun kaget dan mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh lagi. Tapi, tidak lama Pak Suhartono meneruskan bicaranya.

Suhartono: “Naha kitu, daek si Mas na” (Kenapa gitu, mau si mas-nya)

Andre: “Ah henteu-henteu becanda ah” (Ah engga, engga, becanda)

Suhartono: “Janda, boga anak tilu, can lami di cere salakina, 5 bulan lah.” (Janda, punya anak tiga, belum lama di cerai suaminya, 5 bulan lah).

Waduh, akupun kembali kaget. Tapi kali ini kaget-ku antara penasaran dan kurang tertarik. Saat itu makananku sudah habis, begitu pula Pak Suhartono. Hingga akhirnya datang Mimin untuk membereskan meja makan. Mimin adalah salah satu anak Pak Suhartono yang saat itu sedang ikut ta’liman. Saat sedang merapihkan itu, Pak Suhartono bertanya pada Mimin.

Suhartono: “Min, si Ratna can calon deui pan nya.” (Min, si Ratna belum ada calon lagi kan ya)

Mimin: “Ah acan, sorangan keneh. Nyeuri keneh sugan hatena.” (Ah belum, masih sendiri. Masih sakit mungkin hatinya -karena ditinggal-)

Suhartono: “(hanya mengangguk ke arahku)”

Mimin: “Mimin mah karunya ka Bu Ratna.” (Mimin mah kasihan ke Bu Ratna)

Andre: “Naha kitu teh (saya pun ikut nimbrung percakapan)” (Kenapa gitu Teh)

Mimin: “Ya jelema Bageur, geulis, solehah, eh ditinggalkeun. Meni ku tega salakina.” (Ya baik, cantik, solehah, eh ditinggal. Tega suaminya)

Saat itu terlihat Pa Suhartono sepertinya mengaminkan keadaan yang dialami Bu Ratna dengan mengangguk-anggukan kepalanya.

Suhartono: “Henteu… tadi Mas Andre nanya?” (Engga… tadi Mas Andre tanya)

Mimin: “Naha Mas Andre, resep sanes? Sok aja PDKT heula kitu.” (Kenapa Mas Andre, suka ya? Silahkan aja, PDKT aja dulu)

Andre: “(Aku pun hanya senyum-senyum)”

Selang beberapa lama, pengajian atau ta’liman pun usai, kami (aku dan Pak Suhartono) pun masih asyik ngobrol di ruang makan. Saat itu pula datang Bu Tarmiyah menghampiri.

Tarmiyah: “Kumaha A, kadaharanana. Maklum weh, kadaharan kampung.”

Andre: “Uh… Alhamdulillah pisan ieu ge, wareg pisan. Hatur nuhun Ibu. Hapunten ngarepotkeun” (Uh.. Alhhamdulillah banget ini juga, kenyang banget. Makasi banget Ibu. Mohon maaf merepotkan)

Tarmiyah: “Tadi si Aa nanya si Ratna sanes?” (Tadi si Aa tanya si Ratna bukan).

Waduh, kenapa bisa sampai ke telinga bu Tarmiyah ini, pasti si Mimin cerita nih.

Tarmiyah: “Ke ku Ibu di pangwauhkeun.” (Nanti sama Ibu diperkenalkan).

Andre: “(Aku lagi-lagi hanya senyum2, ah biasa lah becanda pikirku)”

Saat itu Bu Tarmiyah dan Pak Suhartono terlibat pembicaraan yang kelihatannya cukup menarik, ya apalagi kalau bukan tentang si Bu Ratna ini, dan secuil ketertarikanku padanya pastinya. Secuil, karena awalnya aku hanya tanya Siapa Dia, hahaha…

Sebelum tidur, aku beristirahat sambil merencanakan pekerjaan yang akan kulakukan besok, hingga aku terpikir lagi tentang si Ratna tadi. Ratna, untuk diketahui berumur sekitar 36-38th, berbadan cukup padat (semok tepatnya), berparas cantik, putih, tinggi sekitar 160-170cm dimana lebih pendek dariku.

Saat mengajar tadi menggunakan gamis dan berjilbab ala jilbab praktis gitu (jilbab instant, paham ya). Terlihat tadi lekukan-lekukan tubuhnya saat kuperhatikan tadi. Kupikir-pikir bener juga perkataan Pak Suhartono tadi, boleh juga dijadiin bini. Tapi, tidak lama coba ku buang pikiran2 tersebut. Ia jauh lebih tua, janda dan punya anak tiga pula.

Hari ketiga pun sudah kulalui. Kini adalah hari keempat tugas dinasku. Rencana kerja ku hari ini adalah memasang tower untuk kebutuhan infratruktur. Kembali aku dibantu masyarakat sekitar dan Pak Suhartono tentunya. Saat itu, Pak Lurah Kosim yang pada hari kedua dan ketiga tidak ada kini hadir untuk meninjau.

Ada hal yang membuat surprise dipekerjaan hari keempat ku ini. Bukan kedatangan Pa Lurah, melainkan tower yang aku bangun ini bersebelahan atau paling tidak dekat dengan rumah Bu Ratna, yang tempo hari jadi bahan pembicaraanku dengan keluarga Pak Suhartono. Saat itu ia sedang akan ikut menyaksikan bagaimana kami (saya & masyarakat yang membantu) bekerja.

Biasa-lah, kalau dikampung ada orang kota yang sedang bekerja apalagi ini tipe pekerjaannya cukup asing dengan mereka, seperti kerja bangunan, pasti dikerubungi. Saat itu terlihat Bu Ratna tengah menggengong seorang balita dan menuntun seorang anak sekitar 7th. Ya tentu saja 2 dari tiga orang anaknya yang pernah diceritakan Pak Suhartono.

Saat istirahat & makan siang pun datang. Asal tau aja, untuk urusan sangu, konsumsi dan lain-lain yang berhubungan dengan hal ini, saya tidak pernah mengeluarkan kocek dari kantong sendiri, selalu ada saja warga yang menyuguhkan makanan dan minuman, entah itu kopi, camilan dan termasuk makan siang. Aku ngga tau, mereka sukarela atau dikoordinir oleh Pak Lurah atau Pak Suhartono, termasuk urusan biayanya.

Tapi yang pasti, untuk hidanganku selalu saja dibedakan dengan rekan-rekan (warga yang membantu) kerjaku yang lain. Dan biasanya paket komplet, kopinya ada, teh manisnya ada, termasuk rokok. Saat itu dari kerumunan warga yang ikut menyiapkan santap siang, terlihat Bu Ratna yang ikut cawe-cawe membantu menghidangkan.

Seusai makan siang, biasanya kami beristirahat dulu sambil ngeroko, ngopi dan berbincang-bincang. Sambil para ibu-ibu merapikan bekas makan siang kami. Pak Suhartono yang memang ditugaskan oleh Pak Lurah Kosim sebagai guidance utamaku, berbisik:

Suhartono: “Si Ratna nanya, naha rokok-na teu dibuka, salah apa rokona.” (Si Ratna tanya, kenapa rokonya ga dibuka, salah apa rokonya).

Aku cukup kaget dengan pertanyaan Pak Suhartono ini. Kaget dikarenakan kok bisa-bisanya Bu Ustadzah Ratna menyiapkan rokok khusus buatku, kaget lainnya kok bisa-bisanya sampai dia peduli hanya karena aku tidak menghisap rokok yang ia suguhkan. Memang rokok-ku sendiri adalah Mar*boro, ia menyuguhkan rokok M*ld.

Dan hari keempat tugas berakhir, aku kembali ke rumah Pak Suhartono untuk istirahat.

Dalam istirahatku malam itu, aku terngiang kembali dengan peristiwa makan siang tadi. Pertama yang menyiapkan hidangan khususku adalah Bu Ratna, termasuk menghidangkan rokok-ku. Lah, bukankah buat seorang ustadzah meski tidak haram, rokok adalah hal yang sangat tabu. Dia sendiri menghidangkan, bahkan peduli terhadapnya.

Dari situ, aku tertarik untuk memenuhi ajakan Bu tarmiyah datang ke tempat Bu Ratna ini ikut ta’liman. Dua hari yang akan datang.

Hari ke-enam! Ini adalah hari ke-enam tugasku, sekaligus hari dimana ada jadwal ta’liman di rumah Bu Ratna, sesosok perempuan yang membuatku cukup penasaran. Pagi hari itu, masih di rumah Pak Suhartono, Bu tarmiyah mengkonfirmasi ajakannya tempo hari tentang kegiatan ta’liman di rumah Bu Ratna malam ini.

Dan malam haripun tiba. Aku sempat akan mengurungkan niat-ku ikut pengajian di rumah Bu Ratna. Badanku terasa sangat letih, ditambah saat kudapati Rumah Pak Suhartono, Bu Tarmiyah yang sedari awal mengajakku, sudah tidak ada. Mungkin sudah pergi duluan. Tapi Pak Suhartono, menyemangatiku untuk datang ke tempat Bu Ratna.

Saat aku datang ke lokasi, disana rupanya pengajian sudah dimulai. Aku heran mengapa ada bapak-bapak juga yang cukup banyak datang. Bukan hanya ibu-ibu yang tempo hari kulihat di rumah Pak Suhartono. Setelah kutanya Pak Suhartono, ternyata ini pengajian pasutri toh.

Saat tiba, aku tak lekas masuk ke dalam untuk mengikuti pengajian. Selain karena datang telat, Aku juga mendapati beberapa bapak-bapak yang tengah ngobrol di teras depan. Selain itu Pak Suhartono yang jalan denganku pun tidak masuk, ia malah ikut nimbrung dengan bapak-bapak tersebut diluar. Maklumlah bapak-bapak, ngobrol terus.

Tak lama kami duduk dan ngobrol-ngobrol, datang seorang Ibu, cukup tua, katanya Ibu Juju (Hj Juju), ibunda dari Bu Ratna, yang punya rumah. Ternyata, Bu Ratna selain tinggal dengan 3 orang anaknya, ia pun tinggal dengan ibundanya, hanya ibundanya, sedang ayahnya telah wafat. Sambil senyum Bu Juju menyuguhkan teh untuk saya dan Pak Suhartono yang memang baru datang.

Selang beberapa lama, tak terasa rupanya pengajian usai. Hal itu terlihat dari ibu-ibu yang berhamburan keluar, salah satu yang keluar adalah Bu Tarmiyah, ia langsung menghampiri kami (aku dan Pak Suhartono). Dan dengan sangat mendadak mengajakku masuk ke dalam.

Tarmiyah: “Kumaha A, jadi teu. Hayu milu Ibu ka lebet” (Gmn A, jadi ngga, ayo ikut Ibu ke dalam)

Andre: “Na.. na.. on iyeu… (dengan sangat bingung).” (apa ini)

Seketika itu pula, Pak Suhartono yang sedang ngobrol denganku lebih dulu bangkit dan langsung menarik tanganku untuk juga ikut bangkit.

Di dalam aku dan Pak Suhartono langsung duduk di ruang tamu. Bu Tarmiyah terlihat masuk ke dalam, bukan ke arah ke ruangan yang tadi pengajian sih sepertinya. Sambil menunggu Bu Tarmiyah, ku lihat di ruangan pengajian tersebut masih ada Bu Ratna yang sedang berbincang dengan beberapa ibu-ibu. Malam itu ia menggunakan celana, bukan gamis yang pernah kulihat dipengajian sebelumnya dengan baju seperti blus sederhana warna putih, dan tetep jilbab instantnya berwarna biru.

Hingga datanglah Bu Tarmiyah dan Bu Juju ke ruang tamu. Tanpa ba-bi-bu, Bu Tarmiyah memperkenalkanku dan mengutarakan maksud kedatangannya ke tempat itu kepada Bu Juju, ibunda Bu Ratna. Yang mana, maksud yang dimaksud tersebut adalah untuk melamar BU Ratna.

Waduuuuhhh… bagai disambar petir, apa-apaan nih pikir ku dalam hati. Aku menampakkan wajah bingung ke Pak Suhartono dan Bu Tarmiyah, menegaskan bahwa aku tak langsung bermaksud seperti itu.

Tapi disisi lain, Bu Juju, orang tua Bu Ratna, dengan terlihat sangat dingin langsung menimpali apa yang diutarakan Bu Tarmiyah. Ia berbicara dengan logat sunda kental kepada Bu Tarmiyah dan Pak Suhartono. Ia berbicara cukup panjang, termasuk curhat keadaan anaknya tersebut. Akupun terpaksa mendengarkan.

Hingga akupun larut dengan hal-hal yang ia sampaikan. Intinya yang bisa kutangkap dari yang ia sampaikan adalah, anaknya tersebut cukup tersiksa karena ditinggal suaminya, salah satu hal yang menyiksanya adalah faktor ekonomi, selain ia harus membiayai anaknya, ia pun mengurus ibunya yang sudah tua tersebut.

Setelah cukup panjang bercerita, dan saat aku masih termenung mendengarkan beliau (Ibu Juju) bercerita, Bu Juju langsung mengarahkan tatapan-nya padaku, pertanda meminta konfirmasi dariku. Meski masih larut dalam cerita, aku yang sedari awal sudah sangat kaget, kembali dibuat kaget. Lah terus aku harus gimana (pikirku dalam hati).

Aku pun mencoba realistis, menyampaikan apa adanya, ga mungkin aku mengawini dia. Aku masih muda, dia lebih tua dariku. Dan pastinya aku belum kenal banget siapa dia. Berbicara aja belum pernah. Gmn aku mau nikahin. Aku menyampaikan apa adanya kepada mereka bertiga. Tapi, meski aku sudah menyampaikan semuanya, Bu Juju masih tetap saja antusias bahwa aku akan menikahi anaknya, Ratna.

Hingga akhirnya ada deal-deal antara aku dan (khususnya) Pak Suhartono. Ia menawarkan aku mengawinkan Ratna secara kontrak. Rupanya Ratna sedang butuh biaya untuk kelulusan (SD) putra tertuanya dan biaya masuk sekolah (SD) anak keduanya. Aku, jika berkenan diminta membantu hal tersebut. Sebenarnya, aku bisa membantunya tanpa harus mengawini, tapi Pak Suhartono meyakinkanku, ga masalah mengawininya secara kontrak.

Tak lama setelah deal tersebut, Pak Suhartono mengatur perkawinan kami malam itu. Iya malam itu. Ia memanggil salah seorang tokoh masyarakat, yang biasa disebut Amil untuk menikahkan aku dengan Ratna. Sekitar 5 menit berbincang dengan sang Amil, ia pun mengkonfirmasi kembali niatku untuk mengawini Ratna.

Secara refleks, aku tanya Ratna-nya gmn? Lantas dari situ, dari kejauhan (ruang tamu tsb) sang Amil bertanya kepada Ratna yang masih ada diruangan yang tadi digunakan pengajian (hanya ia dan anaknya, sedang ibu-ibu sudah pulang seluruhnya). kurang terdengar jelas yang apa yang ia (Ratna) sampaikan menimpali pertanyaan sang Amil.

Hahaha… lucu banget ini ijab kobul (pikirku dalam hati).

Hingga akhirnya, sang Amil menyampaikan bahwa aku sudah sah dengan Ratna. Setelahnya, sekitar 20 menit kami (Pak Suhartono, Bu Tarmiyah, Bu Juju dan Amil) berbincang-bincang. Yang kemudian percakapan diakhiri karena sudah larut malam, Pak Suhartono, Bu Tarmiyah, dan Amil segera pamit untuk pulang. Sedangkan aku, yang sedari hari awal menginap di rumah Pak Suhartono, dipersilahkan untuk tinggal di rumah tersebut (Bu Ratna).

Ya. Malam ini aku berada di rumah Bu Ratna. Dan katanya, aku adalah suaminya, orang yang belum pernah ku ajak bicara. Haha.. Hey Aku 25 tahun, dan ini adalah keluargaku dengan tiga orang anak di dalamnya. Oh my God. Sudahlah kupikir, sudah kepalang tanggung. Aku ga perlu jaim-jaim lagi.

Saat itu, aku ikut nimbrung dengan Jahid, putra pertama, Omar putra kedua dan Bu Juju untuk nonton TV. Aku nonton TV sambil merokok, sekali lagi aku ga mau jaim-jaim disini. Kulihat dari ruang TV itu, Ratna tengah beres-beres membersihkan sisa-sisa bekas pengajian tadi. Setelah kuperhatikan, ga salah emang punya bini kayak gini.

Ia lewat didepanku, hanya tersenyum. Dan tatapanku betul-betul ga pernah hilang darinya. Dan sepertinya ga ada lagi sifat jaim dariku saat ini, dan segera bangkit sifat urakanku. Sadar kuperhatikan terus, Ia terlihat kikuk, sampai akhirnya ia masuk ke dalam kamarnya.

Di ruang TV, masih ada aku, Jahid & Omar. Sedang Bu Juju, sudah beranjak tidur. Kemudian terdengarlah suara Ratna memanggil anak keduanya, Omar.

Ratna: “Omar, kadieu geura sakedap.”

Omar: “Muhun mi.”

Omar bergegas masuk ke kamar ibunya. Tak lama ia kembali keluar lalu menghampiriku.

Omar: “Ayah, kalo udah capek, silahkan aja istirahat di ruangan Umi. Umi nunggu.”

Waduh, gue dipanggil Ayah, aku cukup kaget. Ditambah lagi, Ratna mengundangku masuk ke kamar lewat anak-nya. Apa ga salah nih. hahaha…

Aku-pun hanya mengiyakan Omar, dan kutanya mereka kok ga tidur & dimana mereka tidurnya, jangan2 mereka juga tidur dengan ibunya, berabe dong. Ternyata ngga, dua anak Ratna, Omar dan Jahid kakaknya tidur di kamar yang lain. Sedangkan anaknya yang balita masih dengan ibunya. Gpp kali orok mah, bathinku.

Selang beberapa menit, dengan mantap, aku segera berangsut ke kamar Ratna yang tidak jauh dari ruang TV. Baru aku beranjak, dua anaknya pun ikut mematikan TV dan bersiap berangkat tidur.

Aku mencoba mengetuk pintu dengan pelan. Dua kali ketukan, tidak ada jawaban dari dalam, ya mungkin terlalu pelan mungkin. Akhirnya kubuka saja langsung pintunya. Dan memang tidak dikunci. Jelas. Kulihat Ratna tidur dalam keadaan miring, membelakangi pintu, sehingga saat ku masuk, bokong pantatnya terlihat menyambutku.

Ratna: “Mangga Aa…” (Silahkan Aa)

Pelan-pelan pula aku berjalan menuju ranjang. Setibanya di ranjang, aku duduk memperhatikan Ratna. Jujur, masih ada sisa ragu saat itu. Saat itu, jilbab yang selalu identik dengannya masih menempel di kepala. Hanya saja, bagian belakangnya sudah agar tertarik hingga menyisakan pundak yang cukup terbuka.

Ratna: “Hapunten Aa… Nanda teu acan beres nyusuna.” (Mohon maaf Aa, Nanda belom selesai netek-nya)

Nanda adalah anak balitanya, yang sedang disusui. Oh my God rupanya anaknya ini belum selesai ASI-nya. Membuatku semakin bergairah aja.

Ratna terlihat akan melepas jilbab-nya, dimana tangannya mengarah ke bagian kepala. Tapi, refleks aku menahan tangannya, sambil berkata.

Andre: “Gpp, Na, gpp biarin aja.”

Rupanya, sifat jaimku sudah benar-benar akan sirna ini, dan akan muncul sifat urakanku. Hingga aku tak mau meladeni ucapannya dengan bahasa Sunda. Saat kutahan itu, kupegang tangannya, dan kurasakan lembut banget. Ia menoleh kearahku sambil mengarahkan senyuman. Dan bibirnya, saat melemparkan tersebut sangat kissable banget.

Kupegangi tangan Ratna, pelan-pelan kuarahkan ke mulutku, bermaksud untuk mencium tangannya. Saat kucium, kulihat masih ada cincin di jari manis-nya.

Segera kulepaskan bajuku, yang sudah sedari tadi dibasahi keringat. Kini, aku sudah telanjang dada. Tubuh yang dihiasi tatoo dilengan kiriku ini kini sudah siap untuk menghangatkan perempuan “suci” yang ada di hadapanku.

Kembali ke raih tangan kirinya. Sambil kucumbui lagi, aku membawanya ke tempat semula, beserta dengan bibirku tentu saja. Tangan Ratna yang sudah ada ditempat semula tersebut tetap kucumbui, yang melaluinya, memudahkanku untuk untuk mencumbu bagian kepalanya. Hingga akhirnya aku tiba di kupingnya, yang masih tertutup dengan jilbab itu.

Saat mulutku yang mencoba memulai di kuping Ratna, tangan kiri-ku masih memegang erat tangan Ratna, sedang badanku sudah menempel dengan badan Ratna. Tentu saja, kontol-ku ikut juga menempel. Di bagian pantat Ratna pastinya.

Kusibak pelan-pelan area jilbab disekitar mulutku, hingga kudapati lehernya Ratna. Tanpa ragu kemudian kujilati. Ratna sedikit bereaksi dengan aksiku tersebut, dengan mengerakkan pundaknya pertanda geli. Tangan kananku, yang ada dibawah kepalaku (kita berdua tidur miring, karena Ratna sedang menyusui anaknya) kuarahkan untuk mengontrol kepala Ratna, dari bagian bawah ke bagian depan, sehingga aku bisa menggerakkan kepala Ratna untuk berputar tiga puluh derajat ke arah mukaku.

Ia tidak menolak. Dengan jelas ku tatap wajahnya. Matanya yang sudah agak sayup, mungkin sudah cukup mengantuk, tidak menghalangi raut mukanya dengan sebuah senyum tipis yang seakan-akan menggambarkan kebahagiannya. Sejuk, asri, indah-nya senyum tersebut. Senyum yang dibangun salah satunya oleh lekukan bibirnya, membuatku tak kuasa untuk tidak melumat bibir itu.

“Mmmmuuuaaachhhhhh…” sekali saja ku lumat. Kupandangi lagi setelahnya. Kali ini, raut mengantuk yang sempat terlihat tadi, berubah menjadi raut setengah kaget. Cukup 5 detik kupandangi Ia, kulumat lagi bibirnya.

“Sluurrrppp… slurrppp… slurrrpppp…” Ratna terlihat cukup menikmati. Sekitar 30 detik ku lumat bibir yang kedua kalinya itu, ku kembalikan lagi tiga puluh derajat kepalanya ke posisi semula, mengingat Ia masih menyusui anaknya. Meski demikian, kepalaku masih belum beranjak untuk menindih kepala Ratna.

Sambil kulumat pipinya, tangan kiri-ku bergerilya menggerayangi bagian tubuhnya. Mulai dari mengerayangi paha, pantat hingga bagian depan Ratna. Ya bagian perut, sedikit payudara dan tentunya bagian memek Ratna. Begitu saja sampai beberapa menit.

Saat beberapa menit kemudian, kudapati si adek kecil yang tadi di susui Ratna, terlihat sudah pulas. Ratna, yang sudah tau anaknya sudah pulas, seperti tak mau beranjak pada posisi seperti sedang menyusui, karena mungkin takut mengganggu aksi gerilyaku ke beberapa bagian tubuhnya.

Melihat hal tersebut, aku tak mau berlam-lama untuk melanjutkan aksi lebih liarku terhadap Ratna. Tubuhku yang sedari awal berorientasi pada posisi tubuh Ratna, karena ia sedang menyusui, sekarang bisa ku-ubah. Ku tarik tubuh Ratna menjauh dari posisi si kecil dengan dua tanganku, tangan kiri di atas dan tangan kanan di bawah.

Kami kini sudah sekitar lima puluh senti dari posisi tidur si kecil. Masih dengan posisi tidur miring, dimana Ratna tetap membelakangiku dan aku menggerayanginya dari belakang. Kedua tanganku sudah sangat berkuasa penuh untuk mengontrol posisinya.

Ku-arahkan wajahnya ke arah wajahku dengan tangan kananku, kembali ku lumat bibir-nya. Tangan kiriku bergerilya ke daerah yang lebih bebas termasuk ke arah teteknya. Saking asyiknya kami berpagul & bercumbu, tidak sadar posisi kami saat ini sudah hampir pada posisi duduk. Kuputuskan untuk menghentikan sejenak aksi lezat ini, dan mencoba menyempurkan duduk kami berdua.

Lebih kusempurnakan lagi duduk kami berdua. Ratna kuarahkan untuk duduk berhadap-hadapan denganku. Sambil kupegang kedua tangannya, kutatap wajahnya, juga tubuh dahsyatnya. Tubuh dahsyat yang tengah “compang-camping” dengan satu pentil tetek terperuak keluar, jilbab 30% terangkat dimana bulu-bulu rambut terlihat keluar dari celah-celah jilbab bagian depan, serta bagian yang sudah akan terangkat.

Sebelum memulai lagi, aku hendak ingin berbincang-bincang terlebih dahulu dengan pemuasku ini. Maklum, sudah kulumat beberapa kali bibirnya, setengah kugerayangi tubuhnya, namun belum pernah aku berbincang frontal dengannya.

Andre: “Na, kamu siapa sih…”

Aku tau namanya Ratna, yang katanya seorang guru ngaji, tetapi aku seperti dibuat aneh dengan aksi testimoni yang baru kunikmati. Iya kusebut aksi testimoni.

Ratna tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya senyum-senyum tersipu malu, dengan menundukkan kepalanya tanpa menghilangkan senyum sejuknya tersebut.

Aku mencoba mengkonfirmasi pertanyaanku, dengan mengangkat dagunya, tapi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku menatapnya dengan liar, wajahnya, bibirnya, juga satu pentil susu yang sedari tadi sudah terperuak keluar. Badanku, dimana lengan kiri-ku terhias tatoo, tak membuat sedikitpun Ia mengalihkan perhatiannya.

Saat asyik kutatap wajahnya, si kecil terlihat menggeliat, hal yang membuat kami, Ratna khususnya sedikit kaget. Ia tidak bangun, hanya menggeliat, Ratna mencoba untuk menenangkannya kembali tidur. Saat Ratna menenangkan balitanya tersebut, aku mempersiapkan aksi lanjutanku terhadap Ratna. Ku lepas jeans-ku, dengan menyisakan sempak saja.

Setelahnya, tanpa mau menunggu Ratna usai menenangkan buah hati-nya tersebut, aku berinisiatif merangkulnya terlebih dahulu dari belakang. Kudekap sambil kuciumi bagian kepala juga lehernya beberapa detik, hingga kulihat Nanda, sudah kembali tenang dalam tidurnya. Meski sesungguhnya sudah tenang, Ratna masih tetap mencoba untuk menenangkannya.

Aku menindihnya sekarang. Hanya sekali mencium bibirnya, kupusatkan upaya awalku ini di bagian dada. Susunya. Salah satu pentil yang sudah terperuak tadi, langsung kusikat, sambil tanganku mempersiapkan pentil temannya yang akan kunikmati juga. Aku hanya fokus ke dadanya, sehingga tak melihat raut ekspresi Ratna.

Setelah cukup puas dengan dadanya, aku segera melancarkan aksi lainnya. Kali ini kuangkat tubuh Ratna untuk kembali ke posisi duduk. Tanpa konfirmasi kulucuti gamis atau daster atau apalah yang ia kenakan tersebut. Ia pun mengaminkan, hingga dadanya kini full 100% terbuka. Sambil aku melucuti pakaiannya, Ratna rupanya berinisiatif untuk melepas jilbab yang masih ia kenakan tersebut.

Masih dengan aksi lumatan di bibir, tanganku mencari tangan Ratna untuk ku arahkan menghandjob kontol-ku. Tahap awal, tangannya masih kuarahkan diluar area sempak. Tapi setelahnya, kucoba masukkan tangan Ratna kedalam sempakku, hingga ia bisa langsung menghandjob kontolku secara langsung. Setelah beberapa saat, kulepas tanganku yang kumaksudkan untuk membimbing tangannya mem-handjob.

“Slurrpppp… slurrrppp… slurppp…”

Setelah puas, kulepas bibirku dari bibirnya, kutatap wajahnya dan tetap membiarkan tangannya terus menghandjob bagian dalam sempakku. Tangan Ratna halus sekali dalam menghandjob. Kuperkirakan ia belum pernah melakukan ini sebelumnya.

Kulepas tangannya, lalu kuarahkan ia untuk turun ke bawah ranjang. Ia nampak bingung. Sambil ia turun ke bawah, aku melepas sempakku dan mempersiapkan posisi duduk di ranjang. Ratna sudah beranjak dari ranjang, sedang aku sudah full 100% naked dengan posisi duduk di ranjang. Ratna, yang dalam posisi berdiri, cukup bingung, ku arahkan ia untuk duduk.

Wow, Ratna hanya mengenakan cangcut saat ini. Kuminta ia duduk tepat di bawah selangkanganku. Sesekali Ratna menatap ke wajahku, pertanda bingung. Tapi tak lama, kedua tangannya sudah menggapai kontolku. Kuperhatikan ia mengelus-ngelus kontolku, dengan mimik agak bingung di wajahnya. Aku pun senyum melihat Ratna.

Kontolku sudah berada di pintu bibirnya kini, meski sedikit agak menolak, kontolku akhirnya menghujam ke mulutnya. Ya salam… saat terhujam tersebut, spontan badanku sempet gemetar. Selama kurang lebih 10 detik, aku belum berani menggerakkan kontolku dimulutnya. Setelah itu, barulah kuminta Ratna untuk mem-blow kontolku.

Ya tentu saja karena Ratna mungkin belum mengerti, aku dulu yang mengarahkan kepalanya maju mundur melumat kontolku. Ku arahkan maju mundur kepalanya dengan raut mukanya kuarahkan ke arahku, sehingga ia bisa mengerti maksudku. Tak lama, Ratna pun mengerti teknik yang kuajarkan. Kini Ia sudah bisa mandiri melakukannya tanpa guidance tanganku.

Kuputuskan untuk mengakhiri blowjob setelah beberapa menit. Dengan spontan kuangkat tubuh Ratna untuk berdiri. Aku masih duduk di ranjang segera melapas cangcut Ratna yang masih menempel itu.

Apa yang kudapati saat kulepas cangcut itu? Memek tembem di lapisi jembut tebal terpampang jelas persis di depan wajahku. Tanpa ampun kulumat sekumpulan bulu hitam itu.

“Aiiichhhh…” Ratna kaget

Hahaha… setelah banyak aksiku, ternyata aksi ini yang membuatnya sedikit mengerang. Ratna tidak menolak, ia hanya kaget. Akhirnya, ia nampak mengijinkan aksiku melalui isyarat tatapan matanya.

“Slurppp… slurppp…”

Sambil duduk kulumat memek Ratna yang dipenuhi jembut lebat itu. Tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya Ratna kuperhatikan cukup menikmati. Setelah puas, aku berdiri dari posisi dudukku. Kami berdua dalam posisi berdiri sekarang. Seperti sudah disampaikan sebelumnya, Ratna lebih pendek dariku. Ia setinggi hidungku.

Jadi mulutku bisa langsung mengecup dahinya. Sambil berdiri, aku tak melepaskan memek-nya dari tanganku. Seketika itu pula, kugapai tangan Ratna untuk memegang kontolku. Salah satu tangaku mendarat di memek Ratna, salah satu tangan Ratna mengelus kontolku. Dengan salah satu tangan kami yang lainnya saling memeluk.

Tak lama kami bertatapan, Ratna memelukku dengan sangat erat. Sangat erat. Mungkin kubilang ini ekspresi kebahagiannya. Aku membiarkan ia memelukku beberapa detik. Kubilang dalam hati, ini belum selesai sayang, malam kita masih amat panjang. Kucoba lepas pelukan Ratna itu dan membalikkan badan bugilnya itu.

Doggy style! Yap. kita akan melakukan aksi lebih menyenangkan lagi sayang, dalam hatiku. Ratna sudah dalam posisi menungging. Dengan sedikit mengelus-elus kontolku, kupersiapkan senjata ini untuk menghujam memeknya yang sudah ada di depan pantat. Tak lupa, kuelus-elus pantat semok itu. Pantat yang selama ini terbalut rapi oleh gamis.

Kuperhatikan, Oh my God, lezat banget ini pantat. Untuk sementara waktu, kulupakan niat awal doggy style itu, aku mau lumat dulu pantat lezat ini. Ratna, yang tidak sadar saat aku membungkuk meraih pantat karena membelakangiku, berontak tatkala lidahku menyentuh lubang anusnya. Ia berontak dan berbalik arah, raut mukanya sedikit aneh, seperti agak kecewa.

Kuraih ia dan kupeluk. Kubisikkan di kupingnya. “Gpp sayang, gpp” lalu kutatap wajahnya. Dengan gestur kecewa, ia menggeleng-gelengkan kepala nya, dan sayup-sayup mengatakan “Jorok ah… Kucoba yakinkan ia, ga masalah. Akhirnya ia pun menerima. Ia merasa jorok bukan terhadapku, tapi terhadap dirinya sendiri.

Dengan mau mau ragu, ia kembali ke posisinya. Nungging. Kepala dan matanya menoleh terus kebelakang, memperhatikan aksiku. Dengan penuh nafsu, kulahap pelan-pelan bagian pantat itu.

“Slurrpp… slurrpp…” Ia sedikit setengah menggelinjang.

Tak lama aku melancarkan aksi jilat pantat ini, kuteruskan dengan aksi utamaku yang sempat tertunda. Doggy Style. Dihujaman pertamaku, kucoba lakukan dengan perlahan. Terlihat raut ekspresi Ratna menahan nikmat. Dihujaman kedua masih kulakukan dengan perlahan, hingga hujaman kelima. Setelahnya, dihujaman keenam dan seterusnya, kulakukan dengan intensitas semakin cepat dan semakin cepat.

“Ah.. ah… ah.. ah…” Begitulan mulutku mengeluarkan suara sayup-sayup saat benar-benar aku menikmati hujaman demi hujaman ke memek Ratna.

Ratna sendiri, dari berekspresi datar menahan nikmat, hingga keluar erangan saat intensitas hujaman ku makin kencang. Diperiode-periode akhir penetrasiku, ia berinisiatif menutup mulutnya, karena takut suaranya membangunkan si kecil yang tertidur pulas.

Kuakhiri penetrasi lezat ini, setelah sekitar dua menit. Saat kucabut kontol dari sarang memek-nya, Ratna terkulai lemas, dengan pantat menungging dan kepala yang merebah di atas meja/lemari buku. Tak perlu waktu lama, kuraih tubuh lezat ini, untuk meneruskan rebahannya di atas ranjang. Sambil akan kutindih tentu saja.

Sambil kupersiapkan kontolku menemui sarang yang dimiliki Ratna, aku tak menyia-nyiakan untuk langsung menindihnya. Setelah memek Ratna menangkap dengan tepat kontolku, kulakukan penetrasi langsung dengan intensitas tinggi, sambil mulutku melumat mulutnya. Setelah beberapa saat, dan cukup puas melumat semua area wajahnya, aku mendirikan badanku, agar intensitas penetrasi bisa kutingkatkan.

“Ahhhh… Mas Andre…” Sesekali ia meneriakkan namaku saat penetrasi berlangsung. Ia tak bisa lagi menutup mulutnya dikarenakan kepegangi dengan kedua tanganku untuk menopang power penetrasiku lebih maksimal.

Sesungguhnya aku masih bergairah untuk melakukan gaya-gaya lain, tapi dikarenakan kulihat Ratna sudah terlihat letih, sepertinya akan kuurungkan niatku. Saat itu aku berencana untuk langsung mengeluarkan pejuhku sesegera mungkin. Aku kemudian menindih lagi tubuh Ratna, untuk menuntaskan misi tersebut.

Nampaknya sudah cukup dekat dengan orgasme-ku. Kulumat habis mulut Ratna, bak orang kelaparan. Ku blowjob lidah Ratna. Ratna menuruti semua hal yang kulakukan padanya. Kulumat pipinya, lehernya keningnya, kuping, susu atau apapaun. Hingga saat akhir-akhir penetrasi pelukan Ratna semakin erat saja. Aku bersiap untuk buru-buru melepas dua tangan yang melingkar di badanku itu.

“Ah… Na…”

Kuangkat badanku yang menindihnya, dengan sedikit paksaan, karena pelukkan Ratna yang sangat kuat. Kuarahkan kontolku yang segera mengeluarkan pejuh itu ke bagian perutnya.

“Ah… crot.. cot… crot…”

Pejuhku tumpah pula malam itu diperaduan perut Ratna. Indah sekali.

Aku memaklumi Ratna tidak melepaskan pelukan eratnya, karena mungkin dia pikir pejuhku akan ditumpahkan langsung ke dalam memeknya. Kulihat Ratna, masih terengah-engah setengah bingung, saat tertumpahnya pejuhku di perutnya. Belum nampak senyum bahagia itu. Kuraih salah satu tangannya lalu ku kucium.

Aku pun turut merebahkan badanku untuk tidur disamping Ratna. Kali ini, aku yang disebelah kanan, persis di sebelah Nanda, si balita kecil sedang Ratna di sebelah kiriku. Belum badanku benar-benar terlentang dengan sempurna, Ratna langsung memelukku. Sambil terengah-engah, aku memulai pembicaraan dengannya.

“Na… kamu enak banget sayang…”

Lagi-lagi Ratna tidak pertanyaan maupun pernytaan dariku. Ia hanya menampilkan gestur badan manja dengan memeluk lebih erat badanku. Saat kuarahkan wajahnya untuk menatapku, ia seperti menolak, dan tetap memeluk erat tubuhku. Hmm.. mungkin ia lelah. Ingin segera tidur. Baiklah kita istirahat dulu sayang, pikirku.

Kamipun beranjak tidur sambil berpelukan tanpa busana.

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu