3 November 2020
Penulis —  beep_beep

Aku Pindah Demi Melupakan Masa Lalu

Namaku Vania. Di cerita ini akan kuceritakan kenapa akhirnya aku pindah hidup di Timika. Ini adalah kisah nyata yg kualami sendiri. Aku anak sulung, punya 2 adik laki2. Ini terjadi 5 tahun yg lalu. Saat itu adikku yang ke-2, sebut saja namanya Vano, baru berusia 14 tahun.

Kami tinggal di Manado. Rumah kami tidak besar. Hanya ada 3 kamar tidur: kamar ortu, kamarku, & 2 adik lakiku di kamar satunya. Saat itu hari Rabu jam 2 siang, ortuku sedang bekerja. Aku tidak ada kuliah hari itu jadi seharian kuhabiskan di depan tv sambil makan cemilan kacang atom yg kubeli dari warung dekat rumah.

Tak lama kemudian Vano pulang sekolah. Sementara adikku yg bungsu masih ada ekstra kurikuler hingga jam 5 sore. Vano pun langsung ganti baju lalu mengambil makan siang dan duduk menonton tv bersamaku. Kami terlibat perbincangan kecil tentang keadaan sekolah sekarang. Maklum, aku dulu juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Vano jadi aku masih tahu dan kenal betul guru2 yang mengajar Vano saat ini.

Aku melihat Vano tidak seperti biasanya. Aku merasa seperti Vano selalu mencuri2 lihat ke arah tubuhku. Namun aku tak menghiraukannya. Ah paling hanya perasaanku saja, pikirku. Lalu tak berselang lama aku pun memutuskan untuk mandi siang itu karena tak tahan dengan panasnya. Aku mengambil handuk lalu segera masuk ke kamar mandi.

Selesai mandi aku pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhku dari dada hingga bagian atas paha. Dibalik handuk, aku tidak mengenakan apapun. Kebiasaanku setelah mandi adalah pakai pakaian di kamar. Jadi dari pintu kamar mandi, aku berjalan melewati ruang tv menuju ke kamar.

Aku duduk di atas kasurku lalu aku mengambil pengering rambut untuk mengeringkan rambutku. Kasurku bukanlah kasur springbed. Kasurku hanyalah kasur busa biasa, dengan dipan setinggi separuh pahaku, cukup lebar untuk 2 orang. Bagian kolongnya kosong dan aku gunakan untuk meletakkan sebuah kardus yang berisi buku2 yang tak terpakai lagi.

Setelah selesai mengeringkan rambut, aku pun berdiri dan menanggalkan handuk yang menempel di tubuhku lalu berjalan ke arah cermin yang terletak di tembok seberang kasurku. Kuambil sebuah pisau cukur untuk mencukur bulu ketiakku yang mulai tumbuh kecil2 setelah 1 minggu tidak aku cukur. Saat aku sedang mencukur bulu ketiakku, tak kusangka dari belakang ada yang menyergapku.

Tangan kanannya memegang tangan kananku sambil tangan kirinya memegang sebuah sapu tangan yang dibungkamkan ke mulutku. Aku berteriak sekencangnya untuk meminta tolong. Namun apa daya, ternyata dia membungkamku dengan obat bius. Aku pun lemas, tidak pingsan total, hanya setengah sadar, mataku masih terbuka walaupun agak berat.

Entah dari mana dia mendapatkan obat bius itu. Lalu Vano pun menidurkanku di kasur dalam keadaan telentang dan telanjang, tanpa sehelai benang pun. Sekarang Vano berada di atasku dalam posisi berlutut mengangkangi tubuhku. Diangkatnya kedua tanganku lalu diikatkannya ke dipan kasurku. Aku ingin melawannya tapi aku tak cukup kuat.

Vano pun menjawab: “Tenang aja kak, Vano angetin kakak.”

Vano menanggalkan seluruh pakaiannya. Jadi kami dalam keadaan telanjang bulat sekarang. Badannya kurus kecil, tidak lebih besar dari tubuhku. Jika aku tidak dibiusnya, aku pasti sanggup melawannya. Aku lihat penisnya sudah tegak berdiri, bulu kemaluannya tidak lebat tidak tipis. Vano belum disunat, jadi kulupnya masih menutupi bagian kepala penisnya.

Lalu dimulainyalah semua apa yang dia imajinasikan selama ini. Pertama dia menciumi ketiakku dengan penuh nafsu. Lalu tangannya meremas2 payudaraku dengan keras sambil sesekali dia memindahkan bibirnya ke payudaraku untuk mengisap2 puting susuku. Digesek2kannya penisnya ke pahaku. Aku yang tak berdaya hanya dapat menyaksikan ekspresi wajahnya yang bagaikan seorang anak kecil sedang menyusu pada puting payudara ibunya dengan nikmatnya.

Vano terus memainkan tangan & mulutnya di kedua payudaraku selama kurang lebih 10 menit. Hingga akhirnya dia merenggangkan kedua pahaku. Aku masih dalam keadaan setengah sadar dan sangat lemas hingga aku tak dapat melawannya saat membuka pahaku dan mengendus2 vaginaku. Vano menjilatinya dan melumuri penisnya dengan air ludahnya.

Lalu diletakkannya penisnya tepat di luar vaginaku. Dia sama sekali tidak memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Ya, dia hanya meletakkan penisnya di luar vaginaku, lalu dengan menggunakan kedua kakinya, Vano berusaha untuk merapatkan kedua pahaku. Jadi posisi Vano sekarang telungkup di atas tubuhku berhadapan denganku dan penisnya berada di luar vaginaku tepatnya di antara kedua pahaku.

Payudaraku sekarang berada tepat di depan wajah Vano. Aku sungguh malu luar biasa. Aku benar2 merasa dilecehkan olehnya. Bagaimana bisa adik kandungku sendiri yang amat kusayangi tega memperlakukanku seperti ini. Jujur hingga saat ini aku masih menangis sedih bila mengingat ekspresi wajahnya saat melecehkan tubuhku.

Namun, sekali lagi, aku tak cukup kuat untuk melawannya karena pengaruh obat bius itu. Vano pun mulai menggesek2kan penisnya di antara kedua pahaku sambil mulutnya mengisap2 puting susuku. Sesekali dia juga menciumi ketiakku. Vano terus menggesek2kan penisnya dengan irama yang tak beraturan. Pahanya gemetaran, nampak seperti hampir orgasme.

Hatiku benar2 hancur saat itu. Ingin rasanya kutampar wajahnya yang kurang ajar itu. Vano puas melampiaskan nafsu bejatnya padaku. Ya, Vano memperkosaku di kamarku sendiri saat kami sedang di rumah berdua. Setelah selesai, ia pun membersihkan bekas2 sperma yang ada di perutku dengan menggunakan tissue.

Aku heran, mengapa dia tidak meninggalkanku begitu saja segera setelah ia puas? Mengapa ia memakaikanku pakaian setelah semua hal tak senonoh yang ia lakukan padaku? Mengapa aku yang mendapat perlakuan tak senonoh seperti ini? Apa yang harus kulakukan kini? Haruskah aku memberitahukan kelakuan Vano kepada ortuku?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu